Oleh Udo Z. Karzi
JANGAN harap jadi orang besar kalau tidak narsis. Maksudnya jadi orang ya jadi pemimpin, jadi pejabat, atau kalau musim Visit Caleg Year 2009--pinjam istilahnya Meza Swastika--sekarang ini... jadi legislator. Penelitian menyebutkan pengidap narsisme suka sekali mengemban tugas, senang menjadi pemimpin, dan bahkan cenderung menjadi politisi.
Nah bener kan kalau tak narsis... caleg-caleg itu tak bakal jadi legislator. Berenti sampai jadi calon aja. Hahaa... tapi celaka juga ya kalau sudah narsis habis-habisan, tetap saja tak jadi.
Tapi lebih celaka lagi karena kita selalu memilih orang yang kelewat narsis. Sebab--hasil penelitian pula--orang narsis sebenarnya tidak mempunyai kelebihan lain dalam bidang kepemimpinan. Orang narsis suka melebih-lebihkan kemampuan dan bakatnya, serta egois. Dia tidak peduli dengan perasaan orang lain. Dia suka kekuatan, kekuasaan, mampu tampil menarik, dan sangat terbuka. Jelas, orang kayak gini bukanlah pemimpin yang baik.
Orang narsis itu awalnya saja keliatan hebat, tetapi tak lama kemudian segera kelihatan belangnya. Ternyata narsis sebenarnya tak bisa apa-apa; bisanya cuma berlagak saja. Lagak-lagak kerupuk kena angin kemiut. (Tak perlu diterjemahkan ya biar cari sendiri artinya).
***
Masalahnya, kalau tak narsis, siapa yang mau memilih. Logikanya, sudah narsis saja, belum tentu kepilih, apalagi tidak. Maka, jangan heran jika jalan raya, gedung-gedung, gang, tanah lapang, persimpangan, ... di mana pun sudut kota dan pelosok perdesaan bulan-bulan ini penuh dengan gambar, foto, moto, slogan, iklan, pamflet, orat-oret-... entah apa lagi...
Tidak ada iklan caleg yang mencoba berendah hati. Semua mengaku terbaik. Semua nomor satu. Iklan-iklan politik adalah bentuk/sikap narsisme para calon pemimpin. Sikap narsis para calon pemimpin menjadi cermin bagi kita betapa "mahalnya" sikap merendah diri di kalangan para calon pemimpin.
Dengan iklan-iklan politiknya, mereka seolah lihai dalam mempermainkan kemampuannya di depan publik. Berbagai slogan telah digembar-gemborkan untuk menghipnosis hati masyarakat. Namun sayang, masyarakat Indonesia sekarang, seolah telah bosan dan jenuh dengan sikap para calon pemimpin kita yang semakin lama bak tukang calo.
Tidak mengherankan jika diprediksikan dalam pemilu tahun ini, tingkat volume golput (golongan putih) akan tinggi. Masyarakat kecewa terhadap pemerintah, korupsi, RUU dan UU yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Golput bukan berarti mengabaikan untuk memilih calon pemimpin, melainkan bentuk kritik mereka guna menuju proses pendewasaan demokrasi. Daripada memilih pemimpin narsis!
Ya, kalau tetap memilih, jangan pilih pemimpin narsis! Waspadalah... waspadalah terhadap bahaya laten pemimpin narsis.
Lampung Post, Kamis, 5 Maret 2009
JANGAN harap jadi orang besar kalau tidak narsis. Maksudnya jadi orang ya jadi pemimpin, jadi pejabat, atau kalau musim Visit Caleg Year 2009--pinjam istilahnya Meza Swastika--sekarang ini... jadi legislator. Penelitian menyebutkan pengidap narsisme suka sekali mengemban tugas, senang menjadi pemimpin, dan bahkan cenderung menjadi politisi.
Nah bener kan kalau tak narsis... caleg-caleg itu tak bakal jadi legislator. Berenti sampai jadi calon aja. Hahaa... tapi celaka juga ya kalau sudah narsis habis-habisan, tetap saja tak jadi.
Tapi lebih celaka lagi karena kita selalu memilih orang yang kelewat narsis. Sebab--hasil penelitian pula--orang narsis sebenarnya tidak mempunyai kelebihan lain dalam bidang kepemimpinan. Orang narsis suka melebih-lebihkan kemampuan dan bakatnya, serta egois. Dia tidak peduli dengan perasaan orang lain. Dia suka kekuatan, kekuasaan, mampu tampil menarik, dan sangat terbuka. Jelas, orang kayak gini bukanlah pemimpin yang baik.
Orang narsis itu awalnya saja keliatan hebat, tetapi tak lama kemudian segera kelihatan belangnya. Ternyata narsis sebenarnya tak bisa apa-apa; bisanya cuma berlagak saja. Lagak-lagak kerupuk kena angin kemiut. (Tak perlu diterjemahkan ya biar cari sendiri artinya).
***
Masalahnya, kalau tak narsis, siapa yang mau memilih. Logikanya, sudah narsis saja, belum tentu kepilih, apalagi tidak. Maka, jangan heran jika jalan raya, gedung-gedung, gang, tanah lapang, persimpangan, ... di mana pun sudut kota dan pelosok perdesaan bulan-bulan ini penuh dengan gambar, foto, moto, slogan, iklan, pamflet, orat-oret-... entah apa lagi...
Tidak ada iklan caleg yang mencoba berendah hati. Semua mengaku terbaik. Semua nomor satu. Iklan-iklan politik adalah bentuk/sikap narsisme para calon pemimpin. Sikap narsis para calon pemimpin menjadi cermin bagi kita betapa "mahalnya" sikap merendah diri di kalangan para calon pemimpin.
Dengan iklan-iklan politiknya, mereka seolah lihai dalam mempermainkan kemampuannya di depan publik. Berbagai slogan telah digembar-gemborkan untuk menghipnosis hati masyarakat. Namun sayang, masyarakat Indonesia sekarang, seolah telah bosan dan jenuh dengan sikap para calon pemimpin kita yang semakin lama bak tukang calo.
Tidak mengherankan jika diprediksikan dalam pemilu tahun ini, tingkat volume golput (golongan putih) akan tinggi. Masyarakat kecewa terhadap pemerintah, korupsi, RUU dan UU yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Golput bukan berarti mengabaikan untuk memilih calon pemimpin, melainkan bentuk kritik mereka guna menuju proses pendewasaan demokrasi. Daripada memilih pemimpin narsis!
Ya, kalau tetap memilih, jangan pilih pemimpin narsis! Waspadalah... waspadalah terhadap bahaya laten pemimpin narsis.
Lampung Post, Kamis, 5 Maret 2009
No comments:
Post a Comment