Tuesday, January 19, 2016

Siklus Kekerasan

Oleh Udo Z Karzi


"….apabila kekerasan dibalas dengan kekerasan hanya akan melahirkan kebencian dan tidak melahirkan bibit-binitpermusuhan baru."

DEMIKIAN Mohandas Karamchand Gandhi (1869-1948) mengajarkan kita pada pentingnya memperjuangkan sesuatu berdasarkan kebenaran (satyagraha). Perjuangan itu juga harus berada di jalan yang benar dan bermoral.

Namun, realitas justru menunjukkan sebaliknya. Kekerasan demi kekerasan terus terjadi. Terbaru, teror bom di kawasan Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (14/1/2016). Apa pun latar peristiwa ini, kita melihat untuk menyelesaikan masalah pun, orang ternyata lebih memilih kekerasan fisik, seperti memukuli penjahat yang tertangkap, membunuh orang yang dibenci, menganiaya orang lain untuk menunjukkan kekuatannya, merusak milik orang lain karena ketidaksukaan, dan lain-lain. Namun, benar-benar selesaikah masalahnya?

Ternyata tidak. Kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan berikutnya. Apalagi kekerasan tidak hanya dimonopoli orang secara pribadi, tetapi juga dilakukan segerombolan orang yang merasa kekerasan bisa menyelesaikan masalah.

Pengguna kekerasan yang paling dahsyat adalah negara. Sebab, negara punya kekuasaan dan kekuatan untuk bertindak secara luas dan secara hukum untuk menggerakkan rakyatnya, misalnya, melakukan perang.
Kekerasan adalah kekuatan dan tindakan secara fisik dan psikis, yang menghancurkan kehidupan, mengabaikan HAM, dan merusak lingkungan. Kekerasan tidak hanya fisik, tetapi juga psikis, seperti ancaman dan teror. Tidak cuma ditujukan ke manusia, tetapi juga ke lingkungan hidup. Di antaranya penebangan hutan atau penambangan tidak terkendali, pencemaran lingkungan, hingga yang paling kecil kalau kita membuang sampah di sembarang tempat.

Dalam pandangan John Galtung, kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Kekerasan bukan hanya soal memukul, melukai, menganiaya, sampai membunuh, melainkan lebih luas dari itu. Misalnya, negara yang menelantarkan rakyatnya sehingga banyak yang menderita kelaparan sampai mati, itu juga kekerasan. Negara membuat kebijakan Ujian Nasional, yang membuat siswa merasa diteror mentalnya, juga bisa disebut kekerasan.

Sigmund Freud mengatakan setiap individu memang cenderung berperilaku menghancurkan objek. Camara dalam bukunya, Spiral Kekerasan, mengatakan ketidakadilan adalah akar pertama kekerasan.
Orang yang mengalami ketidakadilan melawan dengan segala cara, termasuk kekerasan. Selanjutnya, pihak yang berkuasa meredamnya dengan kekerasan juga. Akhirnya, kekerasan tidak pernah berakhir. Cara-cara kekerasan lebih banyak dipilih orang, terutama karena lebih mudah dan enggak memerlukan pemikiran mendalam.

Sulit memang menghentikan siklus kekerasan. Namun, tetap bisa ditekan seminimal mungkin. Caranya, melawan kekerasan tanpa kekerasan. Soalnya kebenaran itu relatif. Setiap orang yang melakukan tindakan, pasti punya dasar yang dianggapnya benar. Ini pasti terjadi dalam setiap konflik.

Kalau kita paham orang lain mungkin bisa benar, kenapa kita harus berbuat kekerasan yang tidak bakal menyelesaikan masalah? Dengan kekerasan tidak ada lagi ruang untuk saling mengerti. n



Fajar Sumatera, Selasa, 19 Januari 2016

No comments:

Post a Comment