SAYA tahu, bak
begitu setia dengan profesi guru. Bak tak merasa perlu mengejar karier lain di
luar guru. Termasuk, ia ogah mengikuti pendidikan penyetaraan untuk profesi
guru, mulai dari D1 tak mau, D2 nggak, sarjana apalagi. "Biarlah kalian
yang sekolah. Kalian harus sekolah. Saya akan biaya kalian sampai sarjana.
Dengan catatan, harus negeri. Kalau swasta, saya gak kuat," ujar Bak,
entah berapa kali kepada saya dan adik-adik.
Dan, benar saja, kami semua bersekolah dan kuliah di negeri.
Kecuali adik perempuan saya yang nomor tiga, yang tidak jadi kuliah waktu itu
kerena mimilih menikah duluan. Ya, tak apa. Tapi kemudian setelah menikah, ia
kuliah juga. Kami lima bersaudara, saya (di Bandarlampung) dan yang nomor tiga
(di Jakarta) laki-laki memang tidak menjadi guru; tetapi tiga adik perempuan
saya (satu di Fajarbulan dan dua di Liwa) semuanya guru, meneruskan perjuangan
Bak. Syukurlah.
Terlalu banyak kalau saya harus menceritakan sosok bak. Dulu
saya beranggapan bak pemarah, tukang omel, dsb. Bukan saya saja, teman-teman
kecil saya juga yang menjadi anak didik bak di Sekolah Dasar juga bilang
begitu. "Pak Zubai guru segik (Pak
Zubai guru angker atawa bisa juga guru killer),"
kata mereka.
Tapi, belakangan saya malah merasa dengan begitu bak jadi
guru yang sebenarnya. "Ayahmu orangnya seriusan. Meski begitu, kalau ada
yang lucu, ia bisa juga terbahak. Ayahmu enak orangnya. Ia santai saja. Gak mau
ribet-ribet. Semua urusan dibuat simpel. Saya sering diminta menghadiri rapat
kalau ada undangan dari luar sekolah. 'Sudah kamu saja,' kata ayahmu kalau saya
tanya kenapa saya kenapa saya. Artinya, ia orangnya asyik-asyik saja,"
tutur seorang guru SDN di Way Empulau Ulu yang pernah dipimpin bak ketika
melayat bak.
Ya, sudah. Selamat jalan bak.
Seperti kata jemaah di masjid seusai menyalatkan bak di Masjid Almansyur
Almadani Liwa, bak orang baik. Sejalan dengan bertambahnya usia saya -- boleh
juga diomong "adu tuha" -- saya mulai memahami terlalu banyak nilai
kebaikan dan kebajikan yang kami serap darimu. Semoga amal ibadahmu diterima
Allah swt. Kami anak-anakmu, murid-muridmu, bangga denganmu.
***
KAMI sekeluarga baru saja tiba di Bandarlampung setelah niga
bak, Kamis malam, 31 Desember 2015. Ketimbang merayakan pergantian tahun baru,
saya memilih tidur. Toh memang tidak ada perbedaan nyata antara akhir dan awal
tahun. Nyatanya, kita hanya terjebak pada seremoni saja sambil berkali-kali
berucap, "Selamat tahun baru..."
Jumat pagi di awal tahun 2016, masih setengah mengantuk,
istri menyodorkan telepon seluler. "Aba
meninggal dunia," kata suara di telepon.
Kembali saya tersentak. Aba
yang dimaksud adalah panggilan untuk seorang paman saya, suami dari kakak
tertua mak, yang karena sudah berhaji
dipanggil aba. Sebelum haji,
ia dipanggil dengan Pakbatin.
Innalillahi wainnailahi rajiun. Hi Idris
Ilyas bin Muhammad Ilyas hadirat Ilahi di Penengahan, Bandarlampung, 1 Januari
2016 pukul sekira jam enam pagi. Saya
dan istri pun bersegera melayat Aba Idris di rumah duka di Penengahan, Kedaton,
Bandarlampung.
Aba yang wafat dalam usia 82 tahun, rupanya pilihan
berikutnya yang dipanggil Yang Mahakuasa. Bagi saya, aba adalah salah satu
orang terdekat yang sering saya (kami) mintai tolong dalam segala hal. Meskipun
tanpa diminta pun, aba dan keluarganya sering membantu keponakannya (saya) dan
yang lainnya. Lebih dari tujuh tahun (1986-1994), saya ikut dan tinggal di lingkungan rumah
keluarga aba di bilangan Jalan Sekalabrak, Pakiskawat, Bandarlampung.
Aba meninggalkan satu istri, empat anak, entah berapa cucu
dan cicit. Semuanya kami kenal baik dan masih sering bersilaturrahmi.
Sebagai orang lama, Aba Idris punya pengalaman kerja
segudang: pernah jadi guru, tentara, dan aparatur Pemerintah Kota Bandarlampung
sampai pensiun. Ia sangat layak jadi pejabat sebenarnya. Tapi karena terbentur
peraturan prasyarat harus sarjana untuk memegang jabatan tertentu, ia mentok
menjagi PNS senior di lingkungan Pemda. []
Fajar Sumatera, Kamis, 7 Januari 2016
No comments:
Post a Comment