Oleh Udo Z Karzi
OBROLAN bapak-bapak ternyata lebih seru ketimbang rumpian mak-mak. Masalah yang dibahas yang panas-panas: pelitik, pemilu, dan colak colek caleg.
Saya lebih suka menjadi pendengar. Soalnya, itulah semua pada omong pelitik, hampir semua pada sok tahu. Jadi, saya lebih banyak membatin untuk setiap komentar dari bapak-bapak. Sesekali sih nimbrung juga — biar para bapak tambah semangat bicara.
“Sekarang ini pemilu itu ya duit. Kalau tak punya uang tak usahlah nyaleg. Apalagi nyabup (nyalon bupati) atau nyawal (nyalon wali kota). Terlebih lagi nyagub (nyalon gubernur). Kalo nyapres, gak usah diomong lagi…”
“Iya pelitik sekarang ini ya duit. Untuk nyaleg aja em-eman lo. Kalau gak kaya tak usahlah nyaleg.”
“Adalah yang tak pakai duit. Ya, tetap pakai karena pelitik tetap ada biaya. Tapi gak sampai harus em-emanlah.”
“Mana ada. Semuanya serba duit.”
“Kalau gak ada dana, tak usahlah coba-coba nyalon. Pelitik perlu modal. Karena pakai modal, maka yang perlu dipikirkan setelah terpilih yang mengembalikan modal. Memperjuangkan aspirasi rakyat, membela kepentingan rakyat, memperhatikan kemaslahatan umum, membantu kesulitan warga… Jangan harap. Demi kemajuan bangsa dan kejayaan negeri… Itu cuma ada di konsep!”
“Jadi, tidak ada dong yang bersungguh-sungguh bekerja bagi pencapaian tujuan negara?”
“Ya, apa. Yang nyaleg itu misalnya, gak perlu bikin janji apa-apa. Yang penting tabur-tabur uang saja, semakin banyak semakin besar kemungkinan terpilih. Kalau sudah terpilih, ya mau ngapain kalau bukan berpikir bagaimana agar uang yang sudah ditebar, bisa kembali. Kan jelas, hitung-hitungannya melulu untung-rugi secara materi.”
“Waduh. Masa depan negeri ini semakin suram saja kayaknya!”
“Jadi, gimana dong?”
“Ya, gak gimana-mana.”
“Ya deh, boleh nambah kupi enggak?” []
Fajar Sumatera, Senin, 22 Oktober 2018
OBROLAN bapak-bapak ternyata lebih seru ketimbang rumpian mak-mak. Masalah yang dibahas yang panas-panas: pelitik, pemilu, dan colak colek caleg.
Saya lebih suka menjadi pendengar. Soalnya, itulah semua pada omong pelitik, hampir semua pada sok tahu. Jadi, saya lebih banyak membatin untuk setiap komentar dari bapak-bapak. Sesekali sih nimbrung juga — biar para bapak tambah semangat bicara.
“Sekarang ini pemilu itu ya duit. Kalau tak punya uang tak usahlah nyaleg. Apalagi nyabup (nyalon bupati) atau nyawal (nyalon wali kota). Terlebih lagi nyagub (nyalon gubernur). Kalo nyapres, gak usah diomong lagi…”
“Iya pelitik sekarang ini ya duit. Untuk nyaleg aja em-eman lo. Kalau gak kaya tak usahlah nyaleg.”
“Adalah yang tak pakai duit. Ya, tetap pakai karena pelitik tetap ada biaya. Tapi gak sampai harus em-emanlah.”
“Mana ada. Semuanya serba duit.”
“Kalau gak ada dana, tak usahlah coba-coba nyalon. Pelitik perlu modal. Karena pakai modal, maka yang perlu dipikirkan setelah terpilih yang mengembalikan modal. Memperjuangkan aspirasi rakyat, membela kepentingan rakyat, memperhatikan kemaslahatan umum, membantu kesulitan warga… Jangan harap. Demi kemajuan bangsa dan kejayaan negeri… Itu cuma ada di konsep!”
“Jadi, tidak ada dong yang bersungguh-sungguh bekerja bagi pencapaian tujuan negara?”
“Ya, apa. Yang nyaleg itu misalnya, gak perlu bikin janji apa-apa. Yang penting tabur-tabur uang saja, semakin banyak semakin besar kemungkinan terpilih. Kalau sudah terpilih, ya mau ngapain kalau bukan berpikir bagaimana agar uang yang sudah ditebar, bisa kembali. Kan jelas, hitung-hitungannya melulu untung-rugi secara materi.”
“Waduh. Masa depan negeri ini semakin suram saja kayaknya!”
“Jadi, gimana dong?”
“Ya, gak gimana-mana.”
“Ya deh, boleh nambah kupi enggak?” []
Fajar Sumatera, Senin, 22 Oktober 2018