Oleh Udo Z. Karzi
HATI-HATI, menjelang pemilu rawan peredaran uang palsu. Pesta demokrasi akbar lima tahunan memang identik dengan bagi-bagi uang, baik dari partai politik peserta pemilu maupun calon legislatif, agar mencoblos mereka di hari pemilihan. Namun, bagi-bagi uang ini tidak terang-terangan makanya disebut serangan fajar.
Apakah ada kaitan antara serangan fajar itu dengan peredaran uang palsu? Entahlah, yang jelas pemalsuan uang memang dipengaruhi oleh sedikit banyaknya aktivitas ekonomi atau transaksi yang memungkinkan peredaran uang palsu. Sebab, para pelaku kejahatan ini memang selalu memanfaatkan sebuah momentum. Momen yang bersifat masif bisa dimanfaatkan, misalnya, kampanye.
Begitulah, menjelang pemilu—entah ada entah tidak hubungannya—banyak terjadi pemalsuan, mulai dari ban dalam palsu, akta kelahiran palsu, sertifikat palsu, tanda tangan palsu, ijazah palsu, laporan sumbangan dana partai palsu, tulisan palsu, karya palsu, janji palsu, sumpah palsu, sampai ke caleg atau kandidat palsu. Hehee....
Mungkin banyak lagi pemalsuan yang terjadi, baik berskala kecil maupun skala besar; mulai dari pemalsuan yang menimbulkan kerugian pada satu orang, beberapa orang, hingga pemalsuan yang menyangkut banyak orang atau mengenai kepentingan publik yang tidak terkover media massa atau sengaja ditutup-tutupi.
Ini menjelang pemilu (dan pemilukada). Mudah dibaca kasus-kasus pemalsuan itu bermotif ekonomi-politik. Keinginan mendapatkan untung besar dan hasrat berkuasa lalu mendapatkan sumber-sumber material yang mendorong oknum melakukan pemalsuan. Tentu saja, pemalsuan-pemalsuan yang terjadi tidak bisa disamaratakan karena alasan ekonomi-politik belaka. Faktor lain yang bisa dikemukakan lebih mengarah pada mentalitas dan moralitas. sakit hati, rasa dendam, dan hasrat berkuasa bisa saja mendasari seseorang memalsukan tanda tangan dan suara.
Barangkali juga latah. Atau, karena iman, akhlak, dan kemampuan melihat mana yang baik, mana yang buruk, atau menyeleksi masyarakat kita yang buruk. Atau, mungkin karena hati telah tertutup jelaga.
Namun, satu hal, perilaku pemalsuan bukan hanya salah oknumnya. Para konsumen, penyalur, dan masyarakat luas langsung tidak langsung memberi peluang bagi kegiatan oknum tersebut, patut dipersalahkan.
Apa pun motif, alasan, dan landasannya, pemalsuan adalah perilaku yang seharusnya dilenyapkan. Bagaimanapun pemalsuan tetap merupakan tindakan yang melanggar hukum. Dengan pemalsuan karya orang lain, misalnya, berarti telah menjungkirbalikkan hak orang lain. Padahal, bangsa yang beradab adalah bangsa yang menghargai karya dan cipta siapa pun.
Mentalitas menghargai karya orang lain—meminjam istilah Koentjaraningrat—harus dijunjung tinggi. Ini kalau kita tidak ingin dicap sebagai bangsa yang bermentalitas rendah. Lebih dari itu, dengan mentalitas menghargai karya orang lain, inilah bangsa kita akan mampu berpacu mengejar kemajuan, menyejajarkan diri dengan bangsa maju lainnya.
Akhirnya, menjelang pemilu dan Pilgub Lampung, MK cuma menganjurkan jangan pilih caleg atau cagub palsu alias caleg dan cagub gombal. Hehee... n
Lampung Post, Jumat, 4 April 2014
HATI-HATI, menjelang pemilu rawan peredaran uang palsu. Pesta demokrasi akbar lima tahunan memang identik dengan bagi-bagi uang, baik dari partai politik peserta pemilu maupun calon legislatif, agar mencoblos mereka di hari pemilihan. Namun, bagi-bagi uang ini tidak terang-terangan makanya disebut serangan fajar.
Apakah ada kaitan antara serangan fajar itu dengan peredaran uang palsu? Entahlah, yang jelas pemalsuan uang memang dipengaruhi oleh sedikit banyaknya aktivitas ekonomi atau transaksi yang memungkinkan peredaran uang palsu. Sebab, para pelaku kejahatan ini memang selalu memanfaatkan sebuah momentum. Momen yang bersifat masif bisa dimanfaatkan, misalnya, kampanye.
Begitulah, menjelang pemilu—entah ada entah tidak hubungannya—banyak terjadi pemalsuan, mulai dari ban dalam palsu, akta kelahiran palsu, sertifikat palsu, tanda tangan palsu, ijazah palsu, laporan sumbangan dana partai palsu, tulisan palsu, karya palsu, janji palsu, sumpah palsu, sampai ke caleg atau kandidat palsu. Hehee....
Mungkin banyak lagi pemalsuan yang terjadi, baik berskala kecil maupun skala besar; mulai dari pemalsuan yang menimbulkan kerugian pada satu orang, beberapa orang, hingga pemalsuan yang menyangkut banyak orang atau mengenai kepentingan publik yang tidak terkover media massa atau sengaja ditutup-tutupi.
Ini menjelang pemilu (dan pemilukada). Mudah dibaca kasus-kasus pemalsuan itu bermotif ekonomi-politik. Keinginan mendapatkan untung besar dan hasrat berkuasa lalu mendapatkan sumber-sumber material yang mendorong oknum melakukan pemalsuan. Tentu saja, pemalsuan-pemalsuan yang terjadi tidak bisa disamaratakan karena alasan ekonomi-politik belaka. Faktor lain yang bisa dikemukakan lebih mengarah pada mentalitas dan moralitas. sakit hati, rasa dendam, dan hasrat berkuasa bisa saja mendasari seseorang memalsukan tanda tangan dan suara.
Barangkali juga latah. Atau, karena iman, akhlak, dan kemampuan melihat mana yang baik, mana yang buruk, atau menyeleksi masyarakat kita yang buruk. Atau, mungkin karena hati telah tertutup jelaga.
Namun, satu hal, perilaku pemalsuan bukan hanya salah oknumnya. Para konsumen, penyalur, dan masyarakat luas langsung tidak langsung memberi peluang bagi kegiatan oknum tersebut, patut dipersalahkan.
Apa pun motif, alasan, dan landasannya, pemalsuan adalah perilaku yang seharusnya dilenyapkan. Bagaimanapun pemalsuan tetap merupakan tindakan yang melanggar hukum. Dengan pemalsuan karya orang lain, misalnya, berarti telah menjungkirbalikkan hak orang lain. Padahal, bangsa yang beradab adalah bangsa yang menghargai karya dan cipta siapa pun.
Mentalitas menghargai karya orang lain—meminjam istilah Koentjaraningrat—harus dijunjung tinggi. Ini kalau kita tidak ingin dicap sebagai bangsa yang bermentalitas rendah. Lebih dari itu, dengan mentalitas menghargai karya orang lain, inilah bangsa kita akan mampu berpacu mengejar kemajuan, menyejajarkan diri dengan bangsa maju lainnya.
Akhirnya, menjelang pemilu dan Pilgub Lampung, MK cuma menganjurkan jangan pilih caleg atau cagub palsu alias caleg dan cagub gombal. Hehee... n
Lampung Post, Jumat, 4 April 2014
No comments:
Post a Comment