Oleh Udo Z. Karzi
Untung Ada Saya. Begitu judul film "inspiratif" Warkop DKI. Ya, inspiratif karena menghibur dan bisa dipinjam buat judul Nuansa ini. Hihii...
Untung ada Johannes Geinsfleich zur Laden zum Gutenburg yang berhasil menemukan teknologi mesin cetak pada 1450 dan terus mengembangkan teknologi ini bersama rekannya yang bernama Andreas Dritzehn.
Ya, untung ada mesin cetak Gutenberg. Dengan penemuan mesin cetak ini, ilmu pengetahuan tidak lagi menjadi eksklusif bagi kalangan tertentu. Ilmu pengetahuan dan informasi tidak lagi dimonopoli kalangan tertentu. Semua orang bisa mendapatkan informasi karena saat itu printing berhasil bertransformasi menjadi komoditas yang diproduksi dan didistribusikan secara massal. Mesin cetak Guternberg menstimulasi manusia untuk mengembangkan rasionalitas yang mereka miliki.
Untung ada koran. Walaupun revolusi teknologi terus menggeser keberadaan surat kabar cetak, surat kabar cetak tetap memiliki relevansi tinggi bagi hidup kita. Koran tetap menjadi media yang populer untuk menginformasikan berbagai berita pada masyarakat dan menganalisis berbagai kejadian yang membentuk hidup kita. Ada sekitar 1 triliiun orang di dunia ini yang masih membaca surat kabar cetak setiap harinya.
Untung ada Solfian Akhmad yang merintis penerbitan sebuah surat kabar harian bernama Lampung Post pada 1974. Kegigihannya menerbitkan koran ini sampai-sampai ia pernah menjual gelang sang istri agar surat kabarnya bisa naik cetak; membuat Lampung Post tumbuh menjadi koran yang disegani dan kemudian "dipinang" Surya Persindo (milik Surya Paloh) tahun 1989.
Ya, untung ada Lampung Post. Harian ini menyediakan wahana bagi persemaian kecendekiawanan. "Saya bersahabat dengan Lampung Post sejak 1970-an. Jadi saya hafal betul gaya tulisan wartawan Lampung Post dan itu tidak dimiliki media massa lain," kata guru besar FKIP Unila Sudjarwo.
Untung ada Buras-nya Bambang Eka Wijaya, Refleksi-nya Djadjat Sudradjat, Tajuk, Nuansa, ruang Opini di Lampung Post. Kalau tidak, mana mungkin kita bisa mencoba memahami lebih mendasar persoalan negara-bangsa kita saat ini. Esensi-esensi masalah setidaknya tertuang di kolom-kolom itu.
Untung ada Wat Wat Gawoh di antara berita-berita keras tentang politik, ekonomi, dan kriminalitas. Dengan begitu, kita bisa dibikin cengengesan sebentar untuk menghilangkan kejenuhan.
Untung ada Puisi, Cerpen, dan Esai Budaya. Biar kita ikut membangun peradaban bangsa. Kebayang aja kalau tidak ada rubrik-rubrik ini. Kita bisa-bisa semakin jauh dari manusia dan kemanusiaan.
Untung ada rubrik Bandar Lampung, Ruwa Jurai, Politika, Nasional, Internasional, Pemilukada, Olahraga, Pertanian, Kesehatan, Pendidikan, Wawancara, Fokus, Inspirasi, dan rubrik-rubrik lain. Inilah yang membuat kita senang membaca Lampung Post.
Dan, hehee...untung ada Mamak Kenut, Mat Puhit, Minan Tunja, Pithagiras, Udien, Radin Mak Iwoh, dan Paman Takur. Celoteh mereka bisa sedikit menghibur kalau tidak bikin tambah cenat-cenut.
Lampung Post, Jumat, 10 Agustus 2012
Untung Ada Saya. Begitu judul film "inspiratif" Warkop DKI. Ya, inspiratif karena menghibur dan bisa dipinjam buat judul Nuansa ini. Hihii...
Untung ada Johannes Geinsfleich zur Laden zum Gutenburg yang berhasil menemukan teknologi mesin cetak pada 1450 dan terus mengembangkan teknologi ini bersama rekannya yang bernama Andreas Dritzehn.
Ya, untung ada mesin cetak Gutenberg. Dengan penemuan mesin cetak ini, ilmu pengetahuan tidak lagi menjadi eksklusif bagi kalangan tertentu. Ilmu pengetahuan dan informasi tidak lagi dimonopoli kalangan tertentu. Semua orang bisa mendapatkan informasi karena saat itu printing berhasil bertransformasi menjadi komoditas yang diproduksi dan didistribusikan secara massal. Mesin cetak Guternberg menstimulasi manusia untuk mengembangkan rasionalitas yang mereka miliki.
Untung ada koran. Walaupun revolusi teknologi terus menggeser keberadaan surat kabar cetak, surat kabar cetak tetap memiliki relevansi tinggi bagi hidup kita. Koran tetap menjadi media yang populer untuk menginformasikan berbagai berita pada masyarakat dan menganalisis berbagai kejadian yang membentuk hidup kita. Ada sekitar 1 triliiun orang di dunia ini yang masih membaca surat kabar cetak setiap harinya.
Untung ada Solfian Akhmad yang merintis penerbitan sebuah surat kabar harian bernama Lampung Post pada 1974. Kegigihannya menerbitkan koran ini sampai-sampai ia pernah menjual gelang sang istri agar surat kabarnya bisa naik cetak; membuat Lampung Post tumbuh menjadi koran yang disegani dan kemudian "dipinang" Surya Persindo (milik Surya Paloh) tahun 1989.
Ya, untung ada Lampung Post. Harian ini menyediakan wahana bagi persemaian kecendekiawanan. "Saya bersahabat dengan Lampung Post sejak 1970-an. Jadi saya hafal betul gaya tulisan wartawan Lampung Post dan itu tidak dimiliki media massa lain," kata guru besar FKIP Unila Sudjarwo.
Untung ada Buras-nya Bambang Eka Wijaya, Refleksi-nya Djadjat Sudradjat, Tajuk, Nuansa, ruang Opini di Lampung Post. Kalau tidak, mana mungkin kita bisa mencoba memahami lebih mendasar persoalan negara-bangsa kita saat ini. Esensi-esensi masalah setidaknya tertuang di kolom-kolom itu.
Untung ada Wat Wat Gawoh di antara berita-berita keras tentang politik, ekonomi, dan kriminalitas. Dengan begitu, kita bisa dibikin cengengesan sebentar untuk menghilangkan kejenuhan.
Untung ada Puisi, Cerpen, dan Esai Budaya. Biar kita ikut membangun peradaban bangsa. Kebayang aja kalau tidak ada rubrik-rubrik ini. Kita bisa-bisa semakin jauh dari manusia dan kemanusiaan.
Untung ada rubrik Bandar Lampung, Ruwa Jurai, Politika, Nasional, Internasional, Pemilukada, Olahraga, Pertanian, Kesehatan, Pendidikan, Wawancara, Fokus, Inspirasi, dan rubrik-rubrik lain. Inilah yang membuat kita senang membaca Lampung Post.
Dan, hehee...untung ada Mamak Kenut, Mat Puhit, Minan Tunja, Pithagiras, Udien, Radin Mak Iwoh, dan Paman Takur. Celoteh mereka bisa sedikit menghibur kalau tidak bikin tambah cenat-cenut.
Lampung Post, Jumat, 10 Agustus 2012
No comments:
Post a Comment