Monday, October 26, 2015

Mamak Kenut Tak Bawa Asap

Oleh Udo Z Karzi


DENGAN sangat pede-nya Mamak Kenut (MK) bilang, "Cuma Lampung yang gak kena asap," seminggu yang lalu di Sawahlunto, Sumatera Barat. 

Ya, selama beberapa hari di kota ini, peserta Pansumnet yang mengikuti Seminar Internasional Kota Pusaka Indonesia Menuju Warisan Dunia dan Workshop Industrial Heritage, 21-24 Oktober; selain menikmati eksotisme alam, bangunan, dan kultural kota, terpaksa harus juga harus merasakan hembusan kabut asap Sumatera yang tak terkecuali menyelimuti wilayah ini.

Semua dibagikan masker untuk mengantisipasi keadaan. Banyak sudah cerita tentang orang-orang yang terkena dampak asap seperti ISPA dan berbagai jenis penyakit lainnya.

***

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan sebaran asap dari Sumatera dan Kalimantan semakin meluas sehingga berdasarkan laporan BMKG, pantauan satelit Himawari menunjukkan asap tipis-sedang menutup Laut Jawa dan sebagian Jakarta.

Sebelumnya, asap telah menyebabkan buruknya kualitas udara Filipina, Malaysia, Singapura, dan menimbulkan krisis kabut asap terburuk di Thailand.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho lewat pernyataan resmi badan tersebut mengatakan, ada 10 korban tewas akibat kabut asap di Sumatera dan Kalimantan, baik lewat dampak langsung maupun tidak langsung.

Dampak langsung adalah korban yang meninggal saat memadamkan api lalu ikut terbakar, sedangkan tidak langsung adalah korban yang sakit akibat asap, atau sebelumnya sudah punya riwayat sakit lalu adanya asap memperparah sakitnya.

Data BNPB juga mencatat ada 503.874 jiwa yang menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)‎ di 6 provinsi sejak 1 Juli-23 Oktober 2015.

Data terakhir menyebutkan, penderita ISPA terbanyak ada di provinsi Jambi dengan 129.229, lalu di Sumatera Selatan dengan 101.333, di Kalimantan Selatan ada 97.430 penderita ISPA, 80.263 penderita di Riau, 52.142 di Kalimantan Tengah, dan 43.477 di Kalimantan Barat.

***

Waduh, bikin malu saja ni asap. Mamak Kenut pun terpaksa harus meralat ucapannya "Alhamdulillah, saya bisa bernafas lega sepulangnya dari Sawah lunto," saat tiba di Bandara Radin Inten II, Branti, Lampung, Sabtu malam. Ia baru saja mendapat informasi betapa asap telah tiba di Lampung, mulai dari Liwa, Lampung Barat dan Mesuji hingga akhirnya sampai di Kota Tapis Berseri.

Dan warga pun mulai melihat awan yang pekat mewarnai langit dan merasakan pengabnya udara yang berasap.

Tak mau dikirain Mamak Kenut yang bawa asap dari arah utara Sumatera ke Lampung, Mamak Kenut segera bilang, "Bukan saya lo yang bawa asap ke Lampung."

Takut juga Mamak Kenut ditangkap pelisi karena dituduh bikin penyakit. n


Fajar Sumatera, Senin, 26 Oktober 2015

Thursday, October 15, 2015

Udien Belajar Sejarah

Oleh Udo Z. Karzi


SEJARAH ialah kenangan dari tumpuan masa silam, kata Robert V. Daniel. Kenangan yang dimaksud adalah hal-hal yang ditangkap memori manusia terhadap peristiwa yang ia lihat. Apa yang ia lihat dapat menjadi tumpuan dalam mengetahui peristiwa masa lalu. Namun bagaimana pun, kenangan yang ditangkap sangat dibatasi oleh kamampuan manusia dalam mengingat. Kian lama kenangan itu, kian sukar sukar manusia mengingatnya.

