Oleh Udo Z. Karzi
SULIT bagi Mamak Kenut memahami mengapa terjadi kerusuhan atau amuk massa. Tapi, realitaslah yang terjadi. Perkelahian pelajar, keributan konser musik, frustrasi suporter sepak bola, dan permusuhan antarkampung.
Alasan-alasan yang muncul terkadang sepele. Penyebab kejadian dan akibatnya selalu tidak sebanding. Kerugian materi dan jiwa terlalu mahal hanya untuk menebus masalah sepele.
Masalahnya memang bukan untung-rugi. Orang yang terlibat tidak pernah berpikir ke sana. Mereka dihinggapi collective mind yang tidak rasional (McDougall).
Namun, tentu saja kita tak bisa begitu saja menghakimi mereka (pihak yang terlibat kekisruhan). Tindakan yang tergesa-gesa dilakukan terhadap mereka sama tidak rasionalnya dengan mereka. Masalahnya jelas sangat kompleks, bukan sekadar pada perilaku mereka dan akibatnya.
***
Kejadian-kejadian itu jelas menuntut penjelasan teoretis. Terpaksa Mamak Kenut buka-buka referensi lagi. Dari kajian psikologi-sosial mazhab Baron dan Byrne (2009) akan didapat penjelasan, kerusuhan yang berawal dari perkelahian dua individu itu didukung oleh adanya stereotip oleh masing-masing kelompok.
Dua orang dianggap sebagai representasi dari dua kelompok. Mereka mengacaukan nalar antara konflik pribadi dan relevansinya dengan asumsi, kecurigaan, serta kebencian-kebencian kolektif yang tanpa dasar.
Terapi psikologi berdasarkan panduan Gerald Corey (1995) memberikan rekomendasi tentang pentingnya pemanfaatan terapi kognitif dan realitas. Hal itu setidaknya telah dilakukan oleh para aparat yang mengundang dua pihak untuk menandatangani nota kesepahaman. Di permukaan tampaknya kerusuhan memang reda, tetapi masyarakat masih menutup pintu dan masing-masing anggota kelompok tidak bisa melepaskan kecurigaan begitu saja.
Kajian sosiologi akan menghasilkan simpulan tentang adanya kerumunan massa yang berpotensi menimbulkan anomi dan kekerasan. Berdasarkan teori Emile Durkheim, kita mendapatkan petunjuk bahwa kasus ini merupakan pelampiasan-pelampiasan hasrat individu untuk merusak dalam situasi anomi. Itu mengisyaratkan retaknya integrasi sosial di tengah-tengah masyarakat.
***
Mamak Kenut mencatat, warisan primitif manusia mengungkap kenyataan bahwa kita sesungguhnya menyukai kekerasan. Itulah kenapa kekerasan yang terjadi berurutan itu berada dalam satu alur: berawal dari bentrok individual menuju amuk massa. Masalahnya, pemerintah kehilangan daya membangun manusia Indonesia yang mampu memahami resolusi konflik melalui komunikasi, empati, dan permaafan.
Lampung Post, Selasa, 30 Oktober 2012
SULIT bagi Mamak Kenut memahami mengapa terjadi kerusuhan atau amuk massa. Tapi, realitaslah yang terjadi. Perkelahian pelajar, keributan konser musik, frustrasi suporter sepak bola, dan permusuhan antarkampung.
Alasan-alasan yang muncul terkadang sepele. Penyebab kejadian dan akibatnya selalu tidak sebanding. Kerugian materi dan jiwa terlalu mahal hanya untuk menebus masalah sepele.
Masalahnya memang bukan untung-rugi. Orang yang terlibat tidak pernah berpikir ke sana. Mereka dihinggapi collective mind yang tidak rasional (McDougall).
Namun, tentu saja kita tak bisa begitu saja menghakimi mereka (pihak yang terlibat kekisruhan). Tindakan yang tergesa-gesa dilakukan terhadap mereka sama tidak rasionalnya dengan mereka. Masalahnya jelas sangat kompleks, bukan sekadar pada perilaku mereka dan akibatnya.
***
Kejadian-kejadian itu jelas menuntut penjelasan teoretis. Terpaksa Mamak Kenut buka-buka referensi lagi. Dari kajian psikologi-sosial mazhab Baron dan Byrne (2009) akan didapat penjelasan, kerusuhan yang berawal dari perkelahian dua individu itu didukung oleh adanya stereotip oleh masing-masing kelompok.
Dua orang dianggap sebagai representasi dari dua kelompok. Mereka mengacaukan nalar antara konflik pribadi dan relevansinya dengan asumsi, kecurigaan, serta kebencian-kebencian kolektif yang tanpa dasar.
Terapi psikologi berdasarkan panduan Gerald Corey (1995) memberikan rekomendasi tentang pentingnya pemanfaatan terapi kognitif dan realitas. Hal itu setidaknya telah dilakukan oleh para aparat yang mengundang dua pihak untuk menandatangani nota kesepahaman. Di permukaan tampaknya kerusuhan memang reda, tetapi masyarakat masih menutup pintu dan masing-masing anggota kelompok tidak bisa melepaskan kecurigaan begitu saja.
Kajian sosiologi akan menghasilkan simpulan tentang adanya kerumunan massa yang berpotensi menimbulkan anomi dan kekerasan. Berdasarkan teori Emile Durkheim, kita mendapatkan petunjuk bahwa kasus ini merupakan pelampiasan-pelampiasan hasrat individu untuk merusak dalam situasi anomi. Itu mengisyaratkan retaknya integrasi sosial di tengah-tengah masyarakat.
***
Mamak Kenut mencatat, warisan primitif manusia mengungkap kenyataan bahwa kita sesungguhnya menyukai kekerasan. Itulah kenapa kekerasan yang terjadi berurutan itu berada dalam satu alur: berawal dari bentrok individual menuju amuk massa. Masalahnya, pemerintah kehilangan daya membangun manusia Indonesia yang mampu memahami resolusi konflik melalui komunikasi, empati, dan permaafan.
Lampung Post, Selasa, 30 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment