Oleh Udo Z. Karzi
REFORMASI datang. Angin demokrasi dan demokratisasi pun berhembus kencang. Banyak yang berharap krisis multidimensional ini segera teratasi. Banyak upaya telah dilakukan, tetapi parahnya kerusakan pada hampir seluruh tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara mengakibatkan sulitnya perbaikan.
Krisis yang demikian kompleks ini menyebabkan semakin meluasnya rasa tidak tenteram dan tidak pasti dalam masyarakat. Rasa tidak pasti ini diperbesar dengan adanya berbagai kebijakan yang berubah-ubah, pernyataan-pernyataan dan ucapan-ucapan para pejabat dan blok-blok masyarakat yang tidak konsisten dan simpang-siur serta kesan sebagian masyarakat pemimpin nasional yang sering ragu dalam mengambil keputusan.
Masyarakat menjadi kehilangan pegangan nilai, keyakinan, dan kemampuan untuk bisa menempatkan diri secara wajar dalam konstelasi kehidupan politik, ekonomi, sosial yang sedang mengalami masa-masa paling suram sebagai dampak dari reaksi terhadap apa yang menjadi keyakinan masyarakat luas, yaitu mismanajemen negara yang telah berlangsung selama lebih dari tiga dasawarsa pada waktu pemerintahan yang lalu sebagai warisan generasi Bapak-Bapak kita terdahulu.
Kalau di Perancis tumbuh anomic suicide, yakni individu yang merasa tidak bisa mengikuti perubahan sosial yang sedang berlangsung cenderung menyendiri dan merasa tidak berharga yang akhirnya mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri, yang terjadi di Indonesia karena memiliki watak yang berbeda (entah guilt culture atau shame culture?) seseorang yang mengalami anomi, yang tak puas dengan situasi dan kondisi yang tidak menentu, malahan cenderung menyakiti atau membunuh orang lain atau anomic homicide.
Hal yang sepele saja dapat menjadi alasan orang untuk membunuh, hanya karena uang seratus rupiah saja bisa menjadi penyebab hilangnya nyawa orang. Hanya karena tersinggung karena anggota kelompoknya dipalak oleh anggota kelompok lain, cukup alasan untuk menyerang kelompok lain. Karena jagoannya kalah dalam pemilihan kepala daerah sudah lengkap alasan untuk kemudian bertindak murka.
Kondisi anomi di Indonesia menampakan karakter khas dengan munculnya kelompok-kelompok sosial. Dalam kelompok ini tumbuh solidaritas yang tinggi, kondisi ini sering memunculkan solidaritas kelompok sehingga ketika anggota kelompoknya disakiti mereka membentuk solidaritas untuk menyakiti kembali.
Kelompok-kelompok ini tidak bisa dilepaskan dari proses politik yang terjadi pada orde reformasi ini, diakui atau tidak pergantian Orde Baru ke Orde Reformasi melalui proses politik dan secara teoritis semua proses politik pada dasarnya adalah pembentukan kelompok, semakin tinggi solidaritas kelompok maka semakin baik pula proses politik yang dilakukan.
Dalam skala lebih luas, anomi kolektif disertai dengan tidak adanya kesadaran hukum juga sering memicu terjadinya anomic homicide yang dilakukan oleh sekelompok anggota masyarakat yang hanya didasarkan pada kesadaran kolektif.
Ah, reformasi kita akhirnya semakin kehilangan makna dan semakin lama semakin hilang dari ingatan kita.
Lampung Post, Senin, 16 Mei 2011
Monday, May 16, 2011
Friday, May 6, 2011
Kecil-Kecil Cabe Rawit...
Oleh Udo Z. Karzi
DUNIA yang ternyata masih penuh intrik, konflik, teror, kekerasan, kriminalitas, perang, korupsi, dan berbagai tragedi kemanusiaan masih saja menghiasi ruang baca-dengar kita. Yah, itulah tingkah polah para aktor di berbagai tempat dalam berbagai kesempatan.
Yang berkuasa makin merasa berkuasa sehingga merasa tak perlu peduli dengan nasib orang kecil. Yang kaya makin menumpuk kekayaan tak peduli cara-caranya melanggar rambu-rambu hukum. Yang kuat merasa tak terkalahkan dan karena itu tetap saja merasa perlu menindas yang lemah.
Aduh dunia. Lalu Mamak Kenut membaca ini: Setelah sempat menjadi barang mahal, harga cabai kini anjlok. Di Kabupaten Lampung Selatan sejumlah petani bahkan membiarkan cabainya membusuk di kebun karena cuma dihargai Rp6.000/kg. (Lampung Post, 5 Mei 2011)
Sama juga, kabarnya harga cabai di Kabupaten Magelang dalam seminggu belakangan ini anjlok. Jika sebelumnya harga cabai sempat mencapai lebih Rp80 ribu/kg, kini di tingkat petani hanya berkisar di bawah Rp10 ribu/kg.
"Selalu begitu. Nasib petani masih saja diombang-ambing harga yang tak menentu," kata Mat Puhit.
"Kasian petani. Kok enggak ada yang peduli begitu ya?" ujar Minan Tunja.
"Kalau harga cabe rendah begitu. Pemerintahnya kok malah diam saja ya? Padahal, waktu cabe melangit beberapa waktu lalu, semua orang pada belingsatan. Masak harga cabe lebih mahal daripada daging sapi. Pak Presiden saja sampai perlu ngomongin cabe..." kata Pithagiras.