Hakikat sejarah, menurut Sartono Kartodirdjo, dibatasi dua pengertian: sejarah objektif dan sejarah subjektif. Sejarah objektif, yaitu peristiwa atau kejadian masa lampau apa adanya. Sedangkan sejarah subjektif, yaitu hasil penafsiran (rekonstruksi) sejarawan atas peristiwa masa lampau.

Sejarah yang kita pelajari saat ini adalah hasil penafsiran para sejarawan atau sejarah subjektif, dan dari merekalah kita mengenal kehidupan manusia pada masa lampau. Sedangkan sejarah objektif adalah peristiwa nyata yang pernah terjadi di masa lampau. Meskipun demikian, penafsiran para sejarawan tentang peristiwa masa lampau (subjektif) diharapkan dapat menggambarkan peristiwa tersebut apa adanya (objektif).

Untuk mencapai objektivitas, sejarawan menggunakan metode ilmiah untuk menguji kesahihan bukti-bukti yang ada, mengecek kebenarannya, dan membandingkannya dengan temuan yang lain.

Ada tiga hal yang menghambat terwujudnya objektivitas sejarah. Pertama, penelitian sejarah melibatkan kepentingan tertentu, misalnya kepentingan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Kedua, peneliti memasukan perasaan, nilai, selera, atau ideologi pribadinya kedalam proses penelitiannya. Ketiga, peneliti tidak menguasai bidang yang ditelitinya.

Karena sejarah itu hasil penafsiran sejarawan, bisa dibilang kebenaran dalam sejarah itu tidak statis, tetapi dinamis. Artinya, penafsiran sejarawan masih terbuka untuk diperdebatkan, digugat yang pada gilirannya akan melahirkan sudut pandang atau penafsiran yang baru lagi.

***

Lalu, bagaimana menulis sejarah? Hilmar Farid (2008) pun menulis: "Menulis sejarah bukan perkara mudah. Impian agar sejarawan bisa menghadirkan masa lalu wie es eigentlich gewesen ist (sebagaimana sesungguhnya terjadi) dewasa ini semakin jelas tidak mungkin terwujud. Seandainya ada mesin waktu yang bisa melontarkan kita ke masa lalu pun, sejarah tetap akan dilihat dari perspektif tertentu, dan tidak dapat dihadirkan kembali sepenuhnya. Sejarah, seperti kita tahu adalah representasi dari masa lalu dan bukan masa lalu itu sendiri. Sejarah selalu diceritakan, disusun kembali, berdasarkan informasi yang bisa diperoleh mengenai masa lalu, dan karena itu akan selalu kurang, tidak lengkap dan memerlukan perbaikan. Karena itu sejarawan umumnya mengatakan bahwa sejarah itu terbuka bagi interpretasi yang berbeda, dan selalu bisa ditulis ulang."

Yang jelas, tidak ada sejarah yang tunggal karena itu bisa berbahaya dan dapat membodohkan. Biarlah, orang-orang "menuliskan" sejarah (menurut versi) masing-masing, asalkan sesuai dengan metode yang berlaku. Tidak ditambah-tambahi maupun dikurangi. Dengan kata lain, upaya penulisan dengan berbagai versi justru memperkaya kita dalam memahami masa lalu. Jadi daripada ditutup untuk sementara, lebih baik biarlah "garis batas" itu dibuka sehingga masa lalu tak sekadar lewat begitu saja. Seperti diktum seorang sejarawan terkenal bahwa setiap generasi menuliskan sejarahnya.

***

“Tulisan jelek gini apa gak takut dicatet sama sejarah,” celetuk Mat Puhit.

"Kok nulis kayak ginian? Ini tulisan kering banget. Cuma mindahin catatan kuliah. Sudah gitu ngajarin pula kayak kita gak ngerti sejarah!" protes Minan Tunja.

"Jangan tersinggung gitu geh. Ini beneran saya lagi belajar apa itu sejarah. Anggap aja ini cuma sharing dan jangan dianggap ngajarin geh," kata Udien.

….

"Ah, bosan!" tiba-tiba ngomong Mamak Kenut sambil kabur.

Waduh...


Fajar Sumatera, Kamis, 15 Oktober 2015