Thursday, January 7, 2016

Orang-orang Terpilih (3)

Oleh Udo Z Karzi


SAYA tahu, bak begitu setia dengan profesi guru. Bak tak merasa perlu mengejar karier lain di luar guru. Termasuk, ia ogah mengikuti pendidikan penyetaraan untuk profesi guru, mulai dari D1 tak mau, D2 nggak, sarjana apalagi. "Biarlah kalian yang sekolah. Kalian harus sekolah. Saya akan biaya kalian sampai sarjana. Dengan catatan, harus negeri. Kalau swasta, saya gak kuat," ujar Bak, entah berapa kali kepada saya dan adik-adik.

Dan, benar saja, kami semua bersekolah dan kuliah di negeri. Kecuali adik perempuan saya yang nomor tiga, yang tidak jadi kuliah waktu itu kerena mimilih menikah duluan. Ya, tak apa. Tapi kemudian setelah menikah, ia kuliah juga. Kami lima bersaudara, saya (di Bandarlampung) dan yang nomor tiga (di Jakarta) laki-laki memang tidak menjadi guru; tetapi tiga adik perempuan saya (satu di Fajarbulan dan dua di Liwa) semuanya guru, meneruskan perjuangan Bak. Syukurlah.

Terlalu banyak kalau saya harus menceritakan sosok bak. Dulu saya beranggapan bak pemarah, tukang omel, dsb. Bukan saya saja, teman-teman kecil saya juga yang menjadi anak didik bak di Sekolah Dasar juga bilang begitu. "Pak Zubai guru segik (Pak Zubai guru angker atawa bisa juga guru killer)," kata mereka.

Tapi, belakangan saya malah merasa dengan begitu bak jadi guru yang sebenarnya. "Ayahmu orangnya seriusan. Meski begitu, kalau ada yang lucu, ia bisa juga terbahak. Ayahmu enak orangnya. Ia santai saja. Gak mau ribet-ribet. Semua urusan dibuat simpel. Saya sering diminta menghadiri rapat kalau ada undangan dari luar sekolah. 'Sudah kamu saja,' kata ayahmu kalau saya tanya kenapa saya kenapa saya. Artinya, ia orangnya asyik-asyik saja," tutur seorang guru SDN di Way Empulau Ulu yang pernah dipimpin bak ketika melayat bak.

Ya, sudah. Selamat jalan bak. Seperti kata jemaah di masjid seusai menyalatkan bak di Masjid Almansyur Almadani Liwa, bak orang baik. Sejalan dengan bertambahnya usia saya -- boleh juga diomong "adu tuha" -- saya mulai memahami terlalu banyak nilai kebaikan dan kebajikan yang kami serap darimu. Semoga amal ibadahmu diterima Allah swt. Kami anak-anakmu, murid-muridmu, bangga denganmu.      

***

KAMI sekeluarga baru saja tiba di Bandarlampung setelah niga bak, Kamis malam, 31 Desember 2015. Ketimbang merayakan pergantian tahun baru, saya memilih tidur. Toh memang tidak ada perbedaan nyata antara akhir dan awal tahun. Nyatanya, kita hanya terjebak pada seremoni saja sambil berkali-kali berucap, "Selamat tahun baru..."

Jumat pagi di awal tahun 2016, masih setengah mengantuk, istri menyodorkan telepon seluler. "Aba meninggal dunia," kata suara di telepon. 

Kembali saya tersentak. Aba yang dimaksud adalah panggilan untuk seorang paman saya, suami dari kakak tertua mak, yang karena sudah berhaji  dipanggil aba. Sebelum haji, ia dipanggil dengan Pakbatin. Innalillahi wainnailahi rajiun.  Hi Idris Ilyas bin Muhammad Ilyas hadirat Ilahi di Penengahan, Bandarlampung, 1 Januari 2016 pukul sekira jam enam pagi.  Saya dan istri pun bersegera melayat Aba Idris di rumah duka di Penengahan, Kedaton, Bandarlampung.

Aba yang wafat dalam usia 82 tahun, rupanya pilihan berikutnya yang dipanggil Yang Mahakuasa. Bagi saya, aba adalah salah satu orang terdekat yang sering saya (kami) mintai tolong dalam segala hal. Meskipun tanpa diminta pun, aba dan keluarganya sering membantu keponakannya (saya) dan yang lainnya. Lebih dari tujuh tahun (1986-1994),  saya ikut dan tinggal di lingkungan rumah keluarga aba di bilangan Jalan Sekalabrak, Pakiskawat, Bandarlampung.

Aba meninggalkan satu istri, empat anak, entah berapa cucu dan cicit. Semuanya kami kenal baik dan masih sering bersilaturrahmi.

Sebagai orang lama, Aba Idris punya pengalaman kerja segudang: pernah jadi guru, tentara, dan aparatur Pemerintah Kota Bandarlampung sampai pensiun. Ia sangat layak jadi pejabat sebenarnya. Tapi karena terbentur peraturan prasyarat harus sarjana untuk memegang jabatan tertentu, ia mentok menjagi PNS senior di lingkungan Pemda.  []


Fajar Sumatera, Kamis, 7 Januari 2016

No comments:

Post a Comment