Monday, February 2, 2015

Patronase

Oleh Udo Z. Karzi


"KAMU siapa? Punya siapa? Emangnya punya apa?" Pithagiras bersenandung.

(Maaf kepada Kangen Band karena memplesetkan lagu Yolanda yang reff-nya berbunyi: Kamu di mana, dengan siapa/Semalam berbuat apa/Kamu di mana, dengan siapa/Di sini aku menunggumu dan bertanya.)

"Hee, kamu nyindir saya ya," kata Radin Mak Iwoh yang agak lagi uring-uringan.

"Nggak ah. Radin aja yang ge-er. Emang Radin siapa? Mau jadi apa? Patronnya siapa?" balas Pithagiras.

"Nah, kan jelas yang dikata-katain itu Radin," Udien datang malah manas-manisi.

"Iya, bukannya mendukung malah njlek-njleki gitu," Radin Mak Iwoh mulai esmosi.

"Enggak kok. Suwer...," Pithagiras membela diri.

"Loh, memang Radin lagi ngapain kok mudah tersinggung begitu?" timbrung Minan Tunja.

"Ya, nggak. Ini loh Pitha nyindir-nyindir..." ujar Radin Mak Iwoh lagi.

"Aih Radin. Enggak, benar-benar nggak. Saya kan cuma mengingatkan para calon... ya calon apa saja, agar lebih mawas diri gitu."

***

Ya, itu fenomena menjelang musim pemilihan, macam-macam pemilihan... Selalu ada kecenderungan dari umat manusia untuk mengikatkan diri atau menggantungkan diri pada sesuatu yang lebih tinggi darinya. Sebab, manusia pada dasarnya bukanlah makhluk yang mandiri, yang merdeka, yang berhak menentukan sendiri apa yang ingin ia capai. Mau jadi pegawai negeri, mau naik pangkat, mau nyalon jadi ketua, mau nyaleg, mau jadi kepala daerah, mau hidup enak... semua perlu patron. Patronase!

Di kamus patronase itu, a.l. diartikan sponsor, dukungan, backing, promosi, dorongan, boosting, bantuan, simpati, pembiayaan, naungan, perlindungan, perwalian,  pengawasan.

Patron-klien! Ada patron yang memiliki kekuasaan dan ingin mempertahankannya, dan di sisi lain ada klien yang berada pada posisi subordinat, meski tidak berarti tanpa daya sepenuhnya atau kekurangan sumber daya. Patron memerlukan suara dan dukungan politik dalam berbagai bentuk. Sementara klien berada pada posisi untuk memberikan suara dan berbagai dukungan politik. Konsekuensinya, hubungan pertukaran bisa dibentuk.

Pada beberapa kasus, patronase sepenuhnya legal. Misalnya, pejabat yang terpilih diperbolehkan menggunakan spoils system untuk menunjuk pendukung-pendukung setianya menduduki berbagai posisi politik dan pemerintahan. Di AS, presiden, gubernur, dan wali kota memiliki dan menerapkan hak istimewa ini, tetapi dilakukan secara tertib dan diawasi dengan ketat.

Masalahnya, pada kebanyakan kasus, patronase politik tidak demokratis dan fungsional. Para pemimpin politik menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan pada para pendukungnya, lalu mendistribusikan sumber-sumber daya publik pada segelintir pendukungnya secara selektif dengan tujuan untuk meningkatkan perolehan suara pada pemilihan umum berikutnya tanpa mempedulikan berbagai prosedur administratif, aturan hukum, serta kriteria pelaksanaan tugas. Kesetiaan politik klien lebih diutamakan dibandingkan kompetensinya serta hak-hak dan kebutuhan warga negara. Patronase politik digunakan untuk menghasilkan suara dan konsensus dari para pemegang jabatan.

***

"Cilakalah benar buat orang-orang yang berkehendak bebas. Mana bisa maju kalau gak punya patron dan kagak mau jadi klien," ujar Mamak Kenut.

"Jadi gimana geh?" tanya Mat Puhit.

"Induh, nyak mak pandai." n    


Lampung Post, Senin, 2 Februari 2015

No comments:

Post a Comment