Oleh Udo Z. Karzi
PIKIRAN Mamak lagi buntu. Ia kutip saja Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD saat memberikan orasi dalam wisuda sarjana di Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya, Sabtu, 16 Oktober lalu.
Begini katanya: “Perguruan tinggi telah gagal karena hanya melahirkan kecerdasan dan bukan kecendiakawanan. Kegagalan perguruan tinggi itu terlihat dari tidak bekerjanya kecendekiawanan dari para lulusannya. Orang pintar saja, tetapi tidak cendekia itu justru mengacaukan keadaan, karena hanya melahirkan orang-orang yang tidak jujur, korup, dan tidak bertanggung jawab kepada bangsanya.”
Diskursus relasi cendekiawan dan kekuasaan tetap menarik dibincang. Apalagi jika dikaitkan dengan perkembangan politik aktual, manakala banyak kaum terdidik bergabung ke partai politik disusul barisan pendukung para (calon) presiden/kepala daerah.
Seharusnya, keterlibatan cendekiawan tidak perlu diprasangkai, lebih baik dipandang wajar atau justru positif. Andil cendekiawan dalam politik praktis bukan hanya hak, melainkan juga partisipasi praksis-pengetahuan yang selama ini mengendap dalam kognisi cendekiawan.
Namun melihat realitas yang terjadi, keterlibatan cendekiawan tidak hanya perlu dikritisi, tetapi juga dipesimisi, bahkan ditentang. Sebab, alih-alih produktif dalam memperjuangkan idealismenya, cendekiawan akan larut dalam praktik diskursif kekuasaan, sehingga identitas kecendekiawanannya dekaden.
Dulu, kalo ada (rencana) pemilukada, independensi jurnalis dipertanyakan, kemudian netralitas KPU diragukan, sekarang integritas akademisikan pun bisa dipermasalahkan.
“Ah, kelewat serius,” celetuk Minan Tunja.
“Iya, saya pernah membaca betapa bahaya menjadi orang serius,” kata Pithagiras.
“Tapi lebih bahaya orang yang tak pernah serius,” sambar Mat Puhit.
“Ini baca. Kecendekiawanan model apa yang membuat pemilihan gubernur di Lampung hampir selalu didahului dengan huru-hara? Kecendekiaan apa yang membuat pertemuan membahas jadwal dan anggaran Pemilihan Gubernur (Pilgub) Lampung antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Pemerintah Provinsi Lampung tidak menemukan titik temu?” sambung Udien.
“Ei, ngapi muneh butong-butong,” kata Radin Mak Iwoh.
“Kerja pengamat cuma otak-atik pasal aja. Saya diminta wawancara dengan pengamat yang netral tentang hal ini. La, siapa pengamat yang netral itu?” kata Udien kesal.
Lampung Post, Sabtu, 27 Oktober 2012
PIKIRAN Mamak lagi buntu. Ia kutip saja Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD saat memberikan orasi dalam wisuda sarjana di Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya, Sabtu, 16 Oktober lalu.
Begini katanya: “Perguruan tinggi telah gagal karena hanya melahirkan kecerdasan dan bukan kecendiakawanan. Kegagalan perguruan tinggi itu terlihat dari tidak bekerjanya kecendekiawanan dari para lulusannya. Orang pintar saja, tetapi tidak cendekia itu justru mengacaukan keadaan, karena hanya melahirkan orang-orang yang tidak jujur, korup, dan tidak bertanggung jawab kepada bangsanya.”
Diskursus relasi cendekiawan dan kekuasaan tetap menarik dibincang. Apalagi jika dikaitkan dengan perkembangan politik aktual, manakala banyak kaum terdidik bergabung ke partai politik disusul barisan pendukung para (calon) presiden/kepala daerah.
Seharusnya, keterlibatan cendekiawan tidak perlu diprasangkai, lebih baik dipandang wajar atau justru positif. Andil cendekiawan dalam politik praktis bukan hanya hak, melainkan juga partisipasi praksis-pengetahuan yang selama ini mengendap dalam kognisi cendekiawan.
Namun melihat realitas yang terjadi, keterlibatan cendekiawan tidak hanya perlu dikritisi, tetapi juga dipesimisi, bahkan ditentang. Sebab, alih-alih produktif dalam memperjuangkan idealismenya, cendekiawan akan larut dalam praktik diskursif kekuasaan, sehingga identitas kecendekiawanannya dekaden.
Dulu, kalo ada (rencana) pemilukada, independensi jurnalis dipertanyakan, kemudian netralitas KPU diragukan, sekarang integritas akademisikan pun bisa dipermasalahkan.
“Ah, kelewat serius,” celetuk Minan Tunja.
“Iya, saya pernah membaca betapa bahaya menjadi orang serius,” kata Pithagiras.
“Tapi lebih bahaya orang yang tak pernah serius,” sambar Mat Puhit.
“Ini baca. Kecendekiawanan model apa yang membuat pemilihan gubernur di Lampung hampir selalu didahului dengan huru-hara? Kecendekiaan apa yang membuat pertemuan membahas jadwal dan anggaran Pemilihan Gubernur (Pilgub) Lampung antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Pemerintah Provinsi Lampung tidak menemukan titik temu?” sambung Udien.
“Ei, ngapi muneh butong-butong,” kata Radin Mak Iwoh.
“Kerja pengamat cuma otak-atik pasal aja. Saya diminta wawancara dengan pengamat yang netral tentang hal ini. La, siapa pengamat yang netral itu?” kata Udien kesal.
Lampung Post, Sabtu, 27 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment