Oleh Udo Z Karzi
//TERAI// (hujan) seperti riang menyambut kami, saya dan anak saya Aidil, begitu memasuki Liwa. Rintik air dari langit membasahi mobil yang kami tumpangi, jalan raya, rumah-rumah dan bangunan, tetumbuhan, dan makhluk lainnya di Bumi //Beguai Jejama// (bekerja sama, gotong-royong).
"Selamat Datang di Liwa Kota Berbunga, Bersih Berbudaya Penuh Kenangan". Demikian, tulisan di dinding tebing memasuki Kelurahan Pasar Liwa, ibu kota Kecamatan Balik Bukit, Lampung Barat; jantung Kota Liwa.
Waw, susunan kata yang terasa gagah dan seharusnya mengena ke setiap orang yang pernah berkunjung ke sini. Tapi, soal kesan setelah mampir atau sekadar lewat di sini, terserahlah.
"Liwa ini Negeri Antah Barantah," kata istri saya.
Entahlah, mungkin karena jauh dan berlikunya perjalanan yang harus ditempuh ke tempat ini.
Tapi, bukan karena itu yang menjadi alasan istri dan Wan Agung, anak saya yang nomor dua tak pulang. Ada acara keluarga lain di tempat kakak di Pringsewu, sehingga istriku bilang, "//Udo// (Abang) dengan Aidil saja yang ke Liwa" ketika //Bak// (ayah) menelepon saya.
"//Keti mulang kak Buka Haji inji// (Kalian pulanglah Lebaran Haji ini). Penting," ujar Bak di telepon beberapa hari sebelumnya.
***
Waduh kalau //bewarah// (bercerita) jelas saja panjang. Padahal bukan itu maksud saya menulis.
Begini, nama //pekon// (desa, kelurahan) tempat saya lahir sekarang: Pasar Liwa. Nama lamanya sih Negarabatin Liwa (seperti yang tertulis di rapor SD saya: SD Negeri 1 Negarabatin Liwa). Saya tak tahu persis kenapa nama bagus dan sangat imajinatif ini berganti dengan nama Pasar Liwa. Dulu, ibu kota Marga Liwa ini dikenal juga dengan nama Sukanegeri.
Untunglah, nama-nama ini masih dipakai sebagai nama-nama dusun di Pasar Liwa: Dusun Sukanegeri 1; Dusun Sukanegeri 2 (yang berganti nama Jatimulyo); Negarabatin 1; Negarabatin 2; Pantau; dan Seranggas.
Nama-nama tempat lain bisa //umbul//, //talang//, //repong,// atau //sabah// di Pasar Liwa yang kami kunjungi saat napak tilas waktu Lebaran: Setiwang, Tebakandis, Sebidak, Halian Rubok, Uncuk, Sabah Pasuk, Sabah Renoh, Ham Tebiu, dan Sekara.
Pasar Liwa kini berbatasan dengan Pekon Sebarus, dengan Pekon Way Mengaku, Pekon Kubuperahu, dan Pekon Hanakau (maaf saya tak paham arah mata anginnya).
Ada dua //suntan// di Pasar Liwa ini yang masing-masing mengepalai dua //Kesuntanan// atau //Kampung// yaitu Kampung Serbaya dan Kampung Bumi Agung.
Di Negarabatin Liwa, terdapat Tugu //Hara// (ara/aro), yang menjadi bagian dari legenda asal-usul orang Lampung di kaki Gunung Pesagi. Misalkan kita melaju dari Bandar Lampung ke Liwa, sampai tugu ini, jika berbelok ke kiri menuju Krui, sedangkan ke kanan ke arah Danau Ranau.
***
Tadi dibilang, kedatangan kami di Negarabatin, disambut dengan hujan, dingin, dan Lebaran Haji. Yah sudah lengkaplah, "//Bangik ngupi, mengan, ngudut, pedom...//" (Enak ngopi, makan, merokok, tidur...)
Kebetulan ada, kalau tak di rumah, saat berkunjung ke //minak muari// (sanak-famili). Ini nama-nama masakan ala Negarabatin: //peros masin iwa// (asam pade ikan), //senanga// (rendang), //gulai taboh// (masakan bersantan), //sambol// (sambal), //seruit// (ikan dibakar atau digoreng yang dimakan bersama sambal), //pucuk ubi temajak// (daun singkong rebus), //gulai bening// (sayuran dimasak bening), //lalap// (lalapan), upak (opak), ... dst.
Eh, ya kalau orang-orang menyebut "pecel lele", maka orang di kampung saya menyebutnya dengan //seruit kalang//. Nama-nama //iwa// (ikan) yang semuanya bisa pakai //nyeruit//: //kalang// (lele), //habuan// (gabus), //mas// (mas), //mujaer// (mujair), ... dll.
//Buak Buka// (Kue Lebaran)-nya, ada //lemang//, //tat//, //kembang goyang//, //cucor//, dll.
Satu lagi, saya beberapa hari lalu menerjemahkan rumah makan dengan ke bahasa Lampung dengan //lamban mengan//. Nah, waktu jalan-jalan ke Way Mengaku, ternyata sudah ada nama //khang mengan// (tempat makan). Saat perjalanan menuju Bandar Lampung, di daerah Gunungsugih ternyata sudah ada nama warung/kedai makan bermerek //Pindang Seruit//. Pindang masakan khas Palembang, sedangkan //seruit// masakan khas Lampung yang justru kurang dikenal ketimbang pecel lele.
Begitu saja kok. Maaf kalau prosa ini agak kacau. Hehee...
