Monday, July 30, 2018

Banalisasi Korupsi

Oleh Udo Z Karzi


SETELAH Bupati Tanggamus Bambang Kurniawan dan Bupati Lampung Tengah Mustafa, giliran Bupati Lampung Selatan Zainudin Hasan terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis malam, 26 Juli 2018.

Peristiwa ini semakin menambah jumlah kepala daerah yang terkena OTT di Tanah Air. Kita khawatir akibat intensitasnya yang terus meningkat, kejadian seperti ini akan menjadi hal yang biasa saja. Sama sekali tak ada efek jera dari pelaku kejahatan luar biasa ini.

Lihat saja reaksi orang-orang jika ada yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): "Siapa sih yang tidak pernah salah?" "Sistem yang ada tidak mungkin orang tidak korupsi." "Ah, dia sedang sial saja." Bahkan, ada semacam pembelaan terhadap pejabat yang terjaring OTT: "Beliau orangnya baik", "Dia dizalimi!", "Ini ulah lawan politiknya yang tidak senang dengan dia", dst.

***

Terjadilah banalisasi kejahatan. Banalitas kejahatan adalah situasi sosial dan politik ketika kejahatan "dianggap" biasa karena seseorang yang berpandangan dangkal dalam berpikir dan menilai suatu hal.

Banalitas kejahatan bisa diakibatkan karena manusia kehilangan spontanitas dalam dirinya. Hilangnya spontanitas terjadi karena tiga faktor, yaitu ketumpulan hati nurani manusia, kegagalan berpikir kritis, dangkal dan banal dalam menilai, serta menghakimi sesuatu.

Banalitas kejahatan seringkali ditandai dengan seseorang yang gagal 'berdialog' dengan dirinya sendiri. Kegagalan ini dicerminkan dengan tindakan untuk menyalahkan orang lain atas praxis dan lexis yang dilakukannya dalam kegiatan berpolitik. Ketidakberanian mengambil keputusan menimbulkan pemahaman agentic shift.

Stanley Milgrain menjelaskan, tendensi orang yang gagal berdialog dengan dirinya sendiri akan memahami kejahatan yang dilakukan negara sebagai sebuah 'kewajiban' yang patut dilaksanakan demi kebaikan bersama. Pada fase ini, seseorang telah menumpulkan hati nuraninya dan gagal berpikir kritis.

Ketiadaan nurani pada manusia akan menyebar pada masyarakat lewat ruang publik. Ketika nurani dibungkam, cara berpikir manusia otomatis hilang dengan hilangnya nurani. Hal ini yang menyebabkan manusia gagal berdialog karena ia berpikir dirinya memiliki nalar yang buruk, sehingga mematuhi tugas yang diperintahkan negara.

***

Nyatanya, saat ini banyak praktek koruptif di dalam masyarakat kita tidak dikenal sebagai korupsi, tetapi sebagai bagian dari rutinitas. Praktek suap, kolusi, nepotisme tidak dipandang sebagai elemen-elemen koruptif yang harus diberantas, tetapi sebagai sesuatu yang wajar.
Kondisi ini terjadi mulai dari level pemerintah paling rendah di tingkat RT/RW, sampai di level para wakil rakyat di DPR. Tidak hanya rutinitas korupsi adalah bagian penting dari tradisi yang harus terus diwariskan ke generasi berikutnya.

Di negeri ini korupsi tidak lagi dikenali sebagai korupsi, karena language game – sebuah analogi untuk permainan yang memberikan arti bagi sebuah tindakan tertentu -- yang melatarbelakangi tindakan tersebut tidak cocok untuk memberikan definisi korupsi. Artinya, language game yang ada tidak mengenali konsep korupsi, sebagaimana konsep tersebut dipahami secara umum. Akibatnya apa yang disebut sebagai korupsi di Singapura belum tentu dapat disebut Korupsi di Indonesia. Lebih parah lagi apa yang disebut sebagai korupsi di Sumatera belum tentu dapat dikategorikan sebagai korupsi di Papua, karena language game-nya berbeda, walaupun sama-sama menggunakan kata korupsi.

Dalam situasi semacam ini, betapa berat mengikis korupsi dari negeri ini meskipun tiap hari KPK menangkap koruptor tiap hari. Sebab, boleh jadi koruptor bagi sebagian orang adalah pahlawan. Betapa kusut memang!


Fajar Sumatera, Senin, 30 Juli 2018



No comments:

Post a Comment