Oleh Udo Z. Karzi
MAT Puhit ketawa terpingkal-pingkal membaca berita daerah Lampung Post, Selasa (11/2), berjudul Pendidikan Gratis Cuma Nama. Isinya mak-mak di Lampung Barat mengkritik program pendidikan gratis, mulai SD sampai SMA di kabupaten ini.
Mereka bilang pendidikan gratis sekadar nama karena yang dibebaskan hanya sumbangan/komite, sedangkan kebutuhan belajar siswa seperti buku-buku pelajaran (buku cetak) tetap dibebankan ke siswa.
“Apanya yang gratis kalau sebentar-sebentar anak-anak diminta fotokopi buku cetak atau beli buku cetak sendiri yang biasanya tidak sedikit,” kata Isromiah (45), warga Liwa, Lampung Barat, Minggu (9/2).
Lucu deh!
“Apa enggak sekalian anak-anak sekolah itu dikasih ongkos buat ke sekolah dan uang saku?” celetuk Udien.
“Kalau sudah tak bayar uang sekolah (SPP), uang komite (uang bangunan), dan segala jenis iuran... ya sekolah gratislah itu,” Pithagiras sengit.
“Yang benar aja. Masa semua-muanya enggak bayar. Emangnya apaan. Hidupitu mamang pakai biaya. Masa mentang-mentang gratis, segalanya enggak bayar. Ya kasihanlah, dari mana pula sekolah mengadakan dana-dana untuk keperluan pribadi anak-anak sekolah itu,” cerocos Pinyut.
Tapi eit... dengar dulu apa kata Ibu Isromiah. “Zaman dulu semua siswa diminta mencatat apa yang dipelajari kemudian dijelaskan sehingga siswanya bisa menyimak. Tapi kini guru malas kerja dan hanya meminta anak-anak memfotokopi buku cetak lalu anak diminta belajar sendiri,” ujarnya.
Iya juga, ya. Tapi bukankah itu hanya sisi lain dari semakin mahalnya, semakin komersil-nya pendidikan di negeri ini?
“Sekolah sudah gratis. Pemkab Lambar sudah benar dalam hal ini. Tidak ada pungutan terhadap siswa,” Minan Tunja nyeletuk.
“Ya, tapi orang tua tetap mengeluarkan biaya mahal karena harus memfotokopi buku cetak. Belum lagi biaya transportasi anak ke sekolah dan biaya perlengkapannya,” sahut Isromiah lagi.
Radin Mak Iwoh mencoba menjelaskan hal ini. “Ya elah. Soal biaya-biaya peralatan, perlengkapan, dan kebutuhan belajar sebagian memang sudah disediakan sekolah. Yang tidak disiapkan sekolah, seperti seragam sekolah, sepatu, tas, buku tulis, buku cetak, dan alat tulis-menulis lainnya, termasuk ongkos dan uang jajan tentu saja menjadi tanggungan orang tua siswa masing-masing,”
“Gurunya enggak kreatif sih. Apa-apa suruh fotokopi... fotokopi kan sekarang mahal...”
“Yah sekarang zamannya fotokopi, Bu!”
“Ya, apanya yang gratis kalau begitu...”
“Sekolahnya tetap gratis. Beli buku dan fotokopi yang mahal.”
“Jadi gimana, dong?”
“Beli buku, fotokopi bagus kalau bisa... tapi kalau enggak kan bisa juga siswanya yang rajin mencatat pelajaran. Itu sih tergantung gurunya. Memang masih ada guru yang mewajibkan siswa beli buku? Kan tidak?”
“Tu dengerin, Pak, Bu Guru. Jadi guru yang kreatiflah...”
(Dalam hati Mamak Kenut hanya membatin, dari dulu yang namanya buku memang mahal. Tapi, karena buku adalah jendela dunia, buku tetap harus dibaca, ia merasa perlu pinjam buku, bahkan kadang ia merasa harus memilikinya. Ya beli dong, meski harus menyisihkan uang saku untuk itu. Kalau tak bisa beli, ya dengan mencurinya dari perpustakaan. Ssst, jangan bilang-bilang!) n
Lampung Post, Rabu, 12 Februari 2013
MAT Puhit ketawa terpingkal-pingkal membaca berita daerah Lampung Post, Selasa (11/2), berjudul Pendidikan Gratis Cuma Nama. Isinya mak-mak di Lampung Barat mengkritik program pendidikan gratis, mulai SD sampai SMA di kabupaten ini.
