Monday, August 25, 2014

Jalan Hidup

Oleh Udo Z. Karzi


SEJAK Indonesia merdeka 69 tahun lampau, hanya anggota elite politik dan militer yang terpilih sebagai presiden. Joko Widodo (Jokowi) adalah pemimpin pertama dari luar dua golongan tersebut yang terpilih sebagai orang nomor satu di Indonesia. Kemenangannya dalam Pilpres 9 Juli pun telah dikukuhkan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh gugatan Prabowo-Hatta, 21 Agustus lalu.

Jokowi berangkat dari keluarga kelas bawah, tumbuh di bantaran kali, dan hidup dengan serbakurangan. Lahir di Solo, 21 Juni 1961, sebagai anak sulung dari empat bersaudara keluarga Noto Miharjo-Sujiatmi, Jokowi sempat kuliah di Jurusan Teknologi Kayu Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan lulus tahun 1985.

Bekerja di sebuah BUMN lalu mengembangkan usaha mebel, kemudian terpilih menjadi wali kota Solo, gubernur DKI Jakarta, dan kini tinggal menunggu pelantikan menjadi presiden RI pada 20 Oktober nanti.

"Inilah jalan hidup Jokowi," kata Mat Puhit.

"Kalau begitu, jalan hidup pula yang menyebabkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa belum bisa melangkah ke kursi kepresidenan," celetuk Pithagiras.

"Ya, begitulah," sahut Mat Puhit.

Udien membaca profil 50 sosok dalam buku Inspirasi: Merajut Lampung Bermartabat yang diterbitkan Lampung Post, 2014. Bisa disimak kisah-kisah: Abdul Roni yang tunanetra berkali-kali menjadi juaran Musabaqah Tilawatil Quran, Ari Pahala Hutabarat yang "bengal" menjadi penyair dan sutradara andal, Budi Kadaryanto yang buruh tani kemudian menjadi pakar linguistik, Emed yang orang biasa saja yang berhasil menerangi Suoh, dan Fitri Yani yang bingung membalas pantun dari seorang meranai dalam nyambai kemudian bisa meraih Hadiah Sastra Rancage 2014.

Lalu, ada I Wayan Sumerta Dana Arya yang orang Bali tetapi begitu mencintai Lampung dan mengembangkan musik tradisionalnya, ada Syapril Yamin yang mendedikasikan hidupnya untuk musik tradional seperti gamolan,  ada Najiha Julia Arifin yang hanya dari TKI kemudian mampu membangun usaha mandiri.

Ada nama-nama pengusaha, politikus, bupati, akademisi, dan artis. Termasuk, M. Ridho Ficardo yang muda, bahkan kemudian menjadi gubernur termuda di Asia. Satu lagi, Heri Wardoyo, yang wartawan Lampung Post kini menjadi wakil bupati Tulangbawang.

"Apakah nama-nama itu menginspirasi?" gugat Minan Tunja.

"Setiap orang punya kisah hidup. Sekecil apa pun cerita bisa menjadi bahan renungan, bisa untuk ditiru, atau bisa juga untuk jangan dicontoh," jawab Mamak Kenut.

Tiba-tiba ada yang telepon Mamak Kenut menanyakan, "Anak saya pengen masuk SMK. Tapi, saya khawatir tentang masa depannya. Bagaimana prospek jurusan...?" (jurusannya sengaja dirahasiakan takut ada yang protes hehe).

"Bagus, kok! Yang pentingkan kita siapkan jalan ke masa depan. Tak selalu apa yang kita rencanakan sekarang akan seperti itulah di masa depan. Ada banyak sarjana pertanian yang jadi wartawan, ada insinyur yang memilih menjadi pencipta lagu, ada dokter yang lebih sering menulis fiksi, dan seterusnya. Itu jalan hidup masing-masing."

Minan Tunja yang mencuri dengar ocehan Mamak Kenut di telepon langsung nyeletuk, "Mamak, Mamak... ngomong doang. Mamak sendiri gimana?”

“Memang saya kenapa?”

“Dari dulu Mamak Kenut ya begitu-begitu saja. Tetap miskin bin kere. Itukah jalan hidup Mamak Kenut?"

