Oleh Udo Z Karzi
BETAPA hanya Allah yang berhak memilih siapa yang akan Dia
panggil. Ada banyak jalan menuju ke rahmatullah. Dan, salah satu yang terpilih
itu adalah Sang Seniman. Firdaus Khatami meninggal dunia dalam kecelakaan dalam
kecelakaan lalu lintas saat mengendarai sepeda motor bersama isterinya,
Aprileni, Selasa malam, 29 Desember 2015 sekitar pukul 19.30 Wib. Sepeda motor
yang dikendarainya bertabrakan dengan mobil truk colt di Jalan Lintas Sumatera
Km. 28 Dusun Talang Lindung, Desa Muara Belengo, Pamenang, Merangin. Sementara
istrinya mengalami luka serius dan dirawat di rumah sakit.
Firdaus lahir di Prabumulih, 13 Januari 1968. Ia giat
melakukan riset mandiri tentang tradisi lisan dan heritage. Ia menulis puisi,
esai, naskah dan manuskrip teater serta film. Ia juga aktif di Asosiasi Tradisi
Lisan (ATL) Jambi, Humaniora Institute, dan sebagai Sekretaris Dewan Kesenian
Jambi.
“Kita sangat merasa kehilangan. Dia saya kenal sebagai
seorang pekerja keras. Almarhum penyuka sastra-sastra lisan seperti seloko,
pantun dan juga sastra-sastra modern,” sebut EM Yogiswara, seorang seniman
daerah itu, seperti dikutip JambiUpdate.co.
Amboi alangkah bodohnya saya; saya sungguh tidak tahu bahwa
saya bertemu dengan seniman hebat saat pertemuan Jaringan Sumatra untuk
Pelestarian Pusaka (Pansumnet) di Sawahlunto, Sumatera Barat, 20-24 Oktober
2015. Kami satu hotel di Hotel Ombilin selama di Sawahlunto, sering kongkow di
sela-sela seminar dan agenda pertemuan Pansumnet, meski Bang Fir dan juga saya,
lebih banyak menyimak para pembicara yang memikat. Diam-diam, Bang Fir penyair
juga. Saya menemukan buku puisinya, Istana Bunga (Jambi: Dewan Kesenian Jambi,
1998).
Ternyata, itulah pertemuan pertama sekaligus yang terakhir
kami. Selamat jalan, Bang Fir.
***
Saya lagi merenung-renung mengenai orang-orang terkasih di
antara hari-hari peralihan tahun 2015 dan 2016, kabar duka kembali menyeruak.
"Innalilahi wainalilahirojiun. Jam 2.00 wib pagi
tanggal 4 januari 2015 Kamu harus pergi menghadap Sang Illahi. Selamat jalan
Bunda! Kami adalah Anak2mu, cucumu, dan seluruh keluarga Besar Bambang Eka
wijaya memanjatkan doa semoga amal ibadahmu diterima di sisi Allah SWT.
Amin," seniman film Dede Safara Wijaya menulis di dinding Facebooknya, 4
Januari 2016 pukul 4:11.
Sosok kelima terpilih adalah seorang perempuan yang sangat
berjasa bagi banyak orang. Sembari membubuhkan komentar turut berbela sungkawa
dan berdoa agar almarhumah mendapat tempat terbaik di sisi Allah swt., saya
membayangkan senyum, tutur kata, dan sikap ramah Hj Anisyah binti Abdul Muin saat bertemu di berbagai tempat
dan di berbagai kesempatan. Lama bekerja sebagai wartawan Lampung Post
(1995-1996 dan 2000-2015), tentu sosok ibu yang satu ini memiliki kesan
tersendiri bagi saya.
Anisyah diketahui beberapa tahun belakangan memang menderita
sakit sehingga harus berulangkali menjalani pengobatan di Lampung maupun daerah
lain. Ia wafat saat perawatan medik di Solo, Jawa Tengah dan dimakamkan di Solo
dalam usia 62 tahun. Ia meninggal suami
H Bambang Eka Wijaya (Pemimpin Umum Lampung Post), lima anak, dan cucu-cucu.
Biografi almahumah memang tidak saya baca secara tertulis.
Namun, kalau melihat betapa panjang pengalaman hidup Pak Bambang, sang suami
dalam memperjuangkan kebenaran, kebebasan, kemerdekaan, dan demokrasi melalui
pers dan jurnalisme di Medan, Jakarta, dan kini Lampung; tentu perjuangan sosok
perempuan ini dalam mendampingi suami dan mendidik anak-anak mereka hingga
akhir hayatnya; tentulah ia perempuan yang sangat sabar dan tangguh.
Selamat jalan, Ibu. Tugasmu dalam mendampingi suami dan
membesarkan anak-anak -- hmm, kami juga anak-anakmu yang selalu mendapatkan
sesuatu dari senyum dan kesabaranmu -- kini sudah selesai. Semoga engkau
bahagia di sana.
***
Demikianlah, lima yang terpilih. Sedangkan kita, saya, kamu, yang lain hanya menanti giliran...l
Fajar Sumatera, Selasa, 12 Januari 2016
No comments:
Post a Comment