Oleh Udo Z Karzi
YUYUN Sapto (35) ditemukan tewas gantung diri di sebuah pohon di lereng bukit di Jalan Tirtayasa, Kelurahan Campang Jaya, Kecamatan Sukabumi, Bandar Lampung, Selasa, 25/7/2017, sekitar pukul 17.00 WIB. Alumnus D3 Jurusan Pusat Dokumentasi dan Informasi (Pusdokinfo) FISIP Universitas Lampung ini diduga frustasi karena tidak mendapatkan pekerjaan.
Berita ini menjadi viral karena judulnya luar biasa menggoda, "Frustasi Tak Dapat Kerja, Alumni Unila Yuyun Sapto Gantung Diri" (duajurai.com, 26/7/2017).
Tanpa mendalami lebih detil mengenai fakta-fakta seputar kematian Yuyun, lantas siapa saja bisa berpendapat macam-macam. Boleh berkata, sarjana (muda) kok pendek akal mengakhiri hidup dengan cara yang di luar nalar. Orang juga bisa beranggapan, Unila ternyata hanya menghasilkan banyak pengangguran.
Lebih jauh lagi, berkembang pikiran agar Unila tidak gampang-gampang membuka jurusan atau program studi yang hanya tidak jelas pasar kerjanya bagi lulusannya. Kebetulan Unila baru saja membuka program studi Strata 1 Pendidikan Seni Musik. Kebetulan pula bertahun-tahun digagas-gagas dan didorong-dorong agar Unila segera membuka Prodi S1 Pendidikan Bahasa Lampung, bahkan Fakultas Ilmu Budaya yang menjadi induk bagi ilmu-ilmu sejarah, bahasa, sastra, budaya, arkeologi, dan lain-lain.
Kenapa S1 Bahasa Lampung tak kunjung dibuka di Unila? Ternyata, masih saja ada anggapan bahwa S1 Bahasa Lampung ini bakal melahirkan banyak pengangguran. Soalnya, belum ada jaminan dari pemda-pemda se-Lampung bakal merekrut para sarjana bahasa Lampung ini.
"Kalau para sarjana bahasa Lampung itu menganggur dan kemudian bunuh diri kayak Yuyun Sapto, bagaimana coba?" Kira-kira begitu pertanyaannya. Dengan "logika" ini, lebih baik S1 Bahasa Lampung ditunda dulu.
Pandangan pesimisme ini juga berangggapan, pendirian Fakultas Ilmu Budaya (FIB) bukan solusi, ia malah akan menimbulkan masalah lebih besar lagi. Unila akan semakin banyak melahirkan pengangguran dan otomatis semakin banyak alumninya yang bunuh diri.
Waduh, ini dramatis sekali atau lebih tepatnya, dramatisasi sebuah kasus untuk dijadikan alibi dari sebuah 'kegagalan' sistem.
Saya terus terang gemas sekali. Saya agak sulit menulis dengan jernih mengenai persoalan ini. Saya kutip saja komentar saya di Facebook, "Peristiwa bunuh alumni Unila jangan didramatisirlah. Ini hanya satu contoh kasus. Motif bunuh dirinya pun masih dugaan. Jangan sampai pula karena ada yang menganggur, ada yang bunuh diri, Unila sebagai pusat kebudayaan (bisa juga pengembang sains) melupakan fungsinya. Saya gak setuju unila cuma dijadikan mesin pencipta tenaga kerja. Kalau cuma itu orientasinya (menciptakan pekerja/tukang) memang Unila tak perlu bikin fakultas filsafat, ilmu budaya, dan semacamnya. Dan, karena masih harus menunggu MoA Unila dangan pemda-pemda se-Lampung yang entah kapan bisa direalisasikan, nasib guru bahasa Lampung masih akan terkatung2. :) Ya masih dibutuhkan kesabaran bertahun-tahun lagi untuk menunggu..."
Saya, terus terang seharusnya menggugat universitas karena apa yang saya kerjakan -- saya tak kuat menyebutnya profesi -- tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang saya miliki yang ditandai dengan ijazah sarjana yang saya simpan. Ya, iyalah saya gak bisa jadi lurah, camat, kepala dinas atau jabatan apalah di pemerintahan. :)
Tapi tidak. Saya tidak boleh menggugat universitas. Sebab, universitas tempat saya kuliah -- agak lamaan sih, hehee -- telah memberi saya ilmu pengetahuan (sains). Tadinya, saya mau bersikap vatalis dengan mengatakan apalah gunanya ilmu yang saya peroleh dari universitas kalau dalam kenyataannya ilmu saya itu tidak terlalu menolong saya dalam dunia kerja.
