Monday, July 25, 2011

Republica

Oleh Udo Z. Karzi


PLATO identik dengan filsafat, dan filsafat identik dengan Plato. Pemisahan filsafatnya dari politik tidaklah tepat. Hasilnya, Plato bukan sekadar identik dengan filsafat, tetapi juga identik dengan politik. Meskipun demikian, tidak dapat disangkal bahwa ia adalah pemikir etika sebelum menjadi ahli politik. Pendirian etisnya amat tegas terhadap aktivis-aktivis muda yang berpolitik dengan penuh gairah dan ambisi, tapi miskin kesiapan dan moralitas.

Tak pelak lagi, konsep keadilan pun menempati titik sentral dalam diskusi-diskusi etika Plato. Kebanyakan dialog yang tercatat dalam Republica berkisar pada konsep itu. Dalam analisis Guthrie, Republica itu sendiri adalah kata Yunani yang berarti manusia adil atau perihal keadilan.

Keadilan adalah keutamaan (arete) yang membangun kepribadian manusia secara utuh, pada saat yang sama menghidupkannya aktif dalam pergaulan sosial. Poin ini, yakni memandang citra keadilan pada pembinaan jiwa individu sama dengan citranya pada pembinaan pergaulan sosialnya, adalah bagian lapisan paling dasar dalam filsafat politik Plato.

Ketika para peserta dialog mendiskusikan hakikat keadilan, muridnya yang cerdas, Socrates mengusulkan supaya pertama-tama mengkaji keadilan dan ketidakadilan pada tingkat negara, kemudian mengkajinya pada tingkat individu; menelusurinya dari yang besar ke yang kecil lalu membandingkannya. Gloucon, salah satu peserta, malah memuji usul ini sembari sepakat dengan kesimpulan Socrates, bahwa "Tidak ada bedanya antara seorang yang adil dan masyarakat yang adil, maka keduanya sama, karena sama-sama membawa hakikat keadilan". Masalahnya, apakah hakikat keadilan? Dengan kata Copleston, apakah prinsip-prinsip keadilan individu dan keadilan sosial?

Keadilan menjalani definisasi yang beragam di sepanjang diskusi. Mulai dari "memenuhi hak orang lain" melalui "kepentingan orang yang lebih kuat" sampai "menjalankan tugas masing-masing dan tidak campur tangan dalam tugas selainnya".

Definisi terakhir dikontraskan dengan penerjangan atau pemerkosaan politis, yang pada gilirannya menimbulkan kekacauan sebelum dapat membubarkan kehidupan bernegara. Dari sinilah Plato meyakinkan kita bahwa keadilan—menurut definisi ketiga—merupakan landasan kehidupan bermasyarakat.

Dalam kerangka itu, diperlukan spesialisasi. Setiap anggota memerlukan keahlian dalam menjalankan tugasnya, kecil ataupun besar, sekalipun ia tukang kayu atau pengesol sepatu. Plato menyatakan bahwa perkara pengelolaan masyarakat memerlukan lebih dari sekadar keahlian. “Lebih dari sekadar keahlian” memperingatkan aksioma yang berlaku bahwa pemerintahan bukan hanya bekerja guna memenuhi kebutuhan materi, melainkan juga menyediakan lahan-lahan pengembangan spiritual dan moral masyarakat.

"Oleh karena ini," tutur Socrates, "kamu hanya akan menyerahkan kendali masyarakatmu ke tangan orang-orang yang dari satu sisi mengetahui syarat-syarat kebajikan hakiki masyarakat lebih dari yang lain, dan dari sisi lain mereka berwenang menerima kehormatan di atas posisi memerintah". Lalu, siapakah mereka itu?

Lampung Post, Senin, 25 Juli 2011

No comments:

Post a Comment