Tuesday, October 6, 2009

Aklamasi, Kita Semua Pemerintah

Oleh Udo Z. Karzi

ANGGOTA Fraksi PDIP MPR Taufik Kiemas terpilih secara aklamasi menjadi ketua MPR periode 2009--2014 dalam sidang paripurna MPR, Sabtu (3-10) malam. Mat Puhit tidak hendak mengutak-atik kenyataan PKS yang merasa dikhianati PKB yang berubah haluan di saat-saat akhir.

Mamak Kenut (kali) memang beloon hanya mau mencatat kejadian ini sebagai "kematian" demokrasi di negeri tercinta. Ada dua hal dalam peristiwa ini. Pertama, kata-kata "aklamasi" untuk memilih seorang ketua dari sejumlah 692 orang anggota MPR (terdiri dari 560 orang anggota DPR dan 132 orang anggota DPD) sungguh sebuah tontonan yang sangat tidak menarik. Mamak Kenut seperti terlempar kembali beberapa tahun lalu di masa Orde Baru yang ngetop istilah "musyawarah-mufakat" dan koor "setuju!".

Ada 692 kepala. Sebanyak itulah cukup diseragamkan dengan kata "aklamasi". Bagaimana mungkin tidak ada perbedaan, walau satu pikiran sekalipun dalam sebuah perhimpunan sekian banyak orang. Semua orang distel untuk berkata, "Setujuu...."

Ah, demokrasi Indonesia mulai membosankan. Masa beda pendapat nggak boleh. Mulai saat ini--setidaknya sampai lima tahun ke depan--tidak ada perdebatan sengit di legislatif, tidak ada voting (?) karena semua "diupayaken" agar musyawarah-mufakat (baca: aklamasi), tidak ada perbedaan pendapat.

Kalaupun ada, semua tidak lebih dari kepura-puraan belaka. Yah, pura-pura kritis, pura-pura pintar, pura-pura punya gagasan alternatif, pura-pura tidak sepaham, pura-pura... Karena parlemen dan lembaga negara lah sudah disetel untuk berkata: Pemerintah benar, pemerintahlah yang paling tahu.

Catatan kedua, peristiwa terpilihnya secara aklamasi Taufik Kiemas adalah menandai keberhasilan Partai Demokrat (Susilo Bambang Yudhoyono) merangkul semua pihak untuk bersama-sama mengendalikan jalannya pemerintahan. Hasil lobi (baca: persekongkolan di kalangan elite politik) menunjukkan kesuksesan yang gemilang.

"Apa boleh buat hasil Pemilu 2009 tidak lebih bagus dari penyelenggaraannya yang penuh karut-marut," kata Minan Tunja.

"He, jangan omong sembarang," ujar Udien.

"Ya, gimana... masak mau menang, mau kalah pemilu ya tetap saja... menjadi pemerintah," sambar Pithagiras.

"Tak ada oposisi. Semua kebagian jabatan dalam pemerintahan," sahut Mat Puhit.

"Lo, kan bagus...," kata Udien dengan begonya.

"Bagus dengkulmu. Kalau semua orang--maksudnya para elite pelitik--jadi penguasa, siapa yang mengoreksi?"

"DPR?"

"DPR, sesuai bunyi persekongkolan untuk mengegolkan Taufik Kiemas menjadi ketua MPR, sama saja sudah menjelma jadi tukang stempel pemerintah."

Semua (mendukung) pemerintah. Tak ada kritik. Tak ada oposisi. Tak ada check and balance.

Ya sudah, kalau begitu... aklamasi saja, kita semua jadi pemerintah.


Lampung Post, Selasa, 6 Oktober 2009

No comments:

Post a Comment