ABA yang wafat dalam usia 82 tahun, rupanya pilihan
berikutnya yang dipanggil Yang Mahakuasa. Bagi saya, aba adalah salah satu
orang terdekat yang sering saya (kami) mintai tolong dalam segala hal. Meskipun
tanpa diminta pun, aba dan keluarganya sering membantu keponakannya (saya) dan
yang lainnya. Lebih dari tujuh tahun (1986-1994), saya ikut dan tinggal di lingkungan rumah
keluarga aba di bilangan Jalan Sekalabrak, Pakiskawat, Bandarlampung.
Aba meninggalkan satu istri, empat anak, dan entah berapa
cucu dan cicit. Semuanya kami kenal baik dan masih sering bersilaturrahmi.
Sebagai orang lama, Aba Idris punya pengalaman kerja
segudang: pernah jadi guru, tentara, dan aparatur Pemerintah Kota Bandarlampung
sampai pensiun. Ia sangat layak jadi pejabat sebenarnya. Tapi karena terbentur
peraturan prasyarat harus sarjana untuk memegang jabatan tertentu, ia mentok
menjagi PNS senior di lingkungan Pemda.
Mengenang Aba Idris Ilyas adalah mengingat nilai-nilai yang
semakin langka di tengah kehidupan negeri yang semakin materialis, semakin
pragmatis, dan semakin hedonis. Ia gambaran sosok yang tak mudah terhanyut oleh
godaan dunia. Ia tak goyang oleh terpaan angin, yang kalau tak salah-salah bisa
membuat orang terhempas dalam jurang kenistaan.
Meskipun tak pernah Aba katakan, saya tahu, Aba pegawai yang
disiplin, jujur, dan tak mau melanggar hukum. Begitu pensiun sebagai amtenar,
ia memilih untuk menjadi orang biasa, membuka warung kecil sebagai di samping
rumahnya, dan mengisi hari-hari tua dengan sebaik-baiknya tanpa neko-neko.
Hingga usia 82 tahun, ia pun dipanggil menghadap ke hadirat Ilahi.
***
Dan, astaghfirullah, rupanya ada berita duka juga berembus
dari Jambi. Sekretaris Umum Dewan Kesenian Jambi (DKJ) Firdaus Al-Khatami,
meninggal dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas di Jalan Lintas Sumatera
Merangin, Selasa, 29 Desember 2015.
Kalaulah Frieda Amran dari Belanda tak memberi tahu, sungguh
tidak tahu. "Orangnya pendiam sekali. Jarang benar bicara," jelas Bu
Frieda. Saya mencoba membayang-bayangkan sosok Firdaus. Hanya sekali bertemu
ketika pertemuan Pansumnet di Sawahlunto, Sumatera Barat beberapa waktu lalu.
Sekali bertemu dan sekarang, ia juga dipilih Tuhan masuk dalam barisan yang
berpulang tahun 2015.
"Ia meninggalkan sepilihan puisi, kerja dan
pengorbanan, serta jalan sunyi (baca: kesenian) yang mengasah kesadaran,
memperluas horizon pikiran, mempertajam etik-estetik, serta memperkaya makna
dunia material," tulis Jumardi Putra dalam artikelnya, "Firdaus dan
Jalan Kesenian" (Posmetro Jambi, 4 Januari 2016). []
Fajar Sumatera,
Senin, 11 Januari 2016
No comments:
Post a Comment