Thursday, September 25, 2014

In Memoriam Bertahindara

Oleh Udo Z. Karzi


Bertahindara
INNALILLAHI wa inna ilaihi rajiun. Sebuah kabar duka menyeruak. Nanny Aja menulis di Facebook hari ini, Rabu (24/9), "Kematian itu pasti dtgnya, dan kita hrs mempersiapkan bekalnya... Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, teriring Al Fatihah tuk sahabatku Bertahindara Herry smoga smua amal ibadahmu ditrima Allah swt. dan diampuni smua dosa2mu dan smoga khusnul khotimah....aamiin YRA..."

Sejauh pengetahuan saya, Nanny Aja—maaf nama lengkapnya Nani Sumarni, kebetulan tinggal satu wilayah dengan saya di bilangan Wismamas Kemiling—adalah teman satu kelas di I-3 SMAN 2 Bandar Lampung (1986—1987), yang kemudian menjadi kakak tingkat di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung. Soalnya, saya sempat “istirahat” satu tahun sebelum menyusul kuliah di Jurusan Ilmu Pemerintahan ini tahun berikutnya.

Jenazah Berta diberangkatkan dari Jakarta ke menuju rumah duka di Rawalaut, Bandar Lampung, Rabu, 24 September 2014, siang. Dan, langsung dikebumikan di kampungnya, Gunungsugih, Lampung Tengah.

Bertahindara, teman yang dikabarkan telah mendahului kita berpulang ke hadirat Allah swt., teman satu kelas, I-3 juga. Saya mencoba mengingat-ingat sosok Bertahindara. Namun, maafkan, saya yang kelewat pendiam-penyendiri kala itu rupanya kurang begitu mengenal sosoknya. Begitu naik kelas 2 SMA, saya melupakannya. Kemudian, juga tak ingat dengan yang lain-lain. Hihii...

Begitu saja, sampai kemudian, pada 1999, datang seorang cewek ke kantor surat kabar umum Sumatera Post di Jalan S. Parman, Bandar Lampung. Wartawan baru rupanya. Kabarnya dari Jakarta. Tetapi, kok kenal saya ya. Hehee...

Ya, iyalah. Dulunya di SMA pernah sekelas. Rupanya dia cerpenis juga. "Saya suka menulis dan sempat kerja di Aneka Yess," kata Bertahindara.

Wow, keren juga juga nih cewek. Saya saja cuma menjadi pembaca setia majalah Aneka Yess itu waktu SMA.

"Ya, sudah kamu pegang halaman hiburan saja deh!" kata saya.

Seperginya Aan S. Labuan, halaman yang ada gambar gede cewek semlohoi di bawah rubrik Ck Ck Ck itu memang disuruh saya yang kelola. Christian Heru, Panji Utama, Sudarmono, Iswadi Pratama, Gerald da Silva, M. Arly Prastowo, Ihsan Subakti, dan lainnya waktu itu sih setuju-setuju saja. Begitu pula Pak Redaktur Pelaksana, Heri Wardoyo (sekarang Wakil Bupati Tulangbawang).

Namun, Bertahindara tidak lama di Sumatera Post. Ia kembali bekerja di Jakarta. Waktu ia menikah saya juga enggak datang. Maafkan saya ya Berta. Cuek kok kelewatan.

Kabarnya, sarjana lulusan Manajemen Fakultas Ekonomi Univesitas Lampung ini sempat menjadi reporter tabloid Intelektual dan editor di Gemilang Aksara Mulia yang menerbitkan Majalah Mom Dad & I. Ia juga sempat mengekspos Jenderal Band (Lampung).

Novel Rasa karya Bertahindara
Sebuah novel Rasa (Gramedia Pustaka Utama, 2006) ia wariskan kepada pembaca. Saya belum baca novelnya. Sinopsisnya begini:

Rasa menceritakan persahabatan yang manis antara Raras, Lulu, dan Arga. Raras punya segalanya: wajah cantik, keluarga yang melimpahi kasih, karier yang oke di media terkemuka, dan Lulu, sahabat setia. Hanya satu lagi impiannya, membangun mahligai kebahagiaan bersama Malik. Hari-hari Raras adalah getar-getar rasa bersama Malik, lahir-batin.

Namun bagi Lulu, Malik telah mengubah seratus persen kehidupan sahabatnya. Raras bukan lagi gadis manis. Lulu sering kali harus menyembunyikan kehidupan Raras di luar rumah dari keluarganya. Dan apa yang ditakutkannya menjadi kenyataaan. Raras tersungkur ketika tahu cinta Malik tak sebesar cintanya. Bahkan tak cukup besar ketika mengetahui Raras hamil.