Catatan
* seliwa, saliwa = Orang Liwa
** //...// = kosakata bahasa Lampung
Senin, 6 Oktober 2014
//TERAI// (hujan) seperti riang menyambut kami, saya dan anak saya Aidil, begitu memasuki Liwa. Rintik air dari langit membasahi mobil yang kami tumpangi, jalan raya, rumah-rumah dan bangunan, tetumbuhan, dan makhluk lainnya di Bumi //Beguai Jejama// (bekerja sama, gotong-royong).
"Selamat Datang di Liwa Kota Berbunga, Bersih Berbudaya Penuh Kenangan". Demikian, tulisan di dinding tebing memasuki Kelurahan Pasar Liwa, ibu kota Kecamatan Balik Bukit, Lampung Barat; jantung Kota Liwa.
Waw, susunan kata yang terasa gagah dan seharusnya mengena ke setiap orang yang pernah berkunjung ke sini. Tapi, soal kesan setelah mampir atau sekadar lewat di sini, terserahlah.
"Liwa ini Negeri Antah Barantah," kata istri saya.
Entahlah, mungkin karena jauh dan berlikunya perjalanan yang harus ditempuh ke tempat ini.
Tapi, bukan karena itu yang menjadi alasan istri dan Wan Agung, anak saya yang nomor dua tak pulang. Ada acara keluarga lain di tempat kakak di Pringsewu, sehingga istriku bilang, "//Udo// (Abang) dengan Aidil saja yang ke Liwa" ketika //Bak// (ayah) menelepon saya.
"//Keti mulang kak Buka Haji inji// (Kalian pulanglah Lebaran Haji ini). Penting," ujar Bak di telepon beberapa hari sebelumnya.
***
Waduh kalau //bewarah// (bercerita) jelas saja panjang. Padahal bukan itu maksud saya menulis.
Begini, nama //pekon// (desa, kelurahan) tempat saya lahir sekarang: Pasar Liwa. Nama lamanya sih Negarabatin Liwa (seperti yang tertulis di rapor SD saya: SD Negeri 1 Negarabatin Liwa). Saya tak tahu persis kenapa nama bagus dan sangat imajinatif ini berganti dengan nama Pasar Liwa. Dulu, ibu kota Marga Liwa ini dikenal juga dengan nama Sukanegeri.
Untunglah, nama-nama ini masih dipakai sebagai nama-nama dusun di Pasar Liwa: Dusun Sukanegeri 1; Dusun Sukanegeri 2 (yang berganti nama Jatimulyo); Negarabatin 1; Negarabatin 2; Pantau; dan Seranggas.
Nama-nama tempat lain bisa //umbul//, //talang//, //repong,// atau //sabah// di Pasar Liwa yang kami kunjungi saat napak tilas waktu Lebaran: Setiwang, Tebakandis, Sebidak, Halian Rubok, Uncuk, Sabah Pasuk, Sabah Renoh, Ham Tebiu, dan Sekara.
Pasar Liwa kini berbatasan dengan Pekon Sebarus, dengan Pekon Way Mengaku, Pekon Kubuperahu, dan Pekon Hanakau (maaf saya tak paham arah mata anginnya).
Ada dua //suntan// di Pasar Liwa ini yang masing-masing mengepalai dua //Kesuntanan// atau //Kampung// yaitu Kampung Serbaya dan Kampung Bumi Agung.
Di Negarabatin Liwa, terdapat Tugu //Hara// (ara/aro), yang menjadi bagian dari legenda asal-usul orang Lampung di kaki Gunung Pesagi. Misalkan kita melaju dari Bandar Lampung ke Liwa, sampai tugu ini, jika berbelok ke kiri menuju Krui, sedangkan ke kanan ke arah Danau Ranau.
***
Tadi dibilang, kedatangan kami di Negarabatin, disambut dengan hujan, dingin, dan Lebaran Haji. Yah sudah lengkaplah, "//Bangik ngupi, mengan, ngudut, pedom...//" (Enak ngopi, makan, merokok, tidur...)
Kebetulan ada, kalau tak di rumah, saat berkunjung ke //minak muari// (sanak-famili). Ini nama-nama masakan ala Negarabatin: //peros masin iwa// (asam pade ikan), //senanga// (rendang), //gulai taboh// (masakan bersantan), //sambol// (sambal), //seruit// (ikan dibakar atau digoreng yang dimakan bersama sambal), //pucuk ubi temajak// (daun singkong rebus), //gulai bening// (sayuran dimasak bening), //lalap// (lalapan), upak (opak), ... dst.
Eh, ya kalau orang-orang menyebut "pecel lele", maka orang di kampung saya menyebutnya dengan //seruit kalang//. Nama-nama //iwa// (ikan) yang semuanya bisa pakai //nyeruit//: //kalang// (lele), //habuan// (gabus), //mas// (mas), //mujaer// (mujair), ... dll.
//Buak Buka// (Kue Lebaran)-nya, ada //lemang//, //tat//, //kembang goyang//, //cucor//, dll.
Satu lagi, saya beberapa hari lalu menerjemahkan rumah makan dengan ke bahasa Lampung dengan //lamban mengan//. Nah, waktu jalan-jalan ke Way Mengaku, ternyata sudah ada nama //khang mengan// (tempat makan). Saat perjalanan menuju Bandar Lampung, di daerah Gunungsugih ternyata sudah ada nama warung/kedai makan bermerek //Pindang Seruit//. Pindang masakan khas Palembang, sedangkan //seruit// masakan khas Lampung yang justru kurang dikenal ketimbang pecel lele.
Begitu saja kok. Maaf kalau prosa ini agak kacau. Hehee...
Catatan
* seliwa, saliwa = Orang Liwa
** //...// = kosakata bahasa Lampung
Senin, 6 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment