Oleh Udo Z. Karzi
NASIB negara-bangsa Indonesia memang mengenaskan. Jauh sebelum merdeka, kita dengan bangga berkata... menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia (satu dari tiga butir Sumpah Pemuda). Karena sumpah itu, dalam perkembangan selanjutnya, bahasa Indonesia kita pun melesat maju menjadi bahasa resmi, bahasa persatuan, bahasa budaya, bahasa sains yang dipakai dalam pengajaran di sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi.
Malaysia pun iri dengan bahasa Indonesia. Kita bisa berdialog, berdiskusi, dan berdebat dengan bahasa Indonesia. Berbeda dengan orang Malaysia harus berbahasa Inggris ketika harus berdiskusi karena merasa ada hambatan ketika berdiskusi dengan bahasa Melayu. Orang Malaysia pun berkata, "Bahasa Indonesia itu indah. Orang Indonesia seperti berpuisi ketika berbicara."
Pengakuan betapa bahasa Indonesia (bahasa Melayu modern) bukan hanya dari negara tetangga kita. Peneliti-peneliti lingustik pun mengakui bahwa bahasa Melayu (bahasa Indonesia) adalah salah satu dari bahasa di dunia yang indah.
Wajar saja kalau Indonesia banyak penyair, cerpenis, novelis, dan sastrawan. Teks Sumpah Pemuda saja ditulis dengan puisi berbahasa Indonesia. Pembukaan UUD 1945 saja dirumuskan dengan bahasa Indonesia yang baik, sistematis, dan tentu saja nyeni.
Tapi, kebanyakan kita, terutama para pemimpin negeri ini (mungkin tidak semua) masih tidak percaya diri dengan kemampuan bahasa Indonesia menjadi bahasa yang terhormat, menjadi bahasa kebudayaan, menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sebuah pendapat mengemuka: untuk menguasai sains (ilmu pengetahuan dan teknologi), orang harus mengusai bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Orang-orang tidak percaya sains bisa diajarkan dengan bahasa Indonesia. Maka, sekolah-sekolah mengubah bahasa pengantarnya dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Biar lebih mudah belajarnya!
Benarkah? Ternyata, hasil penelitian menunjukkan gara-gara pengajarannya menggunakan bahasa Inggris, minat pelajar Malaysia kepada sains terutama IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dan Matematika menurun.
Direktur Eksekutif Pembina (Permuafakatan Badan Ilmiah Nasional) Malaysia, Abdul Raof Hussin, mengatakan suatu kajian yang dilakukan Pembina, penyampaian bahasa Inggris dalam pelajaran IPA dan Matematika sejak 2003 hanya mampu meningkatkan kemampuan bahasa Inggris sebesar empat persen saja.
Ternyata... masalahnya, kita tidak pede saja dengan yang kita punya. Padahal orang lain malah cemburu dengan kita. Sobron Aidit dalam Melawan dengan Restoran (2007), bertutur ternyata bule atau tamu non-Indonesia yang mengunjungi Restorant Indonesia di Paris, Prancis, banyak yang bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Bahasa Indonesia dipelajari, paling tidak di 73 negara.
Ah, kaum inlander, ternyata kita lebih banyak mindernya. Itu baru dari soal bahasa. Belum lagi dalam soal lain
Lampung Post, Senin, 23 Maret 2009
Monday, March 23, 2009
Thursday, March 5, 2009
Bahaya Laten Narsisme!
Oleh Udo Z. Karzi
JANGAN harap jadi orang besar kalau tidak narsis. Maksudnya jadi orang ya jadi pemimpin, jadi pejabat, atau kalau musim Visit Caleg Year 2009--pinjam istilahnya Meza Swastika--sekarang ini... jadi legislator. Penelitian menyebutkan pengidap narsisme suka sekali mengemban tugas, senang menjadi pemimpin, dan bahkan cenderung menjadi politisi.
Nah bener kan kalau tak narsis... caleg-caleg itu tak bakal jadi legislator. Berenti sampai jadi calon aja. Hahaa... tapi celaka juga ya kalau sudah narsis habis-habisan, tetap saja tak jadi.
Tapi lebih celaka lagi karena kita selalu memilih orang yang kelewat narsis. Sebab--hasil penelitian pula--orang narsis sebenarnya tidak mempunyai kelebihan lain dalam bidang kepemimpinan. Orang narsis suka melebih-lebihkan kemampuan dan bakatnya, serta egois. Dia tidak peduli dengan perasaan orang lain. Dia suka kekuatan, kekuasaan, mampu tampil menarik, dan sangat terbuka. Jelas, orang kayak gini bukanlah pemimpin yang baik.
Orang narsis itu awalnya saja keliatan hebat, tetapi tak lama kemudian segera kelihatan belangnya. Ternyata narsis sebenarnya tak bisa apa-apa; bisanya cuma berlagak saja. Lagak-lagak kerupuk kena angin kemiut. (Tak perlu diterjemahkan ya biar cari sendiri artinya).