"Iya aneh, padahal kan cabe bukan termasuk sembako. Kan enggak pakai cabe kan enggak apa-apa?" ujar Udien.
"Sembarangan, mana enak makan kalau enggak pakai cabai."
Bukan cuma itu. Coba perhatikan uraian ini: Cabai mengandung senyawa kimia yang dinamakan capsaicin (8-methyl-N-vanillyl-6-nonenamide). Selain itu, terkandung juga berbagai senyawa yang mirip dengan capsaicin yang dinamakan capsaicinoids.
Apabila cabai dimakan, senyawa-senyawa capsaicinoids berikatan dengan reseptor nyeri di mulut dan kerongkongan sehingga menyebabkan rasa pedas. Kemudian reseptor ini akan mengirimkan sinyal ke otak yang mengatakan bahwa sesuatu yang pedas telah dimakan. Otak merespons sinyal ini dengan menaikkan denyut jantung, meningkatkan pengeluaran keringat, dan melepaskan hormon endorfin.
Cabai merah mengandung vitamin C dalam jumlah besar, juga mengandung karoten (pro vitamin A). Cabai juga memiliki manfaat bagi kesehatan tubuh, di antaranya membunuh sel kanker, menurunkan berat badan, memperlambat proses terjadinya risiko penyakit kardiovaskular, dan mengendalikan pencemaran mikroba pada makanan.
Cabai rawit memang pedas. Namun, pendamping tempe goreng ini memiliki banyak khasiat pengobatan. Bukan cuma reumatik, radang beku atau frostbite yang sering terjadi di daerah ketinggian atau bersalju itu pun bisa diatasi.
"Kecil-kecil cabe rawit, kata orang."
"Nah, tu kan tahu? Jadi, jangan anggap enteng cabe. Berterimakasihlah pada petani cabe."
Lampung Post, Jumat, 6 Mei 2011
DUNIA yang ternyata masih penuh intrik, konflik, teror, kekerasan, kriminalitas, perang, korupsi, dan berbagai tragedi kemanusiaan masih saja menghiasi ruang baca-dengar kita. Yah, itulah tingkah polah para aktor di berbagai tempat dalam berbagai kesempatan.
Yang berkuasa makin merasa berkuasa sehingga merasa tak perlu peduli dengan nasib orang kecil. Yang kaya makin menumpuk kekayaan tak peduli cara-caranya melanggar rambu-rambu hukum. Yang kuat merasa tak terkalahkan dan karena itu tetap saja merasa perlu menindas yang lemah.
Aduh dunia. Lalu Mamak Kenut membaca ini: Setelah sempat menjadi barang mahal, harga cabai kini anjlok. Di Kabupaten Lampung Selatan sejumlah petani bahkan membiarkan cabainya membusuk di kebun karena cuma dihargai Rp6.000/kg. (Lampung Post, 5 Mei 2011)
Sama juga, kabarnya harga cabai di Kabupaten Magelang dalam seminggu belakangan ini anjlok. Jika sebelumnya harga cabai sempat mencapai lebih Rp80 ribu/kg, kini di tingkat petani hanya berkisar di bawah Rp10 ribu/kg.
"Selalu begitu. Nasib petani masih saja diombang-ambing harga yang tak menentu," kata Mat Puhit.
"Kasian petani. Kok enggak ada yang peduli begitu ya?" ujar Minan Tunja.
"Kalau harga cabe rendah begitu. Pemerintahnya kok malah diam saja ya? Padahal, waktu cabe melangit beberapa waktu lalu, semua orang pada belingsatan. Masak harga cabe lebih mahal daripada daging sapi. Pak Presiden saja sampai perlu ngomongin cabe..." kata Pithagiras.
"Iya aneh, padahal kan cabe bukan termasuk sembako. Kan enggak pakai cabe kan enggak apa-apa?" ujar Udien.
"Sembarangan, mana enak makan kalau enggak pakai cabai."
Bukan cuma itu. Coba perhatikan uraian ini: Cabai mengandung senyawa kimia yang dinamakan capsaicin (8-methyl-N-vanillyl-6-nonenamide). Selain itu, terkandung juga berbagai senyawa yang mirip dengan capsaicin yang dinamakan capsaicinoids.
Apabila cabai dimakan, senyawa-senyawa capsaicinoids berikatan dengan reseptor nyeri di mulut dan kerongkongan sehingga menyebabkan rasa pedas. Kemudian reseptor ini akan mengirimkan sinyal ke otak yang mengatakan bahwa sesuatu yang pedas telah dimakan. Otak merespons sinyal ini dengan menaikkan denyut jantung, meningkatkan pengeluaran keringat, dan melepaskan hormon endorfin.
Cabai merah mengandung vitamin C dalam jumlah besar, juga mengandung karoten (pro vitamin A). Cabai juga memiliki manfaat bagi kesehatan tubuh, di antaranya membunuh sel kanker, menurunkan berat badan, memperlambat proses terjadinya risiko penyakit kardiovaskular, dan mengendalikan pencemaran mikroba pada makanan.
Cabai rawit memang pedas. Namun, pendamping tempe goreng ini memiliki banyak khasiat pengobatan. Bukan cuma reumatik, radang beku atau frostbite yang sering terjadi di daerah ketinggian atau bersalju itu pun bisa diatasi.
"Kecil-kecil cabe rawit, kata orang."
"Nah, tu kan tahu? Jadi, jangan anggap enteng cabe. Berterimakasihlah pada petani cabe."
Lampung Post, Jumat, 6 Mei 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)