: Aditya Prasetya
Oleh Udo Z. Karzi
TAHUN baru 1 Muharam 1435 Hijriah. Sejarah mencatat inilah momentum penting dalam perkembangan Islam; ketika Muhammad saw. berhijrah dari Mekah ke Madinah. Inilah titik balik bagi kemajuan siar Islam menembus ke berbagai penjuru angin ke berbagai belahan dunia.
Lalu, angin menghembuskan kabar ke Negeri Ujung Pulau tentang seorang pemuda yang hijrah dari dunia fana menuju keabadian. Dari nun jauh di sana, Saumalaki, Maluku Tenggara Barat, Maluku.
Aditya Prasetya, anak muda kelahiran Bandar Lampung, 1 Oktober 1988, dan alumnus Program Studi Fisika FKIP Universitas Lampung (Unila) yang tengah mengikuti program Indonesia Mengajar sebagai pengajar muda angkatan VI di SDK Wunlah, Kecamatan Wuarlabobar, Matengba, berpulang ke hadirat-Nya.
Shally Pristine, rekan sesama pengajar muda berujar, "Ia meninggal dalam keadaan damai ketika sedang tertidur saat sedang menginap di rumah dinas Bupati Maluku Tenggara Barat. Ia bersama teman-teman sekabupatennya sedang menyiapkan pelatihan guru di ibu kota Maluku Tenggara Barat, Saumlaki, dan karena itu kami bersaksi ia meninggal dalam keadaan husnulkhatimah dan syahid."
Mamak Kenut tersentak mendapatkan berita ini. "Saat malam kami harus mengejar waktu, tidak bisa bermalam itu hal biasa. Menahan kantuk saat siang karena malam tidak tidur itu lumrah saja. Mengeluh di sini tidak pantas dilaksanakan. Walaupun dapat waktu istirahat yang memang hanya sebentar," tulis Aditya Prasetya dalam Tuhan Pantaskah Aku Bersyukur (Perjalanan Wuarlabobar II) (blog Indonesia Mengajar https://indonesiamengajar.org, 14/10/2013).
Bergetar Mamak Kenut membaca-baca goresan pena aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unila ini. Betapa negeri ini memang zamrud di khatulistiwa. "Saya tidak tahu kata-kata apa yang tepat mengawali tulisan ini agar tampak bagus serta mewakili rasa kekaguman saat penjelajahan saya di salah satu tanah Indonesia ini, Kecamatan Wuarlabobar. Pujangga mana pun saya pikir sulit untuk mendeskripsikan keindahannya. Memang sungguh indah. Mentarinya tiap pagi selalu menyapa dengan penuh semangat," tulis Aditya di blognya yang lain.
Walaupun tidak menemukan tulisan Aditya di media massa, ternyata Aditya penulis yang baik. Anak muda, aktivis, dan pekerja keras. Membaca sosok ini terasa penuh energik, optimistis, dan senang dengan tantangan. Wajah yang ngeganteng dengan senyum hangat sebagaimana tampak dalam fotonya di profil situs Indonesia Mengajar tentulah bikin kangen selalu siswa-siswinya di SDK Wunlah.
Selamat jalan, Pak Guru Muda. Perjuangan masih panjang… Kami sudah coba apa yang kami bisa/Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa, kata Charil Anwar dalam sajak Krawang-Bekasi. n
Lampung Post, Rabu, 6 November 2013
Oleh Udo Z. Karzi
Aditya Prasetya |
Lalu, angin menghembuskan kabar ke Negeri Ujung Pulau tentang seorang pemuda yang hijrah dari dunia fana menuju keabadian. Dari nun jauh di sana, Saumalaki, Maluku Tenggara Barat, Maluku.
Aditya Prasetya, anak muda kelahiran Bandar Lampung, 1 Oktober 1988, dan alumnus Program Studi Fisika FKIP Universitas Lampung (Unila) yang tengah mengikuti program Indonesia Mengajar sebagai pengajar muda angkatan VI di SDK Wunlah, Kecamatan Wuarlabobar, Matengba, berpulang ke hadirat-Nya.
Shally Pristine, rekan sesama pengajar muda berujar, "Ia meninggal dalam keadaan damai ketika sedang tertidur saat sedang menginap di rumah dinas Bupati Maluku Tenggara Barat. Ia bersama teman-teman sekabupatennya sedang menyiapkan pelatihan guru di ibu kota Maluku Tenggara Barat, Saumlaki, dan karena itu kami bersaksi ia meninggal dalam keadaan husnulkhatimah dan syahid."
Mamak Kenut tersentak mendapatkan berita ini. "Saat malam kami harus mengejar waktu, tidak bisa bermalam itu hal biasa. Menahan kantuk saat siang karena malam tidak tidur itu lumrah saja. Mengeluh di sini tidak pantas dilaksanakan. Walaupun dapat waktu istirahat yang memang hanya sebentar," tulis Aditya Prasetya dalam Tuhan Pantaskah Aku Bersyukur (Perjalanan Wuarlabobar II) (blog Indonesia Mengajar https://indonesiamengajar.org, 14/10/2013).
Bergetar Mamak Kenut membaca-baca goresan pena aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unila ini. Betapa negeri ini memang zamrud di khatulistiwa. "Saya tidak tahu kata-kata apa yang tepat mengawali tulisan ini agar tampak bagus serta mewakili rasa kekaguman saat penjelajahan saya di salah satu tanah Indonesia ini, Kecamatan Wuarlabobar. Pujangga mana pun saya pikir sulit untuk mendeskripsikan keindahannya. Memang sungguh indah. Mentarinya tiap pagi selalu menyapa dengan penuh semangat," tulis Aditya di blognya yang lain.
Walaupun tidak menemukan tulisan Aditya di media massa, ternyata Aditya penulis yang baik. Anak muda, aktivis, dan pekerja keras. Membaca sosok ini terasa penuh energik, optimistis, dan senang dengan tantangan. Wajah yang ngeganteng dengan senyum hangat sebagaimana tampak dalam fotonya di profil situs Indonesia Mengajar tentulah bikin kangen selalu siswa-siswinya di SDK Wunlah.
Selamat jalan, Pak Guru Muda. Perjuangan masih panjang… Kami sudah coba apa yang kami bisa/Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa, kata Charil Anwar dalam sajak Krawang-Bekasi. n
Lampung Post, Rabu, 6 November 2013
No comments:
Post a Comment