Tuesday, November 27, 2012

Pemimpin yang Ogah Mendengar

Oleh Udo Z. Karzi


Whether I earned your vote or not, I have listened to you.
–Barack Obama-

"Itulah Obama. Ia menang untuk yang kedua kalinya dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat karena ia mau mendengar," kata Pithagiras.

"Lu orang ini. Ngapaian ngomongin luar negeri segala. Masalah kita di Negarabatin aja nggak beres-beras," sambar Mat Puhit nggak sabar.

"Na, inji, inji sebabnya kita nggak maju-maju," ujar kata Minan Tunja sengit.

"Ei, apa salahnya kita, terutama pemimpin kita itu mau belajar dari Obama yang pernah tinggal di kawasan Menteng, Jakarta itu. Bukankah dulu dia juga belajar dari Indonesia," kata Pithagiras lagi.

"Hui, apa hubungannya dengan kita?" Radin Mak Iwoh angkat bicara. 

"Jelaslah. Kekisruhan, kerusuhan, bentrok antarwarga -- bahkan sampai memakan korban jiwa -- terjadi karena, kita tidak mau mendengar. Lebih parahnya adalah pemimpin kita. Pemimpin kita ogah mendengar orang lain. Suka sehaga-hagani. Merasa benar sendiri. Mentang-mentang sudah terpilih..." lapor Udien.

"Itu kan bukan satu-satunya faktor," Mat Puhit ngeyel.

"Ya, benar. Tapi kepemimpinan adalah hal terpenting dalam menjamin kelangsungan jalannya sebuah negara, sebuah daerah, sebuah organisasi. Kalau pemimpinnya suka ngaco, kalaulah negara, daerah atau organisasi itu."

"Betul. Pemimpin itu pekerjaan utamanya mendengar. Cilaka betul jika pemimpin bersikap cuek pada keluh-kesah rakyat atau masa bodoh dan tidak mau mendengarkan persoalan masyarakat. Sikap cuek pemimpin tidak hanya warga kehilangan jalur komunikasi dengan pemimpin, tetapi  membuat hubungan kerja menjadi tidak harmonis. Akibat pemimpin tidak mau mendengar, yang berkembang adalah sikap tidak puas, rasa curiga, bahkan rasa benci satu dengan yang lain, yang bisa berkembang menjadi bom waktu yang berpotensi merusak semua sendi, semua segi kehidupan."

"Pemimpin wajib memiliki kepedulian, perhatian, komitmen, empati, intuisi, dan menghormati semua keadaan bawahan dan rakyat agar bisa berkomunikasi secara bijak melalui proses mendengar dan proses memberi jawaban. Saat pemimpin tidak mau mendengarkan keluh kesah para bawahan, maka kesalahpahaman dan konflik bisa merusak semua tatanan. Pemimpin juga harus secara proaktif meluruskan semua masalah keluh kesah masyarakat ke jalur yang positif dan kreatif."

"Ai, kita ini terlalu banyak mengeritik atau berkeluh kesah. Tapi, saya khawatir pemimpin kita nggak pernah mendengar, nggak pernah membaca...," celetuk Mamak Kenut.

Cilaka betul kalau begitu! n


Lampung Post, Selasa, 27 November 2012

No comments:

Post a Comment