Monday, July 29, 2013

Demokrasi Tanpa Demos

Oleh Udo Z. Karzi


APA yang terjadi di Negarabatin saat ini: kisruh yang tak kunjung  berakhrir -- adalah menjadi bukti nyata dari demokrasi yang kehilangan esensi. Demokrasi yang tak melibatkan rakyat (demos).

"Kok bisa begitu?" tanya Radin Mak Iwoh.

"Lihatlah siapa yang bersitegang, lihatlah siapa yang paling bersuara keras, lihatlah siapa yang terus-menerus mencari-cari kesalahan pihak yang dianggap lawannya, lihatlah siapa yang paling ngotot... semuanya itu kaum elite politik saja," kata Minan Tunja.

"Lo itu kan rakyat juga," sambut Radin Mak Iwoh.

"Ya, tapi bukan rakyat pada umumnya," sambar Pithagiras.

"Isu-isu yang bertebaran hanya menjadi milik para pihak yang merasa punya kepentingan belaka," keluh Mat Puhit.

"Betul, rakyat kebanyakan yang menjadi pemilik sah kekuasaan justru lebih banyak diam menonton. Wait and see saja!" lapor Udien.

"Citra partai politik yang menjadi institusi utama pembangunan politik (demokrasi) malah semakin redup," sambung Mamak Kenut.

"Kepercayaan masyarakat terhadap partai hanya 42,6%. Tingkat kepercayaan kepada parpol jauh di bawah kepercayaan terhadap lembaga survei 69,3%, terhadap media massa 65,1%, LSM 58,8%, dan ormas 57,5%. Parpol dinilai bukan lagi corong aspirasi masyarakat, melainkan wadah mereguk keuntungan pribadi," Udien hasil survei (Lampost, 27/7).

Agaknya, demokrasi dan politik telah menggeser ruang publik ke ruang domestik. Demokrasi tanpa publik, demokrasi tanpa demos. Konsolidasi politik dalam pemilu selalu menempatkan tokoh-tokoh primordial sebagai identitas pertama dan utama yang harus didekati saat mencari suara dalam pemilu.

Publik dengan demikian hanya merupakan perluasan jejaring privat. Demokrasi tidak lagi merupakan arena dan metode kontestasi demos dan kratos tetapi berubah wajah menjadi arena dan metode kontestasi jejaring privat dalam raut keluarga, etnis, agama, koneksi, pertemanan, dan sejenis lainnya