Oleh Udo Z. Karzi
PENGUMUMAN-PENGUMUMAN... Berhubung semua orang sudah pada siap-siap menghadapi kemungkinan gempa, Rabu, 7 Oktober 2009 tepat pukul 14.00 WIB, maka gempa diundur Kamis, 8 Oktober 2009 pukul 02.00 WIB. Tapi, kalau ada yang malah tidur enak-enakan malamnya, ya gempa nggak jadi deh.
Demikian Mamak Kenut.
"Jangan begitu. Jangan meremehkan rasa khawatir orang. Kayak bom, aparat bilang sudah aman... e... bom malah meledak. Kita kan perlu antisipasi," kata Udien.
"Ya, siapa sih yang tidak takut..." sahut Minan Tunja.
"Kita trauma sih...," tambah Radin Mak Iwoh.
Tapi, Mamak Kenut malah tertawa berderai. Mat Puhit diam aja. Pithagiras belum mau komentar.
Memang, luar biasa dahsyatnya rumor bakal terjadi gempa berkekuatan 8,3 pada skala Richter di Lampung. Konon, kabar burung ini beredar di seluruh pelosok Tanah Air.
Beberapa sekolah mempercepat siswanya pulang karena takut gempa. Orang-orang menghindari pusat perbelanjaan dan gedung-gedung bertingkat untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi gempa.
Suasana terasa mencekam. Terutama menjelang pukul 14.00 WIB. Tidak semua memang. Ada segelintir orang yang sama sekali tak peduli atau malah tak tahu-menahu ya biasa saja...
Namun, tepat pukul 14.00 WIB gempa tak terjadi. Ya, iyalah. Ketua Badan Meteorologi Klimotologi dan Geofisika (BMKG) Kotabumi Chrismanto dua hari sebelumnya toh sudah mengeluarkan pernyataan bahwa akan terjadi gempa 8,3 skala Richter di Lampung adalah tidak benar.
Tapi, kabar burung lebih kuat mengalahkan pengetahuan, rasionalitas, informasi yang benar tentang gempa. Tetap saja sebagian besar warga diliputi ketakutan luar biasa akan terjadi gempa. Entahlah masyarakat kita terlampau gampang diombang-ambing oleh sesuatu yang tidak jelas seperti itu. Padahal, menurut ilmu pengetahuan (sains), berbeda dengan bencana alam seperti kekeringan, asap, banjir, dan tanah longsor yang relatif bisa ditelusuri kapan terjadinya dan apa penyebabnya (karena ulah manusia yang merusak lingkungan); gempa termasuk bencana yang hanya bisa diteliti sebagai gejala alam, tetapi sampai hari ini belum ada orang yang bisa memprediksi kapan terjadinya.
"Kita seperti tak ber-Tuhan saja. Gempa (kiamat kecil) itu termasuk rahasia Allah swt. yang tidak dikasih tahu kapan terjadinya," kata Mat Puhit.
"Kita kok seperti nggak rida menjalani kehidupan ini," Pithagiras entah kenapa kok jadi filosofis dikit, "Kita mesti siap menghadapi kematian, kapan pun dia menjemputnya."
Sebagai makhluk yang beriman, kita memang harus memercayai bahwa kiamat, kecil atau besar pasti terjadi. Maksudnya, agar kita lebih ikhlas menjalani kehidupan dan tak perlu takut ajal menjemput.
Lampung Post, Kamis, 8 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment