Tuesday, April 19, 2016

Sikap Permisif Kita

Oleh Udo Z Karzi

REALITAS seperti membenarkan bahwa politik identik dengan suatu hal yang kejam, tetapi tidak dapat  terelakkan dalam kehidupan manusia. Sebab, sesungguhnya secara psikologis manusia lekat dengan  hasrat untuk berkuasa sebagaimana diungkapkan Alred Adler. Adler menyebutkan adanya kecenderungan otoritarianisme suatu unsur fundamental di dalam jiwa manusia, yang menggantikan libido –naluri kesenangan- di dalam konsepsi Freudian (Maurice Duverger, 2005).

Dari sini bisa dipahami bahwa naluri seseorang yang memiliki hasrat untuk berkuasa terkadang  mengalahkan akal sehat. Ia akan menempuh segala cara untuk dapat mencapainya. Ungkapan ‘uang berkuasa” adalah karikatur dalam realitas politik; uang tidak pernah menjadi satu-satunya  “penguasa”. Namun, dalam banyak masyarakat -- tidak hanya dalam masyarakat kapitalis -- uang adalah senjata yang hakiki.

Inilah awal mula kelahiran politik uang (money politics). Banyak pengertian politik uang. Ada menyebut politik uang sebagai suatu upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan  membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai unatuk mempengaruhi suara pemilih (vooters). Pengertian ini secara umum ada kesamaan dengan pemberian uang atau barang kepada seseorang karena memiliki maksud politik yang tersembunyi dibalik pemberian itu. Jika maksud tersebut tidak ada,  maka pemberian tidak akan dilakukan juga. Praktik semacam itu jelas bersifat ilegal dan merupakan  kejahatan. Konsekuensinya para pelaku apabila ditemukan bukti-bukti terjadinya praktek politik uang  akan terjerat undang-undang anti suap.

Secara gamblang, politik uang dapat diartikan dengan suap. Suap secara garis besar berarti uang  sogok. Dalam hal ini uang menjadi faktor penentu seseorang untuk membuat keputusan, umumnya mereka yang terperdaya adalah kelompok orang yang memiliki tingkat pendidikan dan kesejahteraan yang rendah. Pendidikan mempunyai pengaruh yang penting terhadap de-alienasi pemilih. Dengan demikian, salah satu yang paling penting dari gerakan antipolitik uang adalah melakukan penyadaran atau pendidikan politik dalam arti sebenarnya; bukan mobilisasi atau malah pembodohan politik kepada  khalayak. Tentu saja segala segi yang menyuburkan politik uang harus bisa diminalisasi dengan penegakan hukum, regulasi yang ketat, serta meningkatkan etika dan moral politik.

Di tengah berbagai masalah krusial setiap kali pilkada digelar, kita masih menyimpan optimisme bahwa pilkada akan berlangsung jujur dan adil. "... tak semua pemilih dapat dibeli suaranya. Terhadap suara yang tak terbeli itulah kesejatian suara hati nurani atau vox populi, vox dei, suara rakyat (adalah) suara Tuhan! Adagium ini sebelumnya digunakan untuk meng-counter pernyataan Raja Louis XIV yaitu “L’etat c’est moi”yang artinya “Hukum Adalah Saya”, dan kini bisa kita gunakan untuk melawan mereka yang mengatakan bahwa “segalanya bisa dengan Uang!”, bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, dan tak bisa terbeli!" tulis komisioner KPU Lampung Handi Mulyaningsih (2015).

Kita tetap harus mengingatkan semua pihak tentang bagaimana seharusnya demokrasi dijalankan secara benar demi kemaslahatan bersama. []


~ Fajar Sumatera, Selasa, 19 April 2016

No comments:

Post a Comment