Friday, July 8, 2011

Kursi Haram

Oleh Udo Z. Karzi


“SEBAGAI makhluk sosial,” begitu Nova Lidarni menulis, “Manusia selalu membutuhkan orang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus mencari karunia Allah yang ada di muka bumi ini sebagai sumber ekonomi.” (Lampung Post, 7 Juli 2011)

Mat Puhit meringis membaca ini. Ia teringat pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di sekolah dasar di masa lalu. Pak Guru PMP kira-kira berkata begini: “Kita tidak boleh bersikap individualis (egois?). Kita harus mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan golongan.”

Itulah gambaran ideal. Dunia penuh dengan nilai-nilai luhur, yang membuat manusia menjadi humanis, yang menjadikan orang berlomba memperjuangkan kebajikan, dan yang menjadikan insani mati-matian mempertahankan kebenaran.

Tapi, inilah alam nyata. Kalaulah mereka mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen, tentulah Gayus dan Nazaruddin tidak akan melakukan tindakan tidak terpuji sebagaimana diberitakan selama ini. Tentulah tidak akan ada “kursi haram” di lembaga legislatif dan bahkan di sekolahan.

***

Ngomong-ngomong soal kursi, memang lagi hangat ni,” celetuk Minan Tunja.

“Iya, masa demi kursi orang berani melakukan apa saja. Enggak peduli itu dengan cara-cara yang bermartabat atau malah jauh dari sifat-sifat kemanusiaan,” kata Pithagiras pula.

“Itu kan pelitik?” kata Radin Mak Iwoh.

“Kalo berpolitik dengan menghalalkan segala cara kan apa bedanya dengan hewan?” Udien nimbrung.

“Itulah makanya Aristoteles bilang manusia sebagai zoon politicon—manusia adalah binatang yang berpolitik. Saya pikir ada kecenderungan manusia bertindak layaknya hewan ketika berebut kursi (kekuasaan),” Mamak Kenut mencoba berefleksi.

“Tapi kan dalam Politics, Aristoteles menggariskan tentang posisi manusia terkait dengan penyelenggaraan kekuasaan (baca: berpolitik) demi mencapai kemaslahatan publik atau res publica. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara manusia dan jenis makhluk lain (baca: hewan) yang tidak memiliki kapasitas berpolitik,” Mat Puhit sedikit mengoreksi.

“Lagi-lagi itu idealnya. Kehidupan riil menyebutkan manusia kadang-kadang lupa kalau dia manusia kalau udah bicara kursi. Kursi haram atau tidak, tidak banyak yang peduli. Benar-benar zoon politicon!"


Lampung Post, Jumat, 8 Juli 2011

No comments:

Post a Comment