Oleh Udo Z. Karzi
"BUKAN dengan bicara, melainkan dengan mendengarkan kita bisa banyak belajar," kata Larry King.
Iya juga makanya Adian Saputra sampai bikin buku berjudul Menulis dengan Telinga (2012) dan laris. Sampai cetak ulang loh!
Benar, belajarlah mendengar. Ini ternyata tidak gampang. Ternyata, mendengar juga sangat bergantung dengan orientasi hidup kita. Barangkali kita lebih mudah mengenali suara-suara koin jatuh atau suara gesekan lembar uang kertas sehalus apa pun ketimbang suara jangkrik, kicau burung, atau suara angin. Itu karena kita suka matre! Padahal suara jangkrik, kicau burung, atau suara angin bagi orang-orang dulu penting sebagai petunjuk jalan dan cuaca.
Siapa yang didengar, kita pun suka pilih-pilih. Kita hanya mau mendengar orang yang kita anggap penting saja, seperti orang tua, atasan, dan orang yang lebih senior dari kita. Kita kadang mengabaikan seseorang yang mungkin bukan siapa-siapa, tetapi sesungguhnya apa yang ia katakan sesuatu yang berharga bagi masa depan kita.
Repotnya, kita lebih suka memperdengarkan pemikiran-pemikiran dalam otak kita, entah itu berupa sampah atau ide-ide besar yang penuh kreasi. Akibat besarnya kecenderungan untuk didengar inilah, terkadang kita menafikan adanya orang lain di luar kita yang sebenarnya juga menunggu untuk didengar pendapatannya.
Orang pintar, apalagi yang merasa pintar, paling susah mendengar. Ada kecenderungan orang-orang yang pintar dan ahli di bidang yang ia tekuni cenderung enggan mendengar orang lain. Soalnya dia kelewat yakin apa yang dia pikirkan dan dia lakukan sudah benar.
"Ai, orang kayak begitu sih orang yang sok pintar saja," celetuk Pithagiras.
"Bukan pintar dalam arti sebenarnya!" tambah Minan Tunja.
"Kepintaran yang hakiki adalah orang yang siap memetik manfaat dari setiap informasi dan pengetahuan, dari siapa pun," kata Udien.
"Orang pintar dan ahli, tetapi bebal alias tidak mau mendengar, akan susah majunya," Radin Mak Iwoh mulai kumat gaya mengguruinya.
"Lah, siapa yang Radin maksudkan?" Mat Puhit esmosi.
"Bukan siapa-siapa. Ini cuma sekadar mengingatkan saja," elak Radin Mak Iwoh.
"Mbok ya kalau ngomong dipikir dulu geh Radin! Jangan asal saja...," Mat Puhit tambah esmosi malah.
"Ai, kok menjadi panas begini! Kita ngupi pai gawoh...," ajak Mamak Kenut.
Nah, mangtap! Ini kedengarannya asyik. n
Lampung Post, Senin, 20 Januari 2014
"BUKAN dengan bicara, melainkan dengan mendengarkan kita bisa banyak belajar," kata Larry King.
Iya juga makanya Adian Saputra sampai bikin buku berjudul Menulis dengan Telinga (2012) dan laris. Sampai cetak ulang loh!
Benar, belajarlah mendengar. Ini ternyata tidak gampang. Ternyata, mendengar juga sangat bergantung dengan orientasi hidup kita. Barangkali kita lebih mudah mengenali suara-suara koin jatuh atau suara gesekan lembar uang kertas sehalus apa pun ketimbang suara jangkrik, kicau burung, atau suara angin. Itu karena kita suka matre! Padahal suara jangkrik, kicau burung, atau suara angin bagi orang-orang dulu penting sebagai petunjuk jalan dan cuaca.
Siapa yang didengar, kita pun suka pilih-pilih. Kita hanya mau mendengar orang yang kita anggap penting saja, seperti orang tua, atasan, dan orang yang lebih senior dari kita. Kita kadang mengabaikan seseorang yang mungkin bukan siapa-siapa, tetapi sesungguhnya apa yang ia katakan sesuatu yang berharga bagi masa depan kita.
Repotnya, kita lebih suka memperdengarkan pemikiran-pemikiran dalam otak kita, entah itu berupa sampah atau ide-ide besar yang penuh kreasi. Akibat besarnya kecenderungan untuk didengar inilah, terkadang kita menafikan adanya orang lain di luar kita yang sebenarnya juga menunggu untuk didengar pendapatannya.
Orang pintar, apalagi yang merasa pintar, paling susah mendengar. Ada kecenderungan orang-orang yang pintar dan ahli di bidang yang ia tekuni cenderung enggan mendengar orang lain. Soalnya dia kelewat yakin apa yang dia pikirkan dan dia lakukan sudah benar.
"Ai, orang kayak begitu sih orang yang sok pintar saja," celetuk Pithagiras.
"Bukan pintar dalam arti sebenarnya!" tambah Minan Tunja.
"Kepintaran yang hakiki adalah orang yang siap memetik manfaat dari setiap informasi dan pengetahuan, dari siapa pun," kata Udien.
"Orang pintar dan ahli, tetapi bebal alias tidak mau mendengar, akan susah majunya," Radin Mak Iwoh mulai kumat gaya mengguruinya.
"Lah, siapa yang Radin maksudkan?" Mat Puhit esmosi.
"Bukan siapa-siapa. Ini cuma sekadar mengingatkan saja," elak Radin Mak Iwoh.
"Mbok ya kalau ngomong dipikir dulu geh Radin! Jangan asal saja...," Mat Puhit tambah esmosi malah.
"Ai, kok menjadi panas begini! Kita ngupi pai gawoh...," ajak Mamak Kenut.
Nah, mangtap! Ini kedengarannya asyik. n
Lampung Post, Senin, 20 Januari 2014