Wednesday, February 17, 2010

Mendengar

Oleh Udo Z. Karzi

"Dalam keheningan, kita bisa mendengar dan didengar." (Subcomandante Marcos)

DUNIA ini penuh keberengsekan. Dalam berbagai kesempatan kita merasa perlu memaki, berteriak-teriak, mengkritik, atau minimal memberikan saran. Terlalu banyak yang tidak ideal--apalagi kalau ukuran yang dipakai adalah pemikiran kita sendiri.

Masalahnya, kita lupa. Orang lain boleh saja lebih pintar dari kita. Mereka punya argumen yang logis untuk berbuat di luar kelaziman. Setiap orang punya self defense mechanism di dalam dirinya.

Okelah, kritik kita benar. Tapi, tetap saja akan melawan sampai titik ludah penghabisan. Soalnya, tidak seorang pun senang dikritik. Mungkin secara lisan dia akan bilang, "Senang sekali dengan masukan Anda," tetapi dalam hatinya sebenarnya ngedumel, "Ini orang sok tahu bener ya!"

Dunia ini terlalu besar untuk ikut aturan main kita. Ada banyak cara dan jalan yang boleh dipilih oleh siapa pun. Ya, itulah perbedaan yang harus kita hormati tanpa harus mempertegas perbedaan itu karena sesungguhnya kita juga memiliki banyak persamaan. Cara menemukannya adalah dengan jalan mendengarkan.

MENDENGAR. Apa pula sulitnya. Itu kan cuma rutinitas saja. Tapi, jangan anggap remeh mendengar. Mendengar bukan sekadar menangkap suara. Mendengar adalah sebuah proses menciptakan harmoni. Sebuah proses panjang yang butuh peruntuhan ego secara simultan, tidak sekadar pergi meninggalkannya setelah semuanya usai.

Mendengar adalah seni bagaimana melegakan setiap hati. "Mari kita saling mendengar agar bisa saling mengerti," begitu bunyi salah satu komunike gerakan Zapatista di Meksiko. Bila kita saling mendengar, tak bakal ada penindasan. Kematian rasa terjadi karena kita ogah mendengar. Ketulian kita menyebabkan kita tak mengerti dan tak memahami orang lain.

Mendengarkan adalah suatu proses yang menentukan, apakah hubungan akan berlanjut secara efektif dengan orang lain atau tidak. Ini memerlukan kekuatan emosional. Mendengarkan memerlukan kesabaran, keterbukaan, dan keinginan untuk mengerti perasaan orang lain. Tentu saja, untuk mencapai pola ideal seperti ini diperlukan proses ke lapangan dada yang harus dilakukan dan dipelajari terus-menerus hingga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keseharian.

Bentrok atau kekerasan yang memakan korban terjadi karena para pihak mengabaikan sikap mengalah dan mau mendengarkan apa satu sama lain. Padahal, tindakan mendengarkan ini memiliki kekuatan emosional yang mampu meredam ketegangan. Namun, mereka mengabaikannya. Akibatnya, terjadilah apa yang seharusnya tidak perlu terjadi.


Lampung Post, Rabu, 17 Februari 2010

No comments:

Post a Comment