Awal masuk kuliah, terus terang saya masih beranggapan bahwa saya kuliah biar gampang dapat pekerjaan. Tapi, berkali-kali saya diingatkan bahwa "Kamu disekolahkan bukan agar kamu mudah kerja. Kamu disekolahkan biar kamu dapat ilmu. Ilmu ini yang akan menjadi bekalmu dalam mengarungi kehidupan ini. Jelas dalam Alquran, orang yang (beriman dan) berilmu akan ditinggikan Allah swt derajatnya."
Baiklah kita kembali ke tujuan pendidikan, termasuk universitas diselenggarakan. Di sepanjang sejarah, beberapa tokoh penting telah merumuskan sasaran pendidikan. Tokoh pertama adalah Plato. Di dalam bukunya, Republic, ia sangat menekankan pendidikan untuk mewujudkan negara idealnya. Plato mengatakan bahwa tugas pendidikan adalah membebaskan dan memperbarui; ada pembebasan dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Pembebasan dan pembaruan itu akan membentuk manusia yang utuh, yaitu manusia yang berhasil menggapai segala keutamaan dan moralitas jiwa, yang akan mengantarnya ke ide yang tertinggi yaitu kebajikan, kebaikan, dan keadilan.
Namun, Aristoteles mengaitkannya dengan tujuan negara. Ia mengatakan bahwa tujuan pendidikan haruslah sama dengan tujuan akhir dari pembentukan negara.
Di Eropa, sejak abad ke-14, tujuan universitas adalah mencari kebenaran. Mencari kebenaran-- itulah citra yang dapat kita pelajari dari tujuan pendirian universitas-universitas itu. Di kemudian hari, khususnya universitas-unversitas di Amerika Serikat, mata kuliah engineering (rekayasa) dimasukkan ke dalam kurikulum, tetapi citra bahwa universitas untuk mencari kebenaran tetap dipelihara.
Aduh... kenapa universitas yang saya kenal kok sibuk benar memikirkan bagaimana alumninya bisa bekerja ya? Universitas yang saya kenal ini masih tidak percaya bahwa ilmu yang mereka berikan kepada mahasiswa tidak cukup menjadi bekal mereka dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara? Univertas yang sibuk bertanya, "Lapangan pekerjaannya sudah tersedia belum untuk jurusan/prodi yang akan kami buka?"
Mohan maaf. Ocehan saya mungkin lebih banyak kelirunya. Tabik. []
Fajar Sumatera, Senin, 31 Juli 2017
YUYUN Sapto (35) ditemukan tewas gantung diri di sebuah pohon di lereng bukit di Jalan Tirtayasa, Kelurahan Campang Jaya, Kecamatan Sukabumi, Bandar Lampung, Selasa, 25/7/2017, sekitar pukul 17.00 WIB. Alumnus D3 Jurusan Pusat Dokumentasi dan Informasi (Pusdokinfo) FISIP Universitas Lampung ini diduga frustasi karena tidak mendapatkan pekerjaan.
Berita ini menjadi viral karena judulnya luar biasa menggoda, "Frustasi Tak Dapat Kerja, Alumni Unila Yuyun Sapto Gantung Diri" (duajurai.com, 26/7/2017).
Tanpa mendalami lebih detil mengenai fakta-fakta seputar kematian Yuyun, lantas siapa saja bisa berpendapat macam-macam. Boleh berkata, sarjana (muda) kok pendek akal mengakhiri hidup dengan cara yang di luar nalar. Orang juga bisa beranggapan, Unila ternyata hanya menghasilkan banyak pengangguran.
Lebih jauh lagi, berkembang pikiran agar Unila tidak gampang-gampang membuka jurusan atau program studi yang hanya tidak jelas pasar kerjanya bagi lulusannya. Kebetulan Unila baru saja membuka program studi Strata 1 Pendidikan Seni Musik. Kebetulan pula bertahun-tahun digagas-gagas dan didorong-dorong agar Unila segera membuka Prodi S1 Pendidikan Bahasa Lampung, bahkan Fakultas Ilmu Budaya yang menjadi induk bagi ilmu-ilmu sejarah, bahasa, sastra, budaya, arkeologi, dan lain-lain.
Kenapa S1 Bahasa Lampung tak kunjung dibuka di Unila? Ternyata, masih saja ada anggapan bahwa S1 Bahasa Lampung ini bakal melahirkan banyak pengangguran. Soalnya, belum ada jaminan dari pemda-pemda se-Lampung bakal merekrut para sarjana bahasa Lampung ini.
"Kalau para sarjana bahasa Lampung itu menganggur dan kemudian bunuh diri kayak Yuyun Sapto, bagaimana coba?" Kira-kira begitu pertanyaannya. Dengan "logika" ini, lebih baik S1 Bahasa Lampung ditunda dulu.
