Monday, November 25, 2013

Liwa-Krui

Oleh Udo Z. Karzi


Keesokan harinya Yusuf pergi mengikuti Sukartono pergi ke Keroi. Jalan yang tiada putus-putus berkelok-kelok menurun menuju ke bawah, hutan yang hijau meliputi lurah dan tebing sepanjang jalan dan akhirnya pemandangan yang dahsyat ke arah lautan Samudra yang biru luas membentang...
(St. Takdir Alisyahbana, Layar Terkembang, Jakarta: Balai Pustaka, 1936, hlm. 41).

Selamat jalan Kawasan TNBBS
antara Liwa dan Krui (foto: artha dinata)
ITULAH jejak literer tentang betapa eksotiknya jalan yang menghubungkan Liwa, Lampung Barat, dan Krui, Pesisir Barat. Harus diakui jalan ini sesungguhnya destinasi yang memesona bagi para traveller.

Ya, bikin kangen Liwa saja. Kebetulan ada undangan dari SMAN 1 Liwa untuk mengisi apresiasi sastra di sana.

"Tapi kan longsor," kata seseorang.

"Yang putus itu jalan dari Liwa ke Krui. Ke Liwa enggak apa-apa kok," kata Mamak Kenut.   

Maka, berangkatlah Mamak Kenut menuju Liwa. Kebetulan bertemu teman perjalanan yang asyik ngobrol mengenai Liwa dan Krui. Hubungan orang Liwa dan Krui itu memang seru, ibarat lagu Benci tapi Rindu-nya Diana Nasution.

Satu di gunung dan satu di laut, bersatu dalam belanga. Begitulah, kata Novan Saliwa, Liwa menumbuhkan sayur-mayur segar, Krui menyedikan ikan-ikan segar. "Mereka berdua (Liwa dan Krui) muari (bersaudara) sejak diciptakan memang hendak bersatu agar sama-sama memberi faedah," ujar dia.

Iya juga, Pinyut yang tinggal di Liwa selalu memanfaatkan hari libur dan hari-hari besar untuk berkunjung ke Krui, melepas kerinduannya akan laut; di samping ke Danau Ranau, melampiaskan kedahagaan akan telaga. Yah, Liwa, Krui, dan Ranau memang benar-benar bersaudara.

Benar belaka. Buktinya semenjak jalan Liwa—Krui putus, biaya hidup di Krui melonjak tajam. Harga-harga mahal karena sayuran dan beberapa barang yang dipasok melalui Liwa terhambat. Wajar jika kemudian warga Liwa dan Krui sama-sama tidak betah dengan terhambatnya aliran urat nadi Pesisir Barat dan Lampung Barat ini.

Mat Puhit saja pusing. Bagaimana tidak, ia terpaksa bertarung nyawa menyisiri jalan setapak yang di sampingnya menganga jurang, yang kalau tidak hati-hati, bisa tergelincir ke kedalaman hingga 50 meter. Demi kundangku kahut seorang!

"Makanya, cari pacar jangan jauh-jauh. Misalnya kayak saya ini," kata Pithagiras.

"Sapa sai aga!" sahut Mat Puhit.

Hahaa.... n


Lampung Post, Senin, 25 November

No comments:

Post a Comment