Saturday, November 26, 2011

Sportivitas

Oleh Udo Z. Karzi


SEA Games berakhir. Lepas dari soal kalah-menang, katering yang bermasalah, kusut-masainya persiapan dan penyelenggaraan, satu hal yang telah ditanamkan oleh para olahragawan adalah sportivitas, fair play, dan semangat juang. Sesuatu yang semakin jauh dari diri kaum elite apatah lagi politisi.

Kita salut atas penampilan tim sepak bola yang luar biasa, tidak mengenal lelah meski akhirnya kalah dalam drama adu penalti dengan Malaysia.

Emas sepak bola memang untuk Malaysia, tetapi semangat juang Tim Merah Putih tidak akan bisa dilupakan seluruh komponen bangsa. Rasa lelah mereka lawan untuk memberikan yang terbaik. Dalam olahraga, kalah-menang hal biasa. Yang tak kalah penting adalah bagaimana para atlet tetap sportif dan berjuang keras untuk negaranya.

Ya, sportivitas dan semangat juang menjadi kata kunci semua atlet. Tapi, agaknya sportivitas ini bukan milik pengurus PSSI dan organisasi olahraga. Apalagi—lazimnya di negeri Indonesia—pengurus olahraga adalah juga pengurus partai politik atau pejabat negara, sehingga terjadilah politisasi olahraga.

Jangan dikata dunia politik, panggung politik Indonesia banyak diwarnai dengan sikap saling menyalahkan, antikritik, tidak mau mengaku kesalahan sendiri, senang melemparkan tanggung jawab, bahkan hobi mencari kambing hitam dari para aktornya. Lalu, saat pemilihan umum dan pilkada, misalnya, para pendukung calon sering demonstrasi dan terjadilah perusakan karena tidak mau menerima kekalahan.

Inilah masalah krusial tentang sportivitas di tengah masyarakat dan bangsa ini. Berita-berita tentang kecurangan, penyelewengan, mencari jalan pintas, kriminalitas, pengkhianatan, dan tindakan menghalalkan segala cara menunjukkan nilai-nilai sportivitas, fair play, dan semangat juang yang mulai meluntur.

Nilai utama dari sportivitas sejatinya dapat menjadi inspirasi dan praktek nyata dalam kehidupan keseharian kita, sehingga dapat meminimalisasi penyimpangan dalam masyarakat (seperti korupsi, pembalakan liar, penyalahgunaan dana APBD, dll).

Dengan mengembangkan nilai-nilai sportivitas individu, selanjutnya diharapkan yang muncul adalah pribadi-pribadi unggul yang menjunjung tinggi kejujuran, keterbukaan, kebersamaan, dan keadilan dalam kehidupan.


Lampung Post, Sabtu, 26 November 2011

Tuesday, November 8, 2011

Justifikasi Korupsi

Oleh Udo Z. Karzi


KORUPSI makin berkibar, semakin mendapat pembenaran, dan mandapat tempat terhormat di negeri ini. Dengan berkedok memberi keterangan ahli, pernyataan yang keluar dari sang akademisi justru meringankan koruptor.

Entah apa yang ada di benak pakar (akademisi) ini ketika memberikan keterangan, bahkan membebaskan korupsi. Entahlah, mengapa "semangat intelektualitas" (semoga tidak semua) justru bertolak belakang dari semangat membela kebenaran, semangat penegakan hukum, dan semangat pemberantasan korupsi.

Seharusnya sang ahli benar-benar memberi keterangan sesuai dengan hati nurani dengan mengedepankan kebenaran, bukan memberi keterangan untuk membenarkan tindakan koruptor bukanlah suatu tindak pidana korupsi.

Keterangan ahli secara prinsip dibutuhkan dalam sebagai salah satu proses dalam hukum acara pidana agar lebih terangnya duduk perkara tindak pidana yang terjadi. Adanya kejanggalan atau keraguan dari hakim atau para pihak terhadap suatu perkara yang terjadi menjadikan keterangan ahli menjadi salah satu jalan untuk menerangkan supaya kasus yang kabur menjadi terang dan jelas.
Tentunya keterangan yang diberikan saksi ahli sesuai dengan keahlian yang dimilikinya berdasarkan prinsip, keadilan, akuntabilitas, dan semangat penegakan hukum. Bukan keterangan yang sesuai dengan pesanan dari pihak yang berpekara (baca: koruptor) agar sang koruptor terlepas dari jerat hukum, tetapi mencari titik terang kasus yang sedang terjadi.

Jika pendapat atau keterangan yang diberikan dihargai dengan rupiah, tentunya ini sangat miris. Apalagi ini dilakukan akademisi yang notabene mendidik mahasiswa hukum untuk menegakan hukum dan mencari keadilan substantif. Deal-deal keterangan ahli dengan koruptor tak ubahnya "penjualan harga diri" karena ilmu yang didapat bukan untuk menegakan hukum, melainkan demi kenikmatan dan materi semata.

Tentu saja pendapat ahli dapat disesuaikan dengan besaran pendapatan yang diterimanya dari koruptor. Sang ahli tak ubahnya sebagai "juru bicara" koruptor yang berlindung di balik jubah agung akademisi atau keahlian yang dimilikinya.

Sang ahli berbicara peran dari akademisi dalam menerapkan hukum, tetapi kenyataannya keterangan ahli cenderung membebaskan koruptor. Inikah yang dinamakan menegakkan hukum? Bagaimana kita akan memberangus korupsi jika sang ahli berperan sebagai juri bicara koruptor. Jelas ini sangat mencederai rasa keadilan masyarakat. Sungguh!


Lampung Post, Selasa, 8 November 2011