Oleh Udo Z. Karzi
SIAPA bilang wakil rakyat bukan pemimpin. Jelas kok melalui pemilu, kita (kita? lu aja kali, gua kagak!), memilih orang yang mewakili kita, rakyat untuk memperjuangkan apa yang menjadi aspirasi rakyat. orang yang mewakili kita itu sama saja... disebut pemimpin. Seorang anggota legislatif menjadi pemimpin--paling tidak--yang menjadi konstituen dia, yang memilih dia saat pemilu.
Seorang pemimpin adalah pribadi yang sangat menentukan bagi suatu umat atau bangsa. Jika pemimpin lebih memihak kepada kepentingan dirinya, rakyat mesti telantar.
Pemimpin adalah nahkoda bagi sebuah kapal. Para penumpang seringkali tidak tahu apa-apa. Maka selamat tidaknya sebuah kapal tergantung nakkodanya.
Ibarat kepala bagi sebuah badan, pemimpin adalah otak yang mengatur semua gerakan anggotanya. Karena itu pemimpin harus cerdas, jujur, dan adil. Ketiga-tiganya harus melekat dalam diri pemimpin. Sebab, para pemimpin korup sering menggunakan kecerdasannya untuk menipu rakyat.
Hati-hati memilih pemimpin! Jangan pilih politisi busuk! Jangan conteng (kalau dulu nyoblos) calon legislatif (caleg) bermasalah. Pesan itu sudah berkali-kali bergaung dan digaungkan banyak pihak. Bukan apa-apa bagaimana mungkin kita memilih pemimpin yang bau, jarang mandi, dan jorok lagi. Gimana kalau wakil rakyat yang memimpin rapat mulutnya bau. Peserta rapat bisa-bisa satu per satu bubar jalan.
Makanya pilih pemimpin (wakil rakyat) yang pantas-pantas saja. Yang pintar tapi tak minterin. Enggak terlalu kaya, tetapi nggak miskin-miskin amat. Logikanya sederhananya saja, belum jadi pemimpin saja, dia sudah membuat susah orang lain, apalagi kalau sudah jadi. Memang, tidak salah mendaftar caleg untuk meningkatkan kesejahteraan, tetapi jangan sampai tujuan substansi dari pemilu (memilih wakil rakyat) menjadi tersingkirkan.
Susah memang. Sebab, kenyataannya demikianlah yang terjadi. Itulah yang diharapkan para caleg jauh-jauh hari sebelum pencalegan: kursi, kewenangan, fasilitas, sumber dana, dan seterusnya. Semua untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan untuk meraih kursi tadi.
Maka, segala daya, segala upaya dikerahkan untuk meraih mimpi menjadi pemimpin. Jalanan kota hingga desa penuh spanduk, umbul-umbul, atribut, dan lain-lain demi sebuah perjuangan meraih simpati para pemilih.
Tapi, ini zaman banyak partai dan karena itu banyak caleg. Karena banyak caleg, ya jelas bakal banyak yang bertumbangan. Dan para calon pemimpin itu terpaksa gigit jari: cuma jadi pemimpi!
Lampung Post, Senin, 16 Februari 2009
SIAPA bilang wakil rakyat bukan pemimpin. Jelas kok melalui pemilu, kita (kita? lu aja kali, gua kagak!), memilih orang yang mewakili kita, rakyat untuk memperjuangkan apa yang menjadi aspirasi rakyat. orang yang mewakili kita itu sama saja... disebut pemimpin. Seorang anggota legislatif menjadi pemimpin--paling tidak--yang menjadi konstituen dia, yang memilih dia saat pemilu.
Seorang pemimpin adalah pribadi yang sangat menentukan bagi suatu umat atau bangsa. Jika pemimpin lebih memihak kepada kepentingan dirinya, rakyat mesti telantar.
Pemimpin adalah nahkoda bagi sebuah kapal. Para penumpang seringkali tidak tahu apa-apa. Maka selamat tidaknya sebuah kapal tergantung nakkodanya.
Ibarat kepala bagi sebuah badan, pemimpin adalah otak yang mengatur semua gerakan anggotanya. Karena itu pemimpin harus cerdas, jujur, dan adil. Ketiga-tiganya harus melekat dalam diri pemimpin. Sebab, para pemimpin korup sering menggunakan kecerdasannya untuk menipu rakyat.
Hati-hati memilih pemimpin! Jangan pilih politisi busuk! Jangan conteng (kalau dulu nyoblos) calon legislatif (caleg) bermasalah. Pesan itu sudah berkali-kali bergaung dan digaungkan banyak pihak. Bukan apa-apa bagaimana mungkin kita memilih pemimpin yang bau, jarang mandi, dan jorok lagi. Gimana kalau wakil rakyat yang memimpin rapat mulutnya bau. Peserta rapat bisa-bisa satu per satu bubar jalan.
Makanya pilih pemimpin (wakil rakyat) yang pantas-pantas saja. Yang pintar tapi tak minterin. Enggak terlalu kaya, tetapi nggak miskin-miskin amat. Logikanya sederhananya saja, belum jadi pemimpin saja, dia sudah membuat susah orang lain, apalagi kalau sudah jadi. Memang, tidak salah mendaftar caleg untuk meningkatkan kesejahteraan, tetapi jangan sampai tujuan substansi dari pemilu (memilih wakil rakyat) menjadi tersingkirkan.
Susah memang. Sebab, kenyataannya demikianlah yang terjadi. Itulah yang diharapkan para caleg jauh-jauh hari sebelum pencalegan: kursi, kewenangan, fasilitas, sumber dana, dan seterusnya. Semua untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan untuk meraih kursi tadi.
Maka, segala daya, segala upaya dikerahkan untuk meraih mimpi menjadi pemimpin. Jalanan kota hingga desa penuh spanduk, umbul-umbul, atribut, dan lain-lain demi sebuah perjuangan meraih simpati para pemilih.
Tapi, ini zaman banyak partai dan karena itu banyak caleg. Karena banyak caleg, ya jelas bakal banyak yang bertumbangan. Dan para calon pemimpin itu terpaksa gigit jari: cuma jadi pemimpi!
Lampung Post, Senin, 16 Februari 2009
No comments:
Post a Comment