Oleh Udo Z. Karzi
APA yang terjadi di Negarabatin saat ini: kisruh yang tak kunjung berakhrir -- adalah menjadi bukti nyata dari demokrasi yang kehilangan esensi. Demokrasi yang tak melibatkan rakyat (demos).
"Kok bisa begitu?" tanya Radin Mak Iwoh.
"Lihatlah siapa yang bersitegang, lihatlah siapa yang paling bersuara keras, lihatlah siapa yang terus-menerus mencari-cari kesalahan pihak yang dianggap lawannya, lihatlah siapa yang paling ngotot... semuanya itu kaum elite politik saja," kata Minan Tunja.
"Lo itu kan rakyat juga," sambut Radin Mak Iwoh.
"Ya, tapi bukan rakyat pada umumnya," sambar Pithagiras.
"Isu-isu yang bertebaran hanya menjadi milik para pihak yang merasa punya kepentingan belaka," keluh Mat Puhit.
"Betul, rakyat kebanyakan yang menjadi pemilik sah kekuasaan justru lebih banyak diam menonton. Wait and see saja!" lapor Udien.
"Citra partai politik yang menjadi institusi utama pembangunan politik (demokrasi) malah semakin redup," sambung Mamak Kenut.
"Kepercayaan masyarakat terhadap partai hanya 42,6%. Tingkat kepercayaan kepada parpol jauh di bawah kepercayaan terhadap lembaga survei 69,3%, terhadap media massa 65,1%, LSM 58,8%, dan ormas 57,5%. Parpol dinilai bukan lagi corong aspirasi masyarakat, melainkan wadah mereguk keuntungan pribadi," Udien hasil survei (Lampost, 27/7).
Agaknya, demokrasi dan politik telah menggeser ruang publik ke ruang domestik. Demokrasi tanpa publik, demokrasi tanpa demos. Konsolidasi politik dalam pemilu selalu menempatkan tokoh-tokoh primordial sebagai identitas pertama dan utama yang harus didekati saat mencari suara dalam pemilu.
Publik dengan demikian hanya merupakan perluasan jejaring privat. Demokrasi tidak lagi merupakan arena dan metode kontestasi demos dan kratos tetapi berubah wajah menjadi arena dan metode kontestasi jejaring privat dalam raut keluarga, etnis, agama, koneksi, pertemanan, dan sejenis lainnya. Di luar bentuk politik primordial ini hanyalah politik transaksional.
Ketika jejaring privat ini tidak dimiliki aktor dan parpol dalam kontestasi politik, maka politik transaksional menjadi keniscayaan. Demos kehilangan tempat dalam pemilu dan demokrasi. Ini sesungguhnya raut lain dari pemilu tanpa demokrasi.
Lalu, demokrasi dan pemilu pun hanya akan berubah menjadi alat paling ampuh bagi mereka yang kuat, kaya, dan berkuasa untuk mendominasi dan menguasai panggung, serta proses politik. n
Lampung Post, Senin, 29 Juli 2013
APA yang terjadi di Negarabatin saat ini: kisruh yang tak kunjung berakhrir -- adalah menjadi bukti nyata dari demokrasi yang kehilangan esensi. Demokrasi yang tak melibatkan rakyat (demos).
"Kok bisa begitu?" tanya Radin Mak Iwoh.
"Lihatlah siapa yang bersitegang, lihatlah siapa yang paling bersuara keras, lihatlah siapa yang terus-menerus mencari-cari kesalahan pihak yang dianggap lawannya, lihatlah siapa yang paling ngotot... semuanya itu kaum elite politik saja," kata Minan Tunja.
"Lo itu kan rakyat juga," sambut Radin Mak Iwoh.
"Ya, tapi bukan rakyat pada umumnya," sambar Pithagiras.
"Isu-isu yang bertebaran hanya menjadi milik para pihak yang merasa punya kepentingan belaka," keluh Mat Puhit.
"Betul, rakyat kebanyakan yang menjadi pemilik sah kekuasaan justru lebih banyak diam menonton. Wait and see saja!" lapor Udien.
"Citra partai politik yang menjadi institusi utama pembangunan politik (demokrasi) malah semakin redup," sambung Mamak Kenut.
"Kepercayaan masyarakat terhadap partai hanya 42,6%. Tingkat kepercayaan kepada parpol jauh di bawah kepercayaan terhadap lembaga survei 69,3%, terhadap media massa 65,1%, LSM 58,8%, dan ormas 57,5%. Parpol dinilai bukan lagi corong aspirasi masyarakat, melainkan wadah mereguk keuntungan pribadi," Udien hasil survei (Lampost, 27/7).
Agaknya, demokrasi dan politik telah menggeser ruang publik ke ruang domestik. Demokrasi tanpa publik, demokrasi tanpa demos. Konsolidasi politik dalam pemilu selalu menempatkan tokoh-tokoh primordial sebagai identitas pertama dan utama yang harus didekati saat mencari suara dalam pemilu.
Publik dengan demikian hanya merupakan perluasan jejaring privat. Demokrasi tidak lagi merupakan arena dan metode kontestasi demos dan kratos tetapi berubah wajah menjadi arena dan metode kontestasi jejaring privat dalam raut keluarga, etnis, agama, koneksi, pertemanan, dan sejenis lainnya. Di luar bentuk politik primordial ini hanyalah politik transaksional.
Ketika jejaring privat ini tidak dimiliki aktor dan parpol dalam kontestasi politik, maka politik transaksional menjadi keniscayaan. Demos kehilangan tempat dalam pemilu dan demokrasi. Ini sesungguhnya raut lain dari pemilu tanpa demokrasi.
Lalu, demokrasi dan pemilu pun hanya akan berubah menjadi alat paling ampuh bagi mereka yang kuat, kaya, dan berkuasa untuk mendominasi dan menguasai panggung, serta proses politik. n
Lampung Post, Senin, 29 Juli 2013