Oleh Udo Z Karzi
ENTAHLAH, saya belakangan ini kok lebih suka minum kopi tanpa gula. Ya, kopi pahit. Padahal sebelumnya kopi kalau tak pakai pemanis ya mana tahan.
Hitam manis, kata orang. Tapi kopi tidak bergula tinggal hitamnya dan... tentu saja pahit.
Ah, semoga kopi tanpa gula ini tidak mencerminkan hidup yang selalu dirundung malang.
"Ai kidah, kenapa gak pakai gula. Hidup ini saja sudah pahit?"
"Justru itu, saya ingin memandang hidup ini selalu penuh warna. Saya ingin melihat hidup ini sebenarnya penuh dengan berkah, indah, dan menyenangkan. Dengan kopi pahit!" ujar saya. "Di balik kepahitan itu ada rasa manis yang biasa nikmat.
Anda kena diabet?
"Ah, kagaklah. Saya, semoga tetap sehat-sehat saja. Kalau memutuskan minum kopi tanpa gula... ya karena enak saja."
Kopi itu sehat. Saya percaya itu.
Sebenarnya, saya kan cuma meneruskan aseli tradisi minum kopi para pendahulu saja.
Suatu kali saya bertemu Frieda Amran, penulis dan penyuka sejarah yang bermukim di Belanda, yang sengaja bertandang ke Lampung. Rupanya, ia penyuka kopi tanpa gula itu. "Jangan pakai gula ya," begitu setiap kali ia memesan kopi. Atau, ia akan bertanya apakah kopi yang disajikan bergula atau tidak untuk memastikan.
Terus terang saya kagum dengan gaya minum kopi ala Bu Frieda ini. Tapi, saya tidak terlalu heran. Sebab, tamong (kakek) saya semasa hidupnya -- setahu saya selalu minum kopi tanpa gula. Ia tak pernah pusing kalau tak ada kopi.
“Kahwa api memis? (Kopi atau nira)?” komentar Tamong kalau kopi yang disuguhkan kepadanya manis.
Entahlah, sepeninggal Bu Frieda yang melanjutkan perjalanan ke belahan tanah air lainnya dan kembali ke Belanda, saya mulai mencoba meminum kopi tak bergula. Pahit memang. Tapi kok saya ketagihan!
Nikmatnya kopi justru terasa ketika ia diminum tidak dengan gula. Pahit tapi manis di hati dan pikiran.
Eit, tapi kalau gak suka kopi pahit tak usahlah mencoba. Hehee... []
~ Fajar Sumatera, Jumat, 12 Juni 2015
ENTAHLAH, saya belakangan ini kok lebih suka minum kopi tanpa gula. Ya, kopi pahit. Padahal sebelumnya kopi kalau tak pakai pemanis ya mana tahan.
Hitam manis, kata orang. Tapi kopi tidak bergula tinggal hitamnya dan... tentu saja pahit.
Ah, semoga kopi tanpa gula ini tidak mencerminkan hidup yang selalu dirundung malang.
"Ai kidah, kenapa gak pakai gula. Hidup ini saja sudah pahit?"
"Justru itu, saya ingin memandang hidup ini selalu penuh warna. Saya ingin melihat hidup ini sebenarnya penuh dengan berkah, indah, dan menyenangkan. Dengan kopi pahit!" ujar saya. "Di balik kepahitan itu ada rasa manis yang biasa nikmat.
Anda kena diabet?
"Ah, kagaklah. Saya, semoga tetap sehat-sehat saja. Kalau memutuskan minum kopi tanpa gula... ya karena enak saja."
Kopi itu sehat. Saya percaya itu.
Sebenarnya, saya kan cuma meneruskan aseli tradisi minum kopi para pendahulu saja.
Suatu kali saya bertemu Frieda Amran, penulis dan penyuka sejarah yang bermukim di Belanda, yang sengaja bertandang ke Lampung. Rupanya, ia penyuka kopi tanpa gula itu. "Jangan pakai gula ya," begitu setiap kali ia memesan kopi. Atau, ia akan bertanya apakah kopi yang disajikan bergula atau tidak untuk memastikan.
Terus terang saya kagum dengan gaya minum kopi ala Bu Frieda ini. Tapi, saya tidak terlalu heran. Sebab, tamong (kakek) saya semasa hidupnya -- setahu saya selalu minum kopi tanpa gula. Ia tak pernah pusing kalau tak ada kopi.
“Kahwa api memis? (Kopi atau nira)?” komentar Tamong kalau kopi yang disuguhkan kepadanya manis.
Entahlah, sepeninggal Bu Frieda yang melanjutkan perjalanan ke belahan tanah air lainnya dan kembali ke Belanda, saya mulai mencoba meminum kopi tak bergula. Pahit memang. Tapi kok saya ketagihan!
Nikmatnya kopi justru terasa ketika ia diminum tidak dengan gula. Pahit tapi manis di hati dan pikiran.
Eit, tapi kalau gak suka kopi pahit tak usahlah mencoba. Hehee... []
~ Fajar Sumatera, Jumat, 12 Juni 2015
No comments:
Post a Comment