Thursday, February 12, 2009

Kebenaran Sejati?

Oleh Udo Z. Karzi

"BERAT, berat...," gumam Udien sendirian.

"Kenapa kau, Dien? Stres?" celetuk Mat Puhit.

"Kalau stres sana ke Kurungan Nyawa," tambah Minan Tunja.

"Iya, jangan-jangan kau termasuk satu dari setiap lima orang di Negarabatin yang terganggu sarafnya," Pithagira ikut-ikutan.

Hahahaa....

Kontan Udien melotot. "Lawang! Kalian yang lawang," balasnya.

"Iya Dien, ada apa geh?" kata Mamak Kenut.

"Kalian ini.... Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ngomong pers harus memperhatikan kebenaran sejati demi kehidupan bangsa dan negara yang baik. Nah, kata 'kebenaran sejati' itu yang saya bilang berat."

"Lo, kan wartawan kan memang harus menuliskan kebenaran. Apanya yang salah?"

"Dalam pikiran saya sih kebenaran sejati itu kan hanya kebenaran berdasar pada ajaran agama. Kebenaran Alquran dan Hadis. Kalau itu sih nggak bisa dibantah-bantah. Kalau pers kan buatan manusia juga, bisa aja salah."

"Ah, lu aja yang cuma cari-cari masalah. Omongan Presiden aja lu bantah-bantah."

"Bukan kayak gitu. Beban pers kan sudah berat. Ancaman terhadap kemerdekaan pers juga semakin besar. Kok masih harus diwanti-wanti seperti itu. Kan nggak fair?"

Pemerintah (oknum?) memang nggak suka dengan keterbukaan, transparansi.... Makanya, dicari-cari lagi istilah baru untuk mengatakan pers kita belum dewasa. Pers kebablasanlah, pers yang bertanggung jawablah atau apa.... Sekarang ditambah lagi, pers yang memperhatikan kebenaran sejati demi kehidupan bangsa dan negara yang baik.

Coba perhatikan. Kebenaran sejati dan demi kehidupan bangsa dan negara yang baik. Dua hal yang bisa multitafsir. Kebenaran sejati kayak apa? Lalu, berita seperti apa yang harus ditulis demi kehidupan bangsa dan negara yang baik? Wah, sangat bergantung pada siapa yang menginterpretasikan maknanya. Bisa-bisa mirip dengan jargon "kebebasan pers yang bertanggung jawab" di masa lalu.

Goenawan Mohamad jauh-jauh hari pada zaman represif dulu sudah mengingatkan, pers memang bukan kebenaran mutlak, melainkan pers mengupayakan kebenaran. Jadi, pers bisa salah. Di sinilah peran publik untuk mengkritisi pers.

Sudahlah, tak perlu membuat istilah-istilah atau konsep-konsep baru yang serbatidak jelas. Kebenaran sejati...susah kita dibuatnya. Kita hanya mengupayakan kebenaran itu. Maksudnya, agar pers tak besar kepala dan publik tidak menelan bulat-bulat kebenaran yang ditulis pers. Pers bukan kitab suci.


Lampung Post, Kamis, 12 Februari 2009

No comments:

Post a Comment