Oleh Udo Z. Karzi
TAWAR-MENAWAR di sebuah pasar.
"Ini berapa?"
"Segitu..."
"Kalau yang ini?"
"Sekian..."
"Mahal amat. Bisa kurang?"
"Yah, kalau enggak mahal ya enggak jadi Lebaran."
Minan Tunja tidak bisa komentar lagi. Iya juga. Harga mahal memang identik dengan Lebaran. Karena Lebaranlah, harga menjadi mahal. Mahallah yang menjadi penanda Lebaran. Lebaran datang untuk membuat barang-barang menjadi mahal. Tak ada Lebaran kalau masih merasa kemahalan. Maka, berapa pun harganya, ambil saja, biar bisa Lebaran.
Lihat saja betapa ramainya pusat-pusat perbelanjaan. Semua ingin membeli, semau ingin mendapatkan mendapatkan, semua ingin memiliki, semua tidak ingin ketinggalan, semua ingin merasakan kegembiraan... di Hari Lebaran.
"Konsumerisme...," kata Mat Puhit.
"Jangan terlalu sinis. Ini kan momentum orang merayakan sesuatu yang patut dirayakan. Setahun sekali, apa salahnya. Wajar saja orang memanfaatkan sedikit kelebihan dana memeriahkan Lebaran," bela Pithagiras.
"Lebaran itu kan hari kemenangan. Masak kita tidak boleh merayakan kemenangan," celetuk Pinyut.
"Ya, boleh-boleh saja," sahut Mat Puhit lagi, "Tetapi tidak boleh berlebih-lebihan. Hakikat Idulfitri kan bukan itu. Idulfitri itu kembali ke fitrah setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan. Kalau setelah kembali suci, kita malah berfoya-foya kan malah menghilangkan esensi dari Lebaran."
"Apa pun semua boleh bergembira di hari baik bulan baik ini," kata Radin Mak Iwoh.
"Tapi, di balik kegembiraan itu ada tragedi. Seorang bayi berusia lima bulan meninggal dalam pelukan ibunya saat terjadi desak-desakan di sebuah pasar," kata Udien.
Selalu begitu. Selalu ada ironi di balik kemeriahan merayakan kemenangan. Ini menjadi ingatan agar kita tak berlebihan, lepas kontrol, dan lupa diri. Selamat Idulfitri!
Sumber: Lampung Post, Senin, 29 Agustus 2011
No comments:
Post a Comment