"….apabila
kekerasan dibalas dengan kekerasan hanya akan melahirkan kebencian dan tidak
melahirkan bibit-binitpermusuhan baru."
DEMIKIAN Mohandas Karamchand Gandhi (1869-1948) mengajarkan
kita pada pentingnya memperjuangkan sesuatu berdasarkan kebenaran (satyagraha).
Perjuangan itu juga harus berada di jalan yang benar dan bermoral.
Namun, realitas justru menunjukkan sebaliknya. Kekerasan demi
kekerasan terus terjadi. Terbaru, teror bom di kawasan Sarinah, Jalan MH
Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (14/1/2016). Apa pun latar peristiwa ini, kita
melihat untuk menyelesaikan masalah pun, orang ternyata lebih memilih kekerasan
fisik, seperti memukuli penjahat yang tertangkap, membunuh orang yang dibenci,
menganiaya orang lain untuk menunjukkan kekuatannya, merusak milik orang lain
karena ketidaksukaan, dan lain-lain. Namun, benar-benar selesaikah masalahnya?
Ternyata tidak. Kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan
berikutnya. Apalagi kekerasan tidak hanya dimonopoli orang secara pribadi,
tetapi juga dilakukan segerombolan orang yang merasa kekerasan bisa
menyelesaikan masalah.
Pengguna kekerasan yang paling dahsyat adalah negara. Sebab,
negara punya kekuasaan dan kekuatan untuk bertindak secara luas dan secara
hukum untuk menggerakkan rakyatnya, misalnya, melakukan perang.
Kekerasan adalah kekuatan dan tindakan secara fisik dan
psikis, yang menghancurkan kehidupan, mengabaikan HAM, dan merusak lingkungan.
Kekerasan tidak hanya fisik, tetapi juga psikis, seperti ancaman dan teror.
Tidak cuma ditujukan ke manusia, tetapi juga ke lingkungan hidup. Di antaranya
penebangan hutan atau penambangan tidak terkendali, pencemaran lingkungan,
hingga yang paling kecil kalau kita membuang sampah di sembarang tempat.
Dalam pandangan John Galtung, kekerasan terjadi bila manusia
dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya
berada di bawah realisasi potensialnya. Kekerasan bukan hanya soal memukul,
melukai, menganiaya, sampai membunuh, melainkan lebih luas dari itu. Misalnya,
negara yang menelantarkan rakyatnya sehingga banyak yang menderita kelaparan
sampai mati, itu juga kekerasan. Negara membuat kebijakan Ujian Nasional, yang
membuat siswa merasa diteror mentalnya, juga bisa disebut kekerasan.
Sigmund Freud mengatakan setiap individu memang cenderung
berperilaku menghancurkan objek. Camara dalam bukunya, Spiral Kekerasan, mengatakan ketidakadilan adalah akar pertama
kekerasan.
Orang yang mengalami ketidakadilan melawan dengan segala
cara, termasuk kekerasan. Selanjutnya, pihak yang berkuasa meredamnya dengan
kekerasan juga. Akhirnya, kekerasan tidak pernah berakhir. Cara-cara kekerasan
lebih banyak dipilih orang, terutama karena lebih mudah dan enggak memerlukan
pemikiran mendalam.
Sulit memang menghentikan siklus kekerasan. Namun, tetap
bisa ditekan seminimal mungkin. Caranya, melawan kekerasan tanpa kekerasan.
Soalnya kebenaran itu relatif. Setiap orang yang melakukan tindakan, pasti
punya dasar yang dianggapnya benar. Ini pasti terjadi dalam setiap konflik.
Kalau kita paham orang lain mungkin bisa benar, kenapa kita
harus berbuat kekerasan yang tidak bakal menyelesaikan masalah? Dengan
kekerasan tidak ada lagi ruang untuk saling mengerti. n
Fajar Sumatera, Selasa, 19 Januari 2016
No comments:
Post a Comment