***
Masalahnya, kalau tak narsis, siapa yang mau memilih. Logikanya, sudah narsis saja, belum tentu kepilih, apalagi tidak. Maka, jangan heran jika jalan raya, gedung-gedung, gang, tanah lapang, persimpangan, ... di mana pun sudut kota dan pelosok perdesaan bulan-bulan ini penuh dengan gambar, foto, moto, slogan, iklan, pamflet, orat-oret-... entah apa lagi...
Tidak ada iklan caleg yang mencoba berendah hati. Semua mengaku terbaik. Semua nomor satu. Iklan-iklan politik adalah bentuk/sikap narsisme para calon pemimpin. Sikap narsis para calon pemimpin menjadi cermin bagi kita betapa "mahalnya" sikap merendah diri di kalangan para calon pemimpin.
Dengan iklan-iklan politiknya, mereka seolah lihai dalam mempermainkan kemampuannya di depan publik. Berbagai slogan telah digembar-gemborkan untuk menghipnosis hati masyarakat. Namun sayang, masyarakat Indonesia sekarang, seolah telah bosan dan jenuh dengan sikap para calon pemimpin kita yang semakin lama bak tukang calo.
Tidak mengherankan jika diprediksikan dalam pemilu tahun ini, tingkat volume golput (golongan putih) akan tinggi. Masyarakat kecewa terhadap pemerintah, korupsi, RUU dan UU yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Golput bukan berarti mengabaikan untuk memilih calon pemimpin, melainkan bentuk kritik mereka guna menuju proses pendewasaan demokrasi. Daripada memilih pemimpin narsis!
Ya, kalau tetap memilih, jangan pilih pemimpin narsis! Waspadalah... waspadalah terhadap bahaya laten pemimpin narsis.
Lampung Post, Kamis, 5 Maret 2009
JANGAN harap jadi orang besar kalau tidak narsis. Maksudnya jadi orang ya jadi pemimpin, jadi pejabat, atau kalau musim Visit Caleg Year 2009--pinjam istilahnya Meza Swastika--sekarang ini... jadi legislator. Penelitian menyebutkan pengidap narsisme suka sekali mengemban tugas, senang menjadi pemimpin, dan bahkan cenderung menjadi politisi.
Nah bener kan kalau tak narsis... caleg-caleg itu tak bakal jadi legislator. Berenti sampai jadi calon aja. Hahaa... tapi celaka juga ya kalau sudah narsis habis-habisan, tetap saja tak jadi.
Tapi lebih celaka lagi karena kita selalu memilih orang yang kelewat narsis. Sebab--hasil penelitian pula--orang narsis sebenarnya tidak mempunyai kelebihan lain dalam bidang kepemimpinan. Orang narsis suka melebih-lebihkan kemampuan dan bakatnya, serta egois. Dia tidak peduli dengan perasaan orang lain. Dia suka kekuatan, kekuasaan, mampu tampil menarik, dan sangat terbuka. Jelas, orang kayak gini bukanlah pemimpin yang baik.
Orang narsis itu awalnya saja keliatan hebat, tetapi tak lama kemudian segera kelihatan belangnya. Ternyata narsis sebenarnya tak bisa apa-apa; bisanya cuma berlagak saja. Lagak-lagak kerupuk kena angin kemiut. (Tak perlu diterjemahkan ya biar cari sendiri artinya).
***
Masalahnya, kalau tak narsis, siapa yang mau memilih. Logikanya, sudah narsis saja, belum tentu kepilih, apalagi tidak. Maka, jangan heran jika jalan raya, gedung-gedung, gang, tanah lapang, persimpangan, ... di mana pun sudut kota dan pelosok perdesaan bulan-bulan ini penuh dengan gambar, foto, moto, slogan, iklan, pamflet, orat-oret-... entah apa lagi...
Tidak ada iklan caleg yang mencoba berendah hati. Semua mengaku terbaik. Semua nomor satu. Iklan-iklan politik adalah bentuk/sikap narsisme para calon pemimpin. Sikap narsis para calon pemimpin menjadi cermin bagi kita betapa "mahalnya" sikap merendah diri di kalangan para calon pemimpin.
Dengan iklan-iklan politiknya, mereka seolah lihai dalam mempermainkan kemampuannya di depan publik. Berbagai slogan telah digembar-gemborkan untuk menghipnosis hati masyarakat. Namun sayang, masyarakat Indonesia sekarang, seolah telah bosan dan jenuh dengan sikap para calon pemimpin kita yang semakin lama bak tukang calo.
Tidak mengherankan jika diprediksikan dalam pemilu tahun ini, tingkat volume golput (golongan putih) akan tinggi. Masyarakat kecewa terhadap pemerintah, korupsi, RUU dan UU yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Golput bukan berarti mengabaikan untuk memilih calon pemimpin, melainkan bentuk kritik mereka guna menuju proses pendewasaan demokrasi. Daripada memilih pemimpin narsis!
Ya, kalau tetap memilih, jangan pilih pemimpin narsis! Waspadalah... waspadalah terhadap bahaya laten pemimpin narsis.
Lampung Post, Kamis, 5 Maret 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)