Mereka bilang pendidikan gratis sekadar nama karena yang dibebaskan hanya sumbangan/komite, sedangkan kebutuhan belajar siswa seperti buku-buku pelajaran (buku cetak) tetap dibebankan ke siswa.
“Apanya yang gratis kalau sebentar-sebentar anak-anak diminta fotokopi buku cetak atau beli buku cetak sendiri yang biasanya tidak sedikit,” kata Isromiah (45), warga Liwa, Lampung Barat, Minggu (9/2).
Lucu deh!
“Apa enggak sekalian anak-anak sekolah itu dikasih ongkos buat ke sekolah dan uang saku?” celetuk Udien.
“Kalau sudah tak bayar uang sekolah (SPP), uang komite (uang bangunan), dan segala jenis iuran... ya sekolah gratislah itu,” Pithagiras sengit.
“Yang benar aja. Masa semua-muanya enggak bayar. Emangnya apaan. Hidupitu mamang pakai biaya. Masa mentang-mentang gratis, segalanya enggak bayar. Ya kasihanlah, dari mana pula sekolah mengadakan dana-dana untuk keperluan pribadi anak-anak sekolah itu,” cerocos Pinyut.
Tapi eit... dengar dulu apa kata Ibu Isromiah. “Zaman dulu semua siswa diminta mencatat apa yang dipelajari kemudian dijelaskan sehingga siswanya bisa menyimak. Tapi kini guru malas kerja dan hanya meminta anak-anak memfotokopi buku cetak lalu anak diminta belajar sendiri,” ujarnya.
Iya juga, ya. Tapi bukankah itu hanya sisi lain dari semakin mahalnya, semakin komersil-nya pendidikan di negeri ini?
“Sekolah sudah gratis. Pemkab Lambar sudah benar dalam hal ini. Tidak ada pungutan terhadap siswa,” Minan Tunja nyeletuk.
“Ya, tapi orang tua tetap mengeluarkan biaya mahal karena harus memfotokopi buku cetak. Belum lagi biaya transportasi anak ke sekolah dan biaya perlengkapannya,” sahut Isromiah lagi.
Radin Mak Iwoh mencoba menjelaskan hal ini. “Ya elah. Soal biaya-biaya peralatan, perlengkapan, dan kebutuhan belajar sebagian memang sudah disediakan sekolah. Yang tidak disiapkan sekolah, seperti seragam sekolah, sepatu, tas, buku tulis, buku cetak, dan alat tulis-menulis lainnya, termasuk ongkos dan uang jajan tentu saja menjadi tanggungan orang tua siswa masing-masing,”
“Gurunya enggak kreatif sih. Apa-apa suruh fotokopi... fotokopi kan sekarang mahal...”
“Yah sekarang zamannya fotokopi, Bu!”
“Ya, apanya yang gratis kalau begitu...”
“Sekolahnya tetap gratis. Beli buku dan fotokopi yang mahal.”
“Jadi gimana, dong?”
“Beli buku, fotokopi bagus kalau bisa... tapi kalau enggak kan bisa juga siswanya yang rajin mencatat pelajaran. Itu sih tergantung gurunya. Memang masih ada guru yang mewajibkan siswa beli buku? Kan tidak?”
“Tu dengerin, Pak, Bu Guru. Jadi guru yang kreatiflah...”
(Dalam hati Mamak Kenut hanya membatin, dari dulu yang namanya buku memang mahal. Tapi, karena buku adalah jendela dunia, buku tetap harus dibaca, ia merasa perlu pinjam buku, bahkan kadang ia merasa harus memilikinya. Ya beli dong, meski harus menyisihkan uang saku untuk itu. Kalau tak bisa beli, ya dengan mencurinya dari perpustakaan. Ssst, jangan bilang-bilang!) n
Lampung Post, Rabu, 12 Februari 2013
No comments:
Post a Comment