Pandangan pesimisme ini juga berangggapan, pendirian Fakultas Ilmu Budaya (FIB) bukan solusi, ia malah akan menimbulkan masalah lebih besar lagi. Unila akan semakin banyak melahirkan pengangguran dan otomatis semakin banyak alumninya yang bunuh diri.
Waduh, ini dramatis sekali atau lebih tepatnya, dramatisasi sebuah kasus untuk dijadikan alibi dari sebuah 'kegagalan' sistem.
Saya terus terang gemas sekali. Saya agak sulit menulis dengan jernih mengenai persoalan ini. Saya kutip saja komentar saya di Facebook, "Peristiwa bunuh alumni Unila jangan didramatisirlah. Ini hanya satu contoh kasus. Motif bunuh dirinya pun masih dugaan. Jangan sampai pula karena ada yang menganggur, ada yang bunuh diri, Unila sebagai pusat kebudayaan (bisa juga pengembang sains) melupakan fungsinya. Saya gak setuju unila cuma dijadikan mesin pencipta tenaga kerja. Kalau cuma itu orientasinya (menciptakan pekerja/tukang) memang Unila tak perlu bikin fakultas filsafat, ilmu budaya, dan semacamnya. Dan, karena masih harus menunggu MoA Unila dangan pemda-pemda se-Lampung yang entah kapan bisa direalisasikan, nasib guru bahasa Lampung masih akan terkatung2. :) Ya masih dibutuhkan kesabaran bertahun-tahun lagi untuk menunggu..."
Saya, terus terang seharusnya menggugat universitas karena apa yang saya kerjakan -- saya tak kuat menyebutnya profesi -- tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang saya miliki yang ditandai dengan ijazah sarjana yang saya simpan. Ya, iyalah saya gak bisa jadi lurah, camat, kepala dinas atau jabatan apalah di pemerintahan. :)
Tapi tidak. Saya tidak boleh menggugat universitas. Sebab, universitas tempat saya kuliah -- agak lamaan sih, hehee -- telah memberi saya ilmu pengetahuan (sains). Tadinya, saya mau bersikap vatalis dengan mengatakan apalah gunanya ilmu yang saya peroleh dari universitas kalau dalam kenyataannya ilmu saya itu tidak terlalu menolong saya dalam dunia kerja.
Awal masuk kuliah, terus terang saya masih beranggapan bahwa saya kuliah biar gampang dapat pekerjaan. Tapi, berkali-kali saya diingatkan bahwa "Kamu disekolahkan bukan agar kamu mudah kerja. Kamu disekolahkan biar kamu dapat ilmu. Ilmu ini yang akan menjadi bekalmu dalam mengarungi kehidupan ini. Jelas dalam Alquran, orang yang (beriman dan) berilmu akan ditinggikan Allah swt derajatnya."
Baiklah kita kembali ke tujuan pendidikan, termasuk universitas diselenggarakan. Di sepanjang sejarah, beberapa tokoh penting telah merumuskan sasaran pendidikan. Tokoh pertama adalah Plato. Di dalam bukunya, Republic, ia sangat menekankan pendidikan untuk mewujudkan negara idealnya. Plato mengatakan bahwa tugas pendidikan adalah membebaskan dan memperbarui; ada pembebasan dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Pembebasan dan pembaruan itu akan membentuk manusia yang utuh, yaitu manusia yang berhasil menggapai segala keutamaan dan moralitas jiwa, yang akan mengantarnya ke ide yang tertinggi yaitu kebajikan, kebaikan, dan keadilan.
Namun, Aristoteles mengaitkannya dengan tujuan negara. Ia mengatakan bahwa tujuan pendidikan haruslah sama dengan tujuan akhir dari pembentukan negara.
Di Eropa, sejak abad ke-14, tujuan universitas adalah mencari kebenaran. Mencari kebenaran-- itulah citra yang dapat kita pelajari dari tujuan pendirian universitas-universitas itu. Di kemudian hari, khususnya universitas-unversitas di Amerika Serikat, mata kuliah engineering (rekayasa) dimasukkan ke dalam kurikulum, tetapi citra bahwa universitas untuk mencari kebenaran tetap dipelihara.
Aduh... kenapa universitas yang saya kenal kok sibuk benar memikirkan bagaimana alumninya bisa bekerja ya? Universitas yang saya kenal ini masih tidak percaya bahwa ilmu yang mereka berikan kepada mahasiswa tidak cukup menjadi bekal mereka dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara? Univertas yang sibuk bertanya, "Lapangan pekerjaannya sudah tersedia belum untuk jurusan/prodi yang akan kami buka?"
Mohan maaf. Ocehan saya mungkin lebih banyak kelirunya. Tabik. []
Fajar Sumatera, Senin, 31 Juli 2017