Oleh Udo Z. Karzi
SEKULA mak aga, ngaji mak aga, aga jadi api? (Sekolah tak mau, mengaji tak mau, hendak jadi apa?) Ini cerita tentang si Pinyut kecil yang serbasusah diatur. Sekolah bolos melulu. Ngaji juga nggak betah.
Ah, tapi itu dulu. Sekarang bukannya tidak mau sekolah, tetapi betapa mahal bersekolah. Pemerintah sih tukang boong aja. Ada program Wajib Belajar Sembilan Tahun. Masak di tivi dibilang sekolah gratis, tapi dalam kenyataanya... Waduh, alangkah mahalnya untuk bersekolah secara benar dalam arti tersedianya sarana-prasarana yang memadai untuk terlaksananya proses belajar-mengajar yang sewajarnya.
Membaca Hadi Aspirin (Lampung Post, 5 Juli 2009), Mamak Kenut cukup lama tepekur. Ada empat jenis anak di dunia: kaya-pintar, miskin tapi pintar, bodoh tapi kaya, dan yang terakhir sudah miskin bodoh pula.
Dengan berbagai cara--di tengah giatnya pemerintah kita melakukan liberalisasi pendidikan atawa komersialisasi sekolah--sungguh relatif tidak ada persoalan bagi tiga golongan pertama. Namun, betapa malangnya nasib anak golongan terakhir: miskin-bodoh.
"Sungguh kau sebetulnya tidak berhak hidup di negeri ini. Ya, habis mau bagaimana? Kalian itu hanya membuat susah saja. Sekolah kalau mau bermutu ya mahal. Lagi pula, kalau bodoh mana boleh masuk sekolah bagus. Sekolah bagus untuk anak pintar. Kalau nggak pintar, ya harus berani bayar mahal...."
Barangkali, untuk anak yang bodoh sekaligus miskin, bisa sekolah apa adanya di sekolah-sekolah dalam kasta yang terendah di kampung-kampung atau paling tidak pinggiran kota. (Pemerintah telah membuat stratifikasi atawa kastanisasi pendidikan dengan membagi-bagi golongan sekolah. Mulai dari kasta tertinggi sekolah bertaraf internasional (SBI), berikutnya rintisan SBI, sekolah standar nasional (SSN), dan kasta terendah sekolah reguler).
Dan, bertanyalah Pinyut kecil yang bodoh lagi miskin: "Tempat saya di mana?"
Tahukah pemerintah bahwa jumlah anak seperti Pinyut itu tidak sedikit. Data Susenas 2003 menyebutkan dari 42 juta anak usia sekolah (7--18 tahun) 64,5% yang berpendidikan tingginya hanya SD, sedangkan 35,5% dapat menyelesaikan SMP-nya, tetapi hanya 16,8% dari yang menamatkan SMP dapat melanjutkan SMA.
Betapa sulitnya anak-anak para petani, anak-anak buruh, anak-anak nelayan yang berada di daerah terpencil, pinggiran kota mengakses pendidikan.
Pemerintah kita ini memang nggak konsisten. Wajib belajar, sekolah gratis, ... dan seterusnya, kok gombal bener ya. Apanya yang wajib? Apanya yang gratis? Kenyataannya sekolah makin mahal. Rasanya capek mendengar alasan, pendidikan bermutu ya mahal.
"Sudah miskin, bodoh kali kau!" Ini makian yang sungguh menyakitkan. Tapi, negaralah yang seharusnya membuat kita-kita tidak miskin dan tidak bodoh. Ngerti nggak sih?
Lampung Post, Kamis, 6 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment