PAGI itu, 27 Desember 2015, saya sedang berpikir untuk
melayat Harun Muda Indrajaya ke rumah duka HMI di bilangan Jalan Urip Sumoharjo,
Gunungsulah, Bandarlampun ketika mendapat telepon dari Silvia Diana, adik saya
di Liwa. Ia mengabarkan bak (ayah)
masuk RSUD Liwa sejak pukul 08.00. "Sekarang sedang dirawat di Ruang ICU.
Tensinya tinggi benar. Kata dokter, bak ini harus dirujuk ke Kotabumi atau Karang
(Bandarlampung)," kata Sil.
"Ya, ke Karang saja...," kata saya dengan masygul.
Saya masih menunggu kalau-kalau bak jadi dirujuk ke
Bandarlampung. Berkali-kali menerima telepon, berkali-kali menelepon dari dan
ke Liwa, diputuskan bak tidak akan dirujuk ke luar. SMS Silvia: "Kata perawat (dia
menyebutkan seseorang masih famili), tensi bak sangat tinggi, sampai 230,
kasian dan berbahaya kalau dibawa dalam perjalanan."
Bak menghembuskan nafas terakhir di RSUD Liwa bersamaan
dengan keberangkatan dari Rajabasa dengan travel ke pekon pukul 16.00. Itu pun saya ketahui dari sms yang ke saya
menyampaikan berita duka. Nyaris tak
percaya, saya telepon ke Liwa. "Na
radu, bak sa... jam pak jeno (Ya sudah, ayah... jam empat tadi). Sekarang sudah di rumah," suara di telepon.
Innalillahi wainnailaihi rajiun. Zubairi Hakim bin Abdul
Hakim, ayah saya telah berpulang ke Rahmatullah.
Begitu cepat. Terlalu cepat. Bak merasa tak perlu menginap
di rumah sakit; masuk pagi dan bakda Asyar ia menuju ke surga. Tak perlu
menanti malam bagi Bak untuk berlepas. Bak seperti merasa tak perlu menunggu kami,
anak-anak dan cucu-cucunya yang sedang jauh di luar Liwa untuk pergi selamanya.
Bak pergi begitu saja seperti tak hendak mau menyusahkan
Mak, lima anak-lima mantu, dan 13 cucunya, termasuk minan (bibi), adik kandung semata wayangnya; dengan
menungguinya di rumah sakit atau di rumah dalam perawatan medis.
Tapi, saya merasa, Bak memang orang terpilih yang harus
segera secepatnya menghadap Ilahi. Malaikat maut bekerja cepat mengambil
nyawanya. Adik dan Mak menuturkan, Bak tak pernah bicara bangun pagi setelah tidur sejenak bakda Subuh. Hanya
sekali saja, ia membuka matanya saat ditanya Sil, "Kenapa, Bak?" Setelah itu ia tidur kembali
sampai lelap untuk selamanya.
***
"Pak Zubairi guru kami waktu SDN 1 Liwa," kata
tiga perempuan yang datang jauh-jauh dari Krui, Pesisir Barat diantar suami
mereka saat melayat.
Ya, Bak memang guru. Jadi guru terus sepanjang hayatnya
sampai pensiun 12 tahun lalu. Lulus dari
SGB, ia memulai tugas gurunya di Krui, Pesisir Barat.
Kemudian kembali ke Liwa, kota kelahirannya
dari SD yang satu ke SD yang lain.
Saya tahu, Bak begitu setia dengan profesi guru. Bak tak
merasa perlu mengejar karier lain di luar guru. Termasuk, ia ogah mengikuti
pendidikan penyetaraan untuk profesi guru, mulai dari D1 tak mau,
D2 nggak, sarjana
apalagi. "Biarlah kalian yang sekolah. Kalian harus sekolah. Saya akan
biaya
kalian sampai sarjana. Dengan catatan, harus negeri. Kalau
swasta, saya gak kuat," ujar Bak, entah
berapa kali kepada saya dan adik-adik.
Dan, benar saja, kami semua bersekolah dan kuliah di negeri.
Kecuali Silvia, adik saya yang ketiga,
yang tidak jadi kuliah waktu itu kerena mimilih menikah
duluan. Ya, tak apa. Tapi kemudian setelah menikah, ia kuliah juga. Kami lima
bersaudara, saya dan yang nomor tiga laki-laki, tiga adik perempuan saya
semuanya guru, meneruskan perjuangan Bak. Syukurlah. []
Fajar Sumatera,
Rabu, 6 Januari 2016
No comments:
Post a Comment