Monday, April 28, 2014

Krisis Kritisisme

Oleh Udo Z Karzi


MAHASISWA sekarang cenderung apatis, pragmatis, materalistis, dan kapitalis. Tudingan ini muncul dua puluh tahun lalu lalu, yaitu 1994 dalam sebuah dialog pemuda. Kontan telinga para mahasiswa di Negarabatin waktu itu merah mendengar itu. Mat Puhit dkk. sampai sakit hati. Soalnya mereka merasa tidak demikian halnya.

Maka, berhamburanlah berbagai argumen untuk mengatakan tuduhan itu tidak benar. Para mahasiswa punya bukti bahwa itu tidak benar. Mahasiswa lalu bicara tentang intelektualitas, tentang idealisme, tentang moral force, tentang agent of change, tentang sejarah pergerakan mahasiswa, tentang... apa saja yang bisa dijadikan alasan untuk menolak pandangan negatif tentang mahasiswa.

Benar, empat tahun kemudian, 1998, mahasiswa keluar sebagai pendobrak. Reformasi. Itulah fakta nyata dari fungsi dan peranan mahasiswa dalam mengawal perjalanan negara-bangsa. Bukti itu juga yang diperlihatkan mahasiswa-pemuda pada 1908, 1928, 1945, dan 1966. Jadi, memang bukan omong kosong.

***

"Sekarang masih reformasi enggak, ya?"

"Sudah lupa, tuh!"

Sebuah dialog kecil mirip iklan obat sakit kepala di angkot yang boleh jadi tak ada makna. Soalnya, mahasiswa zaman kiwari rata-rata punya kendaraan, minimal sepeda motor soalnya. Hari gini kok naik angkot. Jadi mana pula sempat berdebat di angkot. Hehe...

Kemajuan teknologi informasi juga membuat mahasiswa sekarang makin canggih. Diskusi tak perlu ketemu. Cukup pakai SMS, BB, Facebook, e-mail, chatting, dsb.

Makanya, waktu Mamak Kenut yang jadul, datang ke almamaternya cuma terlongong-longong saja. Hampir tak ada dialog, diskusi, kelompok studi, perdebatan kecil. Sivitas akademika agaknya sibuk dengan aktivitas sendiri-sendiri.

Ikut seminar atau lokakarya bukan tren lagi. Wajar kalau tidak ramai. Nah, kalau mau ramai, undang guru-guru yang perlu piagamnya untuk sertifikasi. Mahasiswa, jangan diharap berpikir keras, apalagi diajak berdebat untuk hal-hal yang serbaabstrak. Kalau seminar motivasi atau latihan kepribadian dan kepribodian, bolehlah ngikut.   

Mahasiswa menulis? Aduhai... alangkah idealnya itu! Tapi, gimana mau nulis kalau kurang bacaan, kurang diskusi, kurang suka melihat dan mendengar apa yang terjadi di kiri-kanan, masyarakat, negara-bangsa mereka.

***

Catatan sejarah menyebutkan, setelah reformasi bergulir, negeri ini sukses menggelar SI MPR, pemilu jurdil, SU MPR demokratis, ST MPR, dan SI MPR. Pemilu sudah berlangsung 1999, 2004, 2009, dan tahun ini 2014. Dalam kurun waktu 16 tahun kita sudah punya empat presiden: B.J. Habibie, K.H. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Tapi, seiring dengan makin lirihnya, bahkan hilangnya suara reformasi, kini masalah bangsa semakin tak keru-keruan. Korupsi yang kian menjadi-jadi, birokrasi tetap berbelit, kemiskinan, demokrasi bermasalah. Teranyar, betapa kisruh Pemilu Legislatif: politik uang, manipulasi suara, dan KPU yang tak netral. 

"Mahasiswa, mana suaranya?" (Ya, mahasiswa sering banget ngikut Bukan Empat Mata-nya Tukul). n


Lampung Post, Senin, 28 April 2014

No comments:

Post a Comment