Agui, kok malah jadi serangan balik ke Mamak Kenut. Nyengir, deh! n   


Lampung Post, Senin, 25 Agustus 2014

Monday, August 4, 2014

Kata-Kata Sejuk

Oleh Udo Z. Karzi


SPIRIT Idulfitri menghendaki kita menjadi manusia-manusia yang terbebaskan dari segala bentuk belenggu. Mulai dari belenggu dosa, dendam antarsesama, ketertindasan, sampai pada belenggu kelaparan (Q.S. 3: 133-134). Idulfitri membebaskannya melalui rangkaian ajaran: saling memaafkan, berzakat, bersedekah, dan berbagai rasa bahagia terhadap kaum fakir dan miskin.

Inilah waktu untuk memasuki kehidupan baru yang bersifat autentik sekaligus bekal pada tahun-tahun mendatang. Indikasinya terpancar dari kesalehan spiritual yang berjalan beriringan dengan kesalehan sosial, kesalehan manajemen, kesalehan politik, kesalehan organisasi, dan kesalehan birokrasi.

Berbagai kesalehan itu kemudian menjadi etika publik yang terobjektivikasi ke berbagai ruang kehidupan. Manusia yang dilahirkan dari rahim Idulfitri adalah manusia yang tercerahkan. Ia mampu untuk mengobjektifikasi kesalehan personal dan spiritual kepada kesalehan publik secara luas.

***

Ya, Lebaran adalah hari kemenangan atas peperangan melawan hawa nafsu selama sebulan penuh menjalankan ibadah puasa Ramadan. Tapi, Ramadan dan Lebaran ternyata tak membuat suasana menjadi lebih damai dan tenteram.

Benar, 3 Syawal terjadi bentrok massa di Tanggamus dan Lampung Selatan. Kerusuhan di Pekon Sukaraja, Kecamatan Semaka, Tanggamus, terjadi pada Rabu (30/7) malam. Saat itu, warga Pekon Sukaraja mendapat telepon warga Pekon Tugupapak, Semaka, terkait adanya seorang pencuri yang lari ke arah Sukaraja. Sebab itu, berkumpullah warga Sukaraja untuk mencegat orang yang dilaporkan mencuri tersebut.

Warga pun berhasil menangkap pelaku dan tak ayal menjadi bulan-bulanan massa dan tewas di tempat kejadian. Tidak terima warganya menjadi korban main hakim sendiri, massa dari Pekon Karangagung mendatangi Pekon Sukaraja. Mereka melampiaskan amarah dengan membakar empat rumah. 

Kerusuhan massa juga meletus di Desa Way Galih, Kecamatan Jatiagung, Lampung Selatan, Rabu (30/7) malam. Bentrok bermula ketika pukul 17.00, beberapa pemuda, di antaranya Rga (19), warga Dusun 2A, Way Galih, bersama Bgs mengendarai sepeda motor secara ugal-ugalan melintasi Dusun 2A.

Mereka melaju kencang hingga ke Dusun 5B, Desa Way Galih. Saat itu, Niko, yang masih duduk di kelas IX, tengah bersantai di depan rumah. Tanpa sebab, tiba-tiba Rga menghunuskan parang dan melukai perut Niko. Setelah itu, Rga dan Bgs kabur.

Kejadian itu memicu emosi para pemuda di sana sehingga terjadi saling lempar batu dan mercon antara Dusun 2A dan 5B, sekitar pukul 21.00. Keadaan sedikit mereda setelah anggota DPRD Lamsel dari Fraksi PDI Perjuangan, Nanang Hermanto, menjanjikan Rga akan ditangkap. 

***

Jumat pertama di bulan Syawal 1435 H bertepatan dengan 1 Agustus 2014, ada khatib yang justru membakar-bakar hati jemaah dengan khutbahnya yang berapi-api tentang pembantaian Israel di Jalur Gaza: "Tak cukup memboikot produk Yahudi. Tapi kita lupa dengan produk Yahudi yang sangat berbahaya, yaitu sekularime. Sekularisme inilah yang melahirkan liberalisme, kapitalisme... demokrasi. Selama kita masih menganut demokrasi, negara kita tetap akan tergadaikan.... dst."

Dan, Mamak Kenut hanya duduk terpaku di antara barisan jemaah jumat dengan pikiran tak tenang. Ya, Allah, mohon maaf jika salat jumatnya Mamak Kenut pun mungkin tak khusyuk.

Sungguh, Mamak Kenut hanya membutuhkan kata-kata yang sejuk di tengah panasnya suhu politik yang tak juga turun-turun. n


Lampung Post, Senin, 4 Agustus 2014