Oleh Udo Z. Karzi
BIASALAH kalau seorang pejabat menganggap sepele hal-hal yang merugikan masyarakat. Birokrat terlalu acap menunda pelayanannya terhadap warga. Mana bisa amtenar merasionalisasikan objektivitas kepentingan publik dalam konstruksi kinerjanya. Padahal masyarakat yang menuntut layanan berbasis kebenaran, kecermatan, dan kecepatan.
Kultur birokrasi kita sampai hari ini ternyata belum menunjukkan kinerja dan hasil yang optimal. Ini dapat dilihat dari masih tingginya kasus penyalahgunaan wewenang dalam bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Demikian pula, tidak efisiennya organisasi pemerintah baik pusat maupun daerah, rendahnya kualitas pelayanan publik, serta lemahnya fungsi pengawasan.
Kepekaan birokrasi untuk mengantisipasi tuntutan perkembangan masyarakat masih sangat kurang, sehingga kedudukan birokrasi yang seharusnya sebagai pelayan masyarakat cenderung bersifat vertical top down (dari atas) daripada horizontal participatif (partisipasi horizontal).
Sebagian besar kegagalan implementasi pembangunan bukan akibat kelangkaan konsep kebijakan, melainkan kegagapan birokrasi untuk mengawal kebijakan tersebut. Di luar masalah sistem rekruitmen yang kacau dan political interest yang tinggi, di tubuh birokrasi juga tersembul patologi model patron yang sangat kuat.
Implikasinya, setiap kebijakan yang disorong oleh satu kelompok tertentu dapat dipastikan akan dijegal oleh kelompok yang lain. Tidak bisa dihindari, hal yang sama juga terjadi dalam birokrasi di Jatim, bahkan dapat disaksikan secara kasat mata.
Mental birokrat di negeri ini kita masih "pandai main terabas dan mengebiri etika kerja" atau mengabaikan profesionalisme. Pelaku birokrasi pemerintan masih memosisikan dirinya sebagai pemain yang sebatas bisa membaca dan mengambil untung ke mana angin kepentingan akan bertiup.
Jika ada lubang yang bisa dimasuki untuk mengail keuntungan, birokrat ini cepat-cepat beradaptasi untuk mewujudkan mental buruknya bermodus menerabas pagar moral, agama, sumpah jabatan, dan hak-hak rakyat demi tercapainya kepentingan pribadi keluarga, partai, dan kroni-kroninya.
Birokrasi pemerintahan di Indonesia mengidap penyakit kleptokrasi birokrasi, suatu mental dan kultur menerabas tatanan birokrasi supaya setiap tatanan di dalam birokrasi menjadi distorsi dan anomi sehingga masing-masing birokrat saling dan sibuk bersaing untuk "membantai" kebenaran, kejujuran, dan keterbukaan.
Tingginya angka korupsi, baik di pusat maupun daerah, salah satu faktor kriminonogen utamanya terletak pada penyakit kleptomania birokrasi yang masih dipertahankan dan dipuja-puja birokratnya. Birokrat sering melakukan praktik simbisosis mutualisme, yang mengakibatkan runtuhnya ideologi kebenaran dan kesederajatan dalam konstruksi etis birokrasi.
Lampung Post, Senin, 12 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment