Oleh Udo Z Karzi
"BUKIT kan kudaki laut pun kuseberangi." Begitu senandung Hetty Koes Endang dalam lagu Hati Lebur Jadi Debu yang hits 1990-an. Tapi, barangkali buat orang sekarang yang serbapraktis, apalagi oleh pengembang yang mau cari untung gede, syair itu diganti dengan "bukit kan kugerus, laut pun kureklamasi".
Ya, dua hal ini: penggerusan bukit dan reklamasi pantai menjadi persoalan yang sejak lama menghantui Bandarlampung. Soal reklamasi pantai yang sempat bikin heboh beberapa tahun lalu, kini sedikit mereda.
Kini, ancaman yang masih mengintip warga kota adalah penggerusan bukit. Pemkot Bandarlampung sebagai pihak pemegang otoritas tidak pernah tegas menyikapi penggerusan bukit. Hingga kini, aktivitas penggerusan bukit yang berdampak terhadap ekosistem dan degradasi lingkungan itu tetap saja berjalan.
Saat ini misalnya, warga mencemaskan aktivitas pengerukan bukit untuk dijadikan kawasan perumahan di Kecamatan Sukabumi, Bandarlampung. Sejumlah rumah terancam tertimpa longsor. Pengerukan bukit yang akan dijadikan kawasan perumahan itu bahkan sempat membuat rumah warga terendam air dan lumpur.
Jono beserta keluarganya terpaksa mengungsi ke rumah kerabat yang tak jauh dari rumahnya. Jumat (1/4), saat saat hujan deras, air dan tanah merah masuk dari belakang rumahnya.
Jono yang tinggal di daerah itu sejak 1996 mengaku longsor tidak pernah terjadi. Ia mengatakan, hal itu akibat penggerukan bukit di belakang rumah oleh pengembang perumahan.
Berdasar data yang dimiliki Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung Desember 2015, dari 32 bukit di Bandarlampung, hanya 3 buah bukit yang masih bagus dan terjaga keasriannya, atau dalam kondisi baik. Tiga bukit itu Bukit Banten, Sulah, dan Bukit Kucing.
Puluhan bukit itu dengan kondisi memprihatinkan, dikarenakan telah berubah fungsi menjadi perumahan, tempat usaha (hotel), dan lain-lain. Yang lain dalam kondisi rusak berat dan beralih fungsi.
Rusaknya bukit di Bandarlampung disebabkan lemahnya pengawasan dari Badan Pengelolaan dan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPPLH). Walhi pun menuding BPPLH yang paling bertanggung jawab atas kerusakan bukit-bukit itu. Soalnya BPPLH yang yang mengeluarkan izin.
Penggerusan bukit ini, tidak bisa dibiarkan. Jelas, jika kerusakan bukit semakin parah, warga akan kesulitan air pada musim kemarau. Ini karena semakin berkurangnya daerah resapan air.
Nah, pada musim penghujan seperti saat ini, warga kota, terlebih yang bermukim di bawah bukit, mesti was-was karena ancaman longsor dan banjir. Soalnya, pohon-pohon sudah dibabat, tanah diratakan mengakibatkan air hujan tidak tertahan lagi langsung mengalir membawa tanah, dan lain-lain.
Jadi, hentikan penggerusan bukit sebelum semuanya terlambat. Nyawa manusia lebih berarti ketimbang keuntungan sebagian kecil orang dari kegiatan penggerusan bukit. []
~ Fajar Sumatera, Senin, 4 April 2016
"BUKIT kan kudaki laut pun kuseberangi." Begitu senandung Hetty Koes Endang dalam lagu Hati Lebur Jadi Debu yang hits 1990-an. Tapi, barangkali buat orang sekarang yang serbapraktis, apalagi oleh pengembang yang mau cari untung gede, syair itu diganti dengan "bukit kan kugerus, laut pun kureklamasi".
Ya, dua hal ini: penggerusan bukit dan reklamasi pantai menjadi persoalan yang sejak lama menghantui Bandarlampung. Soal reklamasi pantai yang sempat bikin heboh beberapa tahun lalu, kini sedikit mereda.
Kini, ancaman yang masih mengintip warga kota adalah penggerusan bukit. Pemkot Bandarlampung sebagai pihak pemegang otoritas tidak pernah tegas menyikapi penggerusan bukit. Hingga kini, aktivitas penggerusan bukit yang berdampak terhadap ekosistem dan degradasi lingkungan itu tetap saja berjalan.
Saat ini misalnya, warga mencemaskan aktivitas pengerukan bukit untuk dijadikan kawasan perumahan di Kecamatan Sukabumi, Bandarlampung. Sejumlah rumah terancam tertimpa longsor. Pengerukan bukit yang akan dijadikan kawasan perumahan itu bahkan sempat membuat rumah warga terendam air dan lumpur.
Jono beserta keluarganya terpaksa mengungsi ke rumah kerabat yang tak jauh dari rumahnya. Jumat (1/4), saat saat hujan deras, air dan tanah merah masuk dari belakang rumahnya.
Jono yang tinggal di daerah itu sejak 1996 mengaku longsor tidak pernah terjadi. Ia mengatakan, hal itu akibat penggerukan bukit di belakang rumah oleh pengembang perumahan.
Berdasar data yang dimiliki Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung Desember 2015, dari 32 bukit di Bandarlampung, hanya 3 buah bukit yang masih bagus dan terjaga keasriannya, atau dalam kondisi baik. Tiga bukit itu Bukit Banten, Sulah, dan Bukit Kucing.
Puluhan bukit itu dengan kondisi memprihatinkan, dikarenakan telah berubah fungsi menjadi perumahan, tempat usaha (hotel), dan lain-lain. Yang lain dalam kondisi rusak berat dan beralih fungsi.
Rusaknya bukit di Bandarlampung disebabkan lemahnya pengawasan dari Badan Pengelolaan dan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPPLH). Walhi pun menuding BPPLH yang paling bertanggung jawab atas kerusakan bukit-bukit itu. Soalnya BPPLH yang yang mengeluarkan izin.
Penggerusan bukit ini, tidak bisa dibiarkan. Jelas, jika kerusakan bukit semakin parah, warga akan kesulitan air pada musim kemarau. Ini karena semakin berkurangnya daerah resapan air.
Nah, pada musim penghujan seperti saat ini, warga kota, terlebih yang bermukim di bawah bukit, mesti was-was karena ancaman longsor dan banjir. Soalnya, pohon-pohon sudah dibabat, tanah diratakan mengakibatkan air hujan tidak tertahan lagi langsung mengalir membawa tanah, dan lain-lain.
Jadi, hentikan penggerusan bukit sebelum semuanya terlambat. Nyawa manusia lebih berarti ketimbang keuntungan sebagian kecil orang dari kegiatan penggerusan bukit. []
~ Fajar Sumatera, Senin, 4 April 2016
No comments:
Post a Comment