Oleh Udo Z. Karzi
RIBUT-RIBUT menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) di Negarabatin. Baiknya kita berdoa saja agar pilkada berjalan aman dan damai. Luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) gitu. Soal jurdil (jujur dan adil), entahlah... Sebab, jauh-jauh hari sudah ada peringatan keras: Pilkada rawan kecurangan!
Tak usahlah mendiskusikan berbagai gejala negatif dalam penyelenggaraan pilkada. Capek deh. Lagi-lagi kesimpulannya, pilkada gagal menghasilkan kepemimpinan yang baik dalam arti kepemimpinan mampu mewujudkan sebuah masyarakat yang sejahtera (welfare state).
Keluhan tentang kegagalan rakyat dalam memilih pemimpin jelas akan panjang sekali kalau hendak dituliskan. Demokrasi dalam pilkada toh hanya demokrasi semu. Meskipun kandidatnya banyak, bahkan ada calon independen segala, tetap saja pada dasarnya masyarakat tidak mempunyai banyak pilihan. Tidak ada calon yang benar-benar alternatif, yang bisa diharapkan membawa perubahan dalam arti sebenarnya dan bukan akan asal berubah saja.
Apa indikator keberhasilan pilkada? Ah, jangan terlalu serius buka buku cari teori politik. Sebuah SMS di Lampung Post mengatakan, salah satu "keberhasilan" adalah bagaimana daerah penyelenggara pilkada mampu menjadi daerah tujuan studi banding. Dia menyebutkan Bandar Lampung dan Batam sebagai daerah tujuan studi banding anggota legislatif dan eksekutif kota/kabupaten se-Tanah Air.
Hahaa... sebuah ejekan saja sebenarnya bagaimana pemimpin-pemimpin terpilih dalam pemilu dan pilkada betapa senangnya jalan-jalan.
"Tapi apa gunanya kalau cuma menghasilkan pemimpin-pemimpin yang pelesiran?" kata Pithagiras.
"Ya, siapa yang banyak duit ya dia yang bakal menang kok," sahut Udien.
"Ah, belum tentu. Rakyatkan udah pinter."
"Cerdas kalau bagi-bagi sembako atau suvenir."
"Kita ini nggak rasional."
"Kita butuh sesuatu yang konkret, dana atau barang, itu kan rasional."
"Sungguh, terkutuklah pilkada."
"Jangan apatis."
"Nggak ah."
"Memang apa gunanya pilkada?"
Tapi, daripada tidak ya lebih baik ada pilkada. Mat Puhit juga bingung kalau tidak ada pilkada. "Mau milih pemimpin, ya pilkada-lah," ujarnya.
Lampung Post, Kamis, Selasa, 29 Juni 2010
Tuesday, June 29, 2010
Thursday, June 10, 2010
Lu na ci*
Oleh Udo Z. Karzi
MAAF kepada Luna Maya. Tapi, lu na ci (l pakai huruf kecil aja) memang suka jadi tumpuan kesalahan, tempat segala sampah eh, sumpah serapah, atau yang lebih keren sering disebut bantalan atawa kambing hitam.
Jadi, Luna Maya memang harus mempunyai kemampuan untuk berkelit atau membebaskan diri dari segala macam gosip, tudingan, atau bahkan fitnah.
Semua sektor di Negarabatin memang mempunyai sisi buruk. Sebagai contoh, Mat Puhit ingat betul bagaimana seorang Ketua KPU yang kini tengah menghadapi masalah terkait kelebihan surat suara, berbalik menyalahkan pers yang gencar memberitakan.
“Lu na ci (baca: kamunya sih),” kata si ketua menyalahkan Udien si wartawan geblek yang membuat beritanya.
Ya, Udien cengengesan aja. Memang benar kok. Faktanya memang begitu. Mengapa mesti mengelak dan justru menyalahkan orang lain?
Cerita lain, kota tercinta tidak mampu mempertahankan Adipura yang diraih tahun lalu. Wali Kota memang mengatakan kegagalan ini sebagai pil pahit dan mengatakan dia yang paling bertanggung jawab. Tapi, tetap saja ia berkata, “Lu na ci!”
Adipura 2010 lepas dari kota tercinta, menurut wali kota, disebabkan masih adanya pembakaran sampah yang dilakukan masyarakat. Lu na ci-nya itu kali ini masyarakat.
Pinyut pengen sekali masuk sekolah internasional. Tapi, apa daya orang tuanya bukan golongan yang mampu membayar iuran masuk RSBI yang jut-jutan. Ya, gagallah bersekolah di sekolah elite (yang belum tentu berkualitas).
“Lu na ci sok-sokan masuk sekolah internasional,” Mamak Kenut meledek ponakannya itu.
“Lu na ci (maksudnya orang tua Pinyut) miskin. Siapa suruh daftar ke situ,” kata Pithagiras.
Logika orang kaya memang mengatakan: barang bagus ya mahal harganya. Pendidikan berkualitas, apalagi yang bertaraf internasional ya pasti mahal. Kalau miskin, tahu dirilah. Carilah sekolah yang murah.
Untung orang tua Pinyut tidak mendengar. Kalau mendengar ya jelas bisa singut. Ya, bayangin aja orang miskin singut. Wah, bahaya. Orang miskin kalau tersinggung, merasa terhina, atau merasa dilecehkan bisa marah. Kalau marah biasa namanya juga biasa. Na, kalau ngamuk. Wah, gawat. Orang miskin suka nekat sih.
“Apa maksud lu?” Radin Mak Iwoh tiba-tiba esmosi. Salah dengar rupanya dia.
“Nah, lu na ci,” kata Minan Tunja menunjuk Mat Puhit.
Dituding kayak gitu, Mat Puhit ya bingung aja. Yang lain sepandang-pandangan saja.
Gara-gara lu na ci!
* Mohon maaf kepada Pusat Bahasa. Ini bukan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Lampung Post, Kamis, 10 Juni 2010
MAAF kepada Luna Maya. Tapi, lu na ci (l pakai huruf kecil aja) memang suka jadi tumpuan kesalahan, tempat segala sampah eh, sumpah serapah, atau yang lebih keren sering disebut bantalan atawa kambing hitam.
Jadi, Luna Maya memang harus mempunyai kemampuan untuk berkelit atau membebaskan diri dari segala macam gosip, tudingan, atau bahkan fitnah.
Semua sektor di Negarabatin memang mempunyai sisi buruk. Sebagai contoh, Mat Puhit ingat betul bagaimana seorang Ketua KPU yang kini tengah menghadapi masalah terkait kelebihan surat suara, berbalik menyalahkan pers yang gencar memberitakan.
“Lu na ci (baca: kamunya sih),” kata si ketua menyalahkan Udien si wartawan geblek yang membuat beritanya.
Ya, Udien cengengesan aja. Memang benar kok. Faktanya memang begitu. Mengapa mesti mengelak dan justru menyalahkan orang lain?
Cerita lain, kota tercinta tidak mampu mempertahankan Adipura yang diraih tahun lalu. Wali Kota memang mengatakan kegagalan ini sebagai pil pahit dan mengatakan dia yang paling bertanggung jawab. Tapi, tetap saja ia berkata, “Lu na ci!”
Adipura 2010 lepas dari kota tercinta, menurut wali kota, disebabkan masih adanya pembakaran sampah yang dilakukan masyarakat. Lu na ci-nya itu kali ini masyarakat.
Pinyut pengen sekali masuk sekolah internasional. Tapi, apa daya orang tuanya bukan golongan yang mampu membayar iuran masuk RSBI yang jut-jutan. Ya, gagallah bersekolah di sekolah elite (yang belum tentu berkualitas).
“Lu na ci sok-sokan masuk sekolah internasional,” Mamak Kenut meledek ponakannya itu.
“Lu na ci (maksudnya orang tua Pinyut) miskin. Siapa suruh daftar ke situ,” kata Pithagiras.
Logika orang kaya memang mengatakan: barang bagus ya mahal harganya. Pendidikan berkualitas, apalagi yang bertaraf internasional ya pasti mahal. Kalau miskin, tahu dirilah. Carilah sekolah yang murah.
Untung orang tua Pinyut tidak mendengar. Kalau mendengar ya jelas bisa singut. Ya, bayangin aja orang miskin singut. Wah, bahaya. Orang miskin kalau tersinggung, merasa terhina, atau merasa dilecehkan bisa marah. Kalau marah biasa namanya juga biasa. Na, kalau ngamuk. Wah, gawat. Orang miskin suka nekat sih.
“Apa maksud lu?” Radin Mak Iwoh tiba-tiba esmosi. Salah dengar rupanya dia.
“Nah, lu na ci,” kata Minan Tunja menunjuk Mat Puhit.
Dituding kayak gitu, Mat Puhit ya bingung aja. Yang lain sepandang-pandangan saja.
Gara-gara lu na ci!
* Mohon maaf kepada Pusat Bahasa. Ini bukan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Lampung Post, Kamis, 10 Juni 2010
Monday, June 7, 2010
Sumbangan 3M
Oleh Udo Z. Karzi
SEKADAR melewati--apalagi berkeliling--Negarabatin bukan hal yang menyenangkan. Percuma gembar-gembor berpromosi alangkah indahnya negeri ini. Percuma membuat target gede-gedean akan ada kunjungan turis banyak-banyak yang kemudian memuji-muji keramahan penduduk ini setinggi langit.
Nol. Bohong besar! Bagaimana mau nyaman, ketika baru mulai masuk ke Negarabatin saja, jalan-jalan raya jauh dari mulus. Jangankan naik odong-odong, naik sedan mulus pun tetap saja jauh dari rasa nikmat. Jalan-jalan di Negarabatin rusak, mengelupas, berlubang di mana-mana. Di beberapa tempat air menggenang sekalipun tidak hujan. Jangan dikata kalau benar-benar hujan lebat. Air banyak yang tumpah dari langit seakan tak mampu ditampung. Jalan-jalan pun menjelma sungai.
Buruknya sarana transportasi banyak menimbulkan masalah. Keterlambatan, kemacetan, dan kesemrawutan lalu lintas juga disumbang oleh rusaknya jalan raya. Kecelakaan akibat lubang jalan berulang kali terjadi.
Udien sempat bertanya kepada pemimpin Negarabatin tentang upaya memperbaiki jalan raya. Jawaban sang petinggi jauh dari menggembirakan. "Dana kita tidak cukup untuk memperbaiki seluruh jalan raya yang rusak," kata sang pemimpin waktu itu.
Ini cerita di dalam sebuah angkutan kota (angkot). Mamak Kenut, Mat Puhit, Minan Tunja, dan Pithagiras kebetulan sedang menumpang angkot tersebut. Angkot tengah melewati sebuah ruas jalan kota di Negarabatin pada sebuah tempat jalan tak pernah bagus. Jalan itu sempat diperbaiki--atau icak-icak diperbaki, rusak lagi. Kini, jalan di tempat ini menjadi sebuah kubangan.
"Jalan ini tak pernah bagus," celetuk Minan Tunja.
"Apa saja kerja pemerintah," gerutu Mat Puhit.
"Jalan ini kan sudah berapa kali aja diperbaiki. Tapi, hanya bertahan beberapa hari, rusak lagi," sahut Pithagiras.
"Katanya sih, pemerintah kekurangan dana untuk memperbaiki jalan," kata Minan Tunja lagi.
"Kemarin aja saya sudah nyumbang 3M," kata sopir angkot nimbrung.
"Banyak amat? Dari mana? Baik benar Abang ini."
"Bukan Rp3 miliar, 3 kali merengut," kata sopir.
"Lah, saya malah ber-em-em-an," kata Mamak Kenut.
"Maksudnya?"
"Memaki-maki terus..."
Tapi, siapa yang peduli?
Lampung Post, Senin, 7 Juni 2010
SEKADAR melewati--apalagi berkeliling--Negarabatin bukan hal yang menyenangkan. Percuma gembar-gembor berpromosi alangkah indahnya negeri ini. Percuma membuat target gede-gedean akan ada kunjungan turis banyak-banyak yang kemudian memuji-muji keramahan penduduk ini setinggi langit.
Nol. Bohong besar! Bagaimana mau nyaman, ketika baru mulai masuk ke Negarabatin saja, jalan-jalan raya jauh dari mulus. Jangankan naik odong-odong, naik sedan mulus pun tetap saja jauh dari rasa nikmat. Jalan-jalan di Negarabatin rusak, mengelupas, berlubang di mana-mana. Di beberapa tempat air menggenang sekalipun tidak hujan. Jangan dikata kalau benar-benar hujan lebat. Air banyak yang tumpah dari langit seakan tak mampu ditampung. Jalan-jalan pun menjelma sungai.
Buruknya sarana transportasi banyak menimbulkan masalah. Keterlambatan, kemacetan, dan kesemrawutan lalu lintas juga disumbang oleh rusaknya jalan raya. Kecelakaan akibat lubang jalan berulang kali terjadi.
Udien sempat bertanya kepada pemimpin Negarabatin tentang upaya memperbaiki jalan raya. Jawaban sang petinggi jauh dari menggembirakan. "Dana kita tidak cukup untuk memperbaiki seluruh jalan raya yang rusak," kata sang pemimpin waktu itu.
Ini cerita di dalam sebuah angkutan kota (angkot). Mamak Kenut, Mat Puhit, Minan Tunja, dan Pithagiras kebetulan sedang menumpang angkot tersebut. Angkot tengah melewati sebuah ruas jalan kota di Negarabatin pada sebuah tempat jalan tak pernah bagus. Jalan itu sempat diperbaiki--atau icak-icak diperbaki, rusak lagi. Kini, jalan di tempat ini menjadi sebuah kubangan.
"Jalan ini tak pernah bagus," celetuk Minan Tunja.
"Apa saja kerja pemerintah," gerutu Mat Puhit.
"Jalan ini kan sudah berapa kali aja diperbaiki. Tapi, hanya bertahan beberapa hari, rusak lagi," sahut Pithagiras.
"Katanya sih, pemerintah kekurangan dana untuk memperbaiki jalan," kata Minan Tunja lagi.
"Kemarin aja saya sudah nyumbang 3M," kata sopir angkot nimbrung.
"Banyak amat? Dari mana? Baik benar Abang ini."
"Bukan Rp3 miliar, 3 kali merengut," kata sopir.
"Lah, saya malah ber-em-em-an," kata Mamak Kenut.
"Maksudnya?"
"Memaki-maki terus..."
Tapi, siapa yang peduli?
Lampung Post, Senin, 7 Juni 2010
Subscribe to:
Posts (Atom)