Rasa bersalah karena telah mengecewakan keluarga membuat Raras pergi meninggalkan mereka. Di tempatnya yang baru Raras menemukan cinta yang lain... yang tidak menuntut... cinta yang penuh perlindungan...

Selamat jalan, sahabat Bertahindara. n


Lampung Post, Kamis, 25 September 2014

Saturday, September 13, 2014

Enakan Langsung!

Oleh Udo Z. Karzi


COGITO ergo sum, saya berpikir maka saya ada, kata Rene Descartes (1596—1650). Iswadi Pratama dalam sebuah esainya memodifikasinya menjadi, "Saya berkarya maka saya ada". Demokrasi bisa diformulasikan dalam kredo yang serupa, "Saya berdemokrasi maka saya ada".

Demikianlah, hak-hak (politik) rakyat hanya akan terjawantahkan jika mereka mengambil bagian dalam berdemokrasi. Yang paling mudah untuk melihat demokrasi adalah melalui pemilihan umum (pemilu); rakyat secara berkala dan berkesinambungan menyalurkan pendapatnya melalui pemilu. Sebab, pemilu adalah unsur penting dalam demokrasi.

UUD 1945 menyubstitusi konsep demokrasi dalam Pasal 1 Ayat (2): "Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang". 

Apa pun definisi demokrasi, menempatkan kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Pengertian mengenai demokrasi yang dianggap paling populer dikemukakan Abraham Lincoln pada 1863. Ia mengatakan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (government of the people, by the people, and for the people//). Pemerintahan dari rakyat berarti pemerintahan negara itu mendapat mandat dari rakyat untuk menyelenggarakan pemerintahan. Pemerintahan oleh rakyat berarti pemerintahan negara itu dijalankan oleh rakyat. Pemerintahan untuk rakyat berarti pemerintahan itu menghasilkan dan menjalankan kebijakan-kebijakan yang diarahkan untuk kepentingan dan kejahteraan rakyat.

Pemahaman demokrasi juga mengalami perubahan dan perkembangan secara terus-menerus dari waktu ke waktu sehingga tidak heran apabila banyak negara mengklaim dirinya sebagai negara demokrasi meskipun pada praktiknya banyak yang jauh dari nilai-nilai demokrasi itu sendiri.

Demokrasi Indonesia telah melakukan lompatan tinggi dengan penyelenggaraan pemilihan presiden dan pemilihan kepada daerah secara langsung (pemilu predisen dan pemilukada). Terlepas dari segala kekurangannya, kita sukses! Ini prestasi luar biasa, yang rasanya sulit diraih oleh negara sekaliber Paman Sam—yang selalu gembar-gembor memiliki demokrasi terbaik di dunia—sekalipun.

Tapi, agaknya banyak yang unhappy melihat demokrasi kita berkembang pesat. Hari-hari ini kita disuguhkan sikap ngotot dari sebagian pihak yang ingin mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD. Berbagai alasan pun dikemukakan seperti pemilukada (pilkada langsung) lebih mahal ongkosnya, lebih banyak mudaratnya, cenderung memperbesar konflik di kalangan masyarakat, politik uang, dst.

"Enakan langsung," kata Minan Tunja.

"Iya, kalau lewat DPRD, kita-kita rakyat kecil enggak kebagian sembako dari calon kepala daerah," timbrung Pinyut.

"Aih lu sih makan aja yang dipikirin," semprot Mat Puhit.

"Naiya geh, kalo DPRD yang milih ya anggota Dewan aja yang dapat," Pinyut membela diri.

"Iya juga sih. Penting bagi calon kandidat kepala daerah itu bisa mengambil hati rakyat. Ya, itu selama rakyat masih matre, ya calon yang bergizi ya itulah yang terpilih," sindir Radin Mak Iwoh.

"Pada titik tertentu, tetap saja rasionalitas rakyat berjalan kok. Buktinya, tanpa mengabaikan fenomena kepala daerah yang korup, di beberapa daerah pilkada langsung (pemilukada) menghasilkan pemimpin yang berkualitas," kata Udien.

"Jadi gimana?" tanya Pithagiras.

"Perbaiki kelemahan pemilukada, tetapi tidak dengan mengembalikan pilkada oleh DPRD," kata Mamak Kenut.

Begitu! n


Lampung Post, Sabtu, 13 September 2014