Oleh Udo Z Karzi
SEMUA manusia adalah intelektual, tetapi tidak semua orang
dalam masyarakat memiliki fungsi intelektual, kata Antonio Gramsci. Dengan begitu, orang cerdas, orang pintar, atau orang yang
memiliki IQ tinggi, tidak selalu berbanding lurus dengan kemanfaatan dirinya
bagi masyarakat. Makanya, ada tudingan pinter sendiri, kecerdasan yang mubazir,
dan kepintaran yang disia-siakan. Itu masih mending. Akan celakalah kita jika
intelektualitas itu hanya bikin susah kita, bahkan dipakai untuk merusak.
Nah, di sinilah urgensi moralitas. Moralitas inilah yang
akan membimbing intelektualitas bisa berjalan ke arah yang positif dan bukan
malah mengganggu hiduh harmoni kehidupan. Sebab, sebuah intelektualitas tanpa dibarengi dengan
moralitas bisa hancur. Diakui atau tidak, huru-hara dan kekacauan di negeri ini
terjadi karena penghuninya lebih sering mengabaikan nilai-nilai etika dan
moral.
Alih-alih memberi manfaat kepada rakyat, setiap hari kita
malah dikabari tentang oknum-oknum pemerintah yang membuat hati miris. Begitu
banyak kasus yang diungkap oleh media tentang perilaku para pemimpin bangsa
kita saat ini. Mulai dari kasus skandal video mesum, pelecehan seksual yang
dilakukan oleh oknum pejabat, kasus suap hakim, kasus kredit fiktif, dan yang
sangat tak asing di telinga kita yakni kasus korupsi.
Itulah bukti ketimpangan intelektualitas terhadap moralitas.
Sebagai public figure, seharusnya mereka mampu menggunakan kecerdasannya demi
kepentingan rakyat. Namun moralitas mereka ternyata tidak selaras dengan
intelektualitas yang mereka miliki. Sungguh sangat disayangkan, pendidikan yang
telah mereka tempuh selama belasan tahun hanya dibayar untuk memuaskan diri
sendiri dengan cara yang tidak lazim. Padahal sebelum menjadi pejabat mereka
disumpah di atas kitab suci agamanya masing-masing. Namun layaknya sudah
menjadi hal biasa bahwa sebuah peraturan ada untuk dilanggar. Sumpah jabatan
hanya dijadikan formalitas belaka oleh oknum pejabat daerah maupun pusat.
Tanpa harus menuduh terjadi pengkhianatan intektual
sebagaimana disinyalir Julian Benda, kita patut bertanya ke manakah para
intelektual yang menghuni perguruan tinggi di daerah ini ketika kita,
masyarakat dan bangsa ini masih terlilit berbagai patologi sosial. Moralitas
intelektual di kampus-kampus jelas termaktup dalam tridarma perguruan tinggi
(pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat). Okekah pendidikan bersifat
internal kampus; okelah penelitian, walau tak banyak diketahui masyarakat hasil
dan gunanya. Tapi, mana pengabdian masyarakat. Apa wujud wujud pengabdian
masyarakat.
Itu juga menyangkut moralitas intelektual. Pertanyaannya, di
manakah moralitas kaum intelektual yang membiarkan lingkungannya rusak,
masyarakat terus dililit kemiskinan, dan pemerintah yang tak berpihak pada
rakyat?
Bukankah ketika semua lini negara, baik legislatif, eksekutif maupun eksekutif -- (semoga tidak!) termasuk pers -- bobrok, satu-satunya suara moral yang bisa diharapkan adalah suara kampus? n
Fajar Sumatera, Senin, 25 Januari 2016
No comments:
Post a Comment