Oleh Udo Z Karzi
SETELAH disindir sebagai bentuk buruk etika politik, Menteri Agama Suryadharma Ali (SDA) akhirnya mengisyaratkan akan mengundurkan diri setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis, 22 Mei lalu menetapkannya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana haji.
Tapi, tetap saja menjadi pertanyaan. Sebab, nyatanya hingga kini SDA belum juga mundur dari jabatannya. Malah, Jumat (23/5), SDA bilang berpikir melepas jabatannya. Ia belum memahami bagian-bagian mana yang menyebabkan menjadi tersangka.
"Beda banget dengan apa yang dilakukan Andi Alfian Mallarangeng yang langsung menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga dan di Partai Demokrat," kata Pithagiras.
"Masak dia nunggu diberhentikan langsung oleh Presiden. Wat wat gawoh," sambar Mat Puhit.
"Ah, biarin proses hukum berjalan deh," kata Mamak Kenut yang masih saja suka bilang biarin.
"Ya, sudah. Biarin," sahut Udien.
"Tapi, enggak bisa dibiarin dong. SBY bilang kasus ini jangan sampai mengganggu kinerja Kementerian Agama," kata Minan Tunja.
"Ya, mau gimana. Emang mau diapain? Itu memang terserah Pak Suryadharma geh. Ini kan hanya soal etika," Radin Mak Iwoh mencoba menengahi.
"Justru karena etika itulah, Suryadharma Ali mesti mundur. Itu namanya beretika...," sambar Mat Puhit.
"Emang etika masih laku di negeri ini?" Radin Mak Iwoh esmosi.
Ya, apakah etika politik masih laku?
Berat, berat. Kalau Tuhan, agama, haji, dan kitab suci bisa dikorupsi dengan enak dan asyik, apakah ada moralitas—apatah lagi etika politik—di situ? La, kalau yang jadi tersangka korupsi haji saja merasa tidak melanggar etika (hukum), mengapa mundur?
Mundur itu kalau merasa bersalah, merasa malu... Yang bersangkutan malah balik bertanya, "Saya salahnya apa?"
Ini soal etika memang. Tidak ada sanksi (tegas) untuk pelanggaran etika. Paling-paling dikatain tak beretika. Ya, buat orang hebat, yang merasa kuat, yang merasa berduit, yang merasa lebih... jangankan etika, hukum positif saja dia lawan kok.
Etika politik mengatakan para politikus dan pejabat publik yang terindikasi korupsi seharusnya mundur dari jabatannya. Boni Hargens (2012) mengatakan, “Jangan terus membodohi rakyat dengan mengatasnamakan menunggu proses hukum. Dalam kehidupan selain hukum, juga ada etika yang harus dijaga dan mereka jelas-jelas sudah melanggar etika.”
Jadi, pejabat itu memang tidak selayaknya bermasalah dengan moral dan kebijakan yang dia buat. Jepang adalah contoh negara yang memelihara etika politik yang tinggi. Seorang menteri, dengan sukarela mundur ketika ada masalah di sekitar ruang lingkup tanggung jawabnya. Bagaimana seorang Menteri Perhubungan tiba-tiba meminta berhenti, ketika terjadi kecelakaan kereta api? Apalagi, kalau terendus korupsi. Di AS, Presiden Nixon terpaksa berhenti ketika terjadi peristiwa Watergate yang terkenal itu.
Tapi enggak usah jauh-jauh, di negara kita sudah banyak contohnya kok.
Jadi, apa lagi geh? n
Lampung Post, Rabu, 28 Mei 2014
SETELAH disindir sebagai bentuk buruk etika politik, Menteri Agama Suryadharma Ali (SDA) akhirnya mengisyaratkan akan mengundurkan diri setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis, 22 Mei lalu menetapkannya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana haji.
Tapi, tetap saja menjadi pertanyaan. Sebab, nyatanya hingga kini SDA belum juga mundur dari jabatannya. Malah, Jumat (23/5), SDA bilang berpikir melepas jabatannya. Ia belum memahami bagian-bagian mana yang menyebabkan menjadi tersangka.
"Beda banget dengan apa yang dilakukan Andi Alfian Mallarangeng yang langsung menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga dan di Partai Demokrat," kata Pithagiras.
"Masak dia nunggu diberhentikan langsung oleh Presiden. Wat wat gawoh," sambar Mat Puhit.
"Ah, biarin proses hukum berjalan deh," kata Mamak Kenut yang masih saja suka bilang biarin.
"Ya, sudah. Biarin," sahut Udien.
"Tapi, enggak bisa dibiarin dong. SBY bilang kasus ini jangan sampai mengganggu kinerja Kementerian Agama," kata Minan Tunja.
"Ya, mau gimana. Emang mau diapain? Itu memang terserah Pak Suryadharma geh. Ini kan hanya soal etika," Radin Mak Iwoh mencoba menengahi.
"Justru karena etika itulah, Suryadharma Ali mesti mundur. Itu namanya beretika...," sambar Mat Puhit.
"Emang etika masih laku di negeri ini?" Radin Mak Iwoh esmosi.
Ya, apakah etika politik masih laku?
Berat, berat. Kalau Tuhan, agama, haji, dan kitab suci bisa dikorupsi dengan enak dan asyik, apakah ada moralitas—apatah lagi etika politik—di situ? La, kalau yang jadi tersangka korupsi haji saja merasa tidak melanggar etika (hukum), mengapa mundur?
Mundur itu kalau merasa bersalah, merasa malu... Yang bersangkutan malah balik bertanya, "Saya salahnya apa?"
Ini soal etika memang. Tidak ada sanksi (tegas) untuk pelanggaran etika. Paling-paling dikatain tak beretika. Ya, buat orang hebat, yang merasa kuat, yang merasa berduit, yang merasa lebih... jangankan etika, hukum positif saja dia lawan kok.
Etika politik mengatakan para politikus dan pejabat publik yang terindikasi korupsi seharusnya mundur dari jabatannya. Boni Hargens (2012) mengatakan, “Jangan terus membodohi rakyat dengan mengatasnamakan menunggu proses hukum. Dalam kehidupan selain hukum, juga ada etika yang harus dijaga dan mereka jelas-jelas sudah melanggar etika.”
Jadi, pejabat itu memang tidak selayaknya bermasalah dengan moral dan kebijakan yang dia buat. Jepang adalah contoh negara yang memelihara etika politik yang tinggi. Seorang menteri, dengan sukarela mundur ketika ada masalah di sekitar ruang lingkup tanggung jawabnya. Bagaimana seorang Menteri Perhubungan tiba-tiba meminta berhenti, ketika terjadi kecelakaan kereta api? Apalagi, kalau terendus korupsi. Di AS, Presiden Nixon terpaksa berhenti ketika terjadi peristiwa Watergate yang terkenal itu.
Tapi enggak usah jauh-jauh, di negara kita sudah banyak contohnya kok.
Jadi, apa lagi geh? n
Lampung Post, Rabu, 28 Mei 2014