Monday, March 23, 2009

Bahasa Inlander

Oleh Udo Z. Karzi

NASIB negara-bangsa Indonesia memang mengenaskan. Jauh sebelum merdeka, kita dengan bangga berkata... menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia (satu dari tiga butir Sumpah Pemuda). Karena sumpah itu, dalam perkembangan selanjutnya, bahasa Indonesia kita pun melesat maju menjadi bahasa resmi, bahasa persatuan, bahasa budaya, bahasa sains yang dipakai dalam pengajaran di sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi.

Malaysia pun iri dengan bahasa Indonesia. Kita bisa berdialog, berdiskusi, dan berdebat dengan bahasa Indonesia. Berbeda dengan orang Malaysia harus berbahasa Inggris ketika harus berdiskusi karena merasa ada hambatan ketika berdiskusi dengan bahasa Melayu. Orang Malaysia pun berkata, "Bahasa Indonesia itu indah. Orang Indonesia seperti berpuisi ketika berbicara."

Pengakuan betapa bahasa Indonesia (bahasa Melayu modern) bukan hanya dari negara tetangga kita. Peneliti-peneliti lingustik pun mengakui bahwa bahasa Melayu (bahasa Indonesia) adalah salah satu dari bahasa di dunia yang indah.

Wajar saja kalau Indonesia banyak penyair, cerpenis, novelis, dan sastrawan. Teks Sumpah Pemuda saja ditulis dengan puisi berbahasa Indonesia. Pembukaan UUD 1945 saja dirumuskan dengan bahasa Indonesia yang baik, sistematis, dan tentu saja nyeni.

Tapi, kebanyakan kita, terutama para pemimpin negeri ini (mungkin tidak semua) masih tidak percaya diri dengan kemampuan bahasa Indonesia menjadi bahasa yang terhormat, menjadi bahasa kebudayaan, menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sebuah pendapat mengemuka: untuk menguasai sains (ilmu pengetahuan dan teknologi), orang harus mengusai bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Orang-orang tidak percaya sains bisa diajarkan dengan bahasa Indonesia. Maka, sekolah-sekolah mengubah bahasa pengantarnya dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Biar lebih mudah belajarnya!

Benarkah? Ternyata, hasil penelitian menunjukkan gara-gara pengajarannya menggunakan bahasa Inggris, minat pelajar Malaysia kepada sains terutama IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dan Matematika menurun.

Direktur Eksekutif Pembina (Permuafakatan Badan Ilmiah Nasional) Malaysia, Abdul Raof Hussin, mengatakan suatu kajian yang dilakukan Pembina, penyampaian bahasa Inggris dalam pelajaran IPA dan Matematika sejak 2003 hanya mampu meningkatkan kemampuan bahasa Inggris sebesar empat persen saja.

Ternyata... masalahnya, kita tidak pede saja dengan yang kita punya. Padahal orang lain malah cemburu dengan kita. Sobron Aidit dalam Melawan dengan Restoran (2007), bertutur ternyata bule atau tamu non-Indonesia yang mengunjungi Restorant Indonesia di Paris, Prancis, banyak yang bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Bahasa Indonesia dipelajari, paling tidak di 73 negara.

Ah, kaum inlander, ternyata kita lebih banyak mindernya. Itu baru dari soal bahasa. Belum lagi dalam soal lain


Lampung Post, Senin, 23 Maret 2009

No comments:

Post a Comment