Thursday, June 10, 2010

Lu na ci*

Oleh Udo Z. Karzi

MAAF kepada Luna Maya. Tapi, lu na ci (l pakai huruf kecil aja) memang suka jadi tumpuan kesalahan, tempat segala sampah eh, sumpah serapah, atau yang lebih keren sering disebut bantalan atawa kambing hitam.

Jadi, Luna Maya memang harus mempunyai kemampuan untuk berkelit atau membebaskan diri dari segala macam gosip, tudingan, atau bahkan fitnah.

Semua sektor di Negarabatin memang mempunyai sisi buruk. Sebagai contoh, Mat Puhit ingat betul bagaimana seorang Ketua KPU yang kini tengah menghadapi masalah terkait kelebihan surat suara, berbalik menyalahkan pers yang gencar memberitakan.

“Lu na ci (baca: kamunya sih),” kata si ketua menyalahkan Udien si wartawan geblek yang membuat beritanya.

Ya, Udien cengengesan aja. Memang benar kok. Faktanya memang begitu. Mengapa mesti mengelak dan justru menyalahkan orang lain?

Cerita lain, kota tercinta tidak mampu mempertahankan Adipura yang diraih tahun lalu. Wali Kota memang mengatakan kegagalan ini sebagai pil pahit dan mengatakan dia yang paling bertanggung jawab. Tapi, tetap saja ia berkata, “Lu na ci!”

Adipura 2010 lepas dari kota tercinta, menurut wali kota, disebabkan masih adanya pembakaran sampah yang dilakukan masyarakat. Lu na ci-nya itu kali ini masyarakat.

Pinyut pengen sekali masuk sekolah internasional. Tapi, apa daya orang tuanya bukan golongan yang mampu membayar iuran masuk RSBI yang jut-jutan. Ya, gagallah bersekolah di sekolah elite (yang belum tentu berkualitas).

“Lu na ci sok-sokan masuk sekolah internasional,” Mamak Kenut meledek ponakannya itu.

“Lu na ci (maksudnya orang tua Pinyut) miskin. Siapa suruh daftar ke situ,” kata Pithagiras.

Logika orang kaya memang mengatakan: barang bagus ya mahal harganya. Pendidikan berkualitas, apalagi yang bertaraf internasional ya pasti mahal. Kalau miskin, tahu dirilah. Carilah sekolah yang murah.

Untung orang tua Pinyut tidak mendengar. Kalau mendengar ya jelas bisa singut. Ya, bayangin aja orang miskin singut. Wah, bahaya. Orang miskin kalau tersinggung, merasa terhina, atau merasa dilecehkan bisa marah. Kalau marah biasa namanya juga biasa. Na, kalau ngamuk. Wah, gawat. Orang miskin suka nekat sih.

“Apa maksud lu?” Radin Mak Iwoh tiba-tiba esmosi. Salah dengar rupanya dia.

“Nah, lu na ci,” kata Minan Tunja menunjuk Mat Puhit.

Dituding kayak gitu, Mat Puhit ya bingung aja. Yang lain sepandang-pandangan saja.

Gara-gara lu na ci!

* Mohon maaf kepada Pusat Bahasa. Ini bukan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Lampung Post, Kamis, 10 Juni 2010

No comments:

Post a Comment