Oleh Udo Z. Karzi
SAAT semua upaya telah mentok: ilmu telah tak berguna, logika sudah tak terpakai lagi, aparat hukum tak bergigi, proses politik tak berkuasa lagi, lembaga negara tak berfungsi, dan amuk massa tak memberikan solusi; barangkali saja benar kita harus jadi hantu.
Jadi hantu adalah sebuah perlawanan. Tidak ilmiah memang. Jauh pula dari kelogisan. Tapi, mau apa lagi. Mat Puhit setuju saja jadi hantu. Urusannya bukan lagi lazim-tidak lazim, masuk akal dan tidak masuk akal, nalar-tidak nalar. Ini sudah menyangkut tuduhan (boleh jadi fitnah) dan harga diri. Soalnya tak ada satu pun yang mau mengaku, tidak satu pun bersaksi, dan tidak satu pun mampu membuktikannya.
Tapi Minan Tunja protes. Jadi hantu sama sekali tidak mendidik masyarakat. Jadi hantu hanyalah upaya mengalihkan masalah dari sebuah kondisi ketidakmampuan pihak-pihak untuk berbuat jujur, berkata benar, dan berani bertanggung jawab atas apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan. Jadi hantu cuma jalan untuk menunjukkan kita tak cukup cerdas mengungkap dan menyatakan: yang benar tetap benar dan yang salah tetap salah.
Itulah soalnya. Kita, masyarakat kita, pemimpin-pemimpin kita tak pernah biasa memegang, menjunjung, dan mempertahankan kebenaran. Kita, masyarakat kita, pemimpin-pemimpin kita tak pernah dapat berlaku jujur dengan diri sendiri, dengan nurani sendiri, dengan keyakinan sendiri, dengan agama sendiri. Kalau sudah begitu, jangan pula berharap kita bisa jujur terhadap orang lain, keluarga lain, bawahan lain, atasan lain, lembaga lain, dan lain-lain.
Kebenaran itu hanya ada di kitab-kitab, di teori-teori, di retorika-retorika di kepala kita. Kebenaran tak pernah mewujud dalam bentuk sikap dan perilaku di dunia nyata. Kalau kita maling, jangan pernah mengaku. Itu kebodohan. Kalau kita bodoh, jangan pernah menjadi pandir. Itu salah. Kalau kita salah, jangan pernah merasa bersalah. Itu keliru. Kalau kita keliru, jangan pernah salah tingkah. Itu dungu. Kalau kita dungu, jangan pernah bertanya. Itu bego. Kalau kita bego, jangan sampai kelihatan kere. Itu penderitaan. Kalau kita menderita, jangan pernah mempertunjukkannya. Itu...pokoknya jangan sekali-kali kita mempertunjukkan kelemahan apalagi dosa kita.
Sebuah pengakuan tentang betapa kotornya kita justru membuat kita terjerumus dalam suatu lembah kehinaan. Sekali saja orang tahu belang kita, seumur hidup kita orang tak percaya. Gengsi, pamor, citra, popularitas, kredibilitas, akuntabilitas, atau apa pun yang berbau harga diri hancur.
Minta maaf? Nehi! Jangan pernah mengakui kesalahan dengan cara meminta maaf. Seandainya kita memohon maaf, siapa yang mau peduli dengan pernyataan seperti itu. Tak ada simpati lagi. Tak ada penghargaan lagi. Tak ada kehormatan lagi. Tak ada fasilitas lagi. Tak ada kemanfaatan lagi. Tak ada yang peduli lagi.
Kebenaran itu hanya milik Tuhan. Manusia memang tumpuan kesalahan. Kalau kita alpa, berbuat salah, atau bahkan dosa, itu wajar saja. Lagi pula itu cuma kesalahan teknis. Kesalahan prosedur saja. Tidak substansial. Bukan human error. Jadi, itu bukan hal yang esensial.
Mamak Kenut pun bersabda: kebenaran, barangkali, dapat terungkap atau makin mak jelas dengan jadi hantu. Boleh coba.
Lampung Post, Jum'at, 9 April 2010
No comments:
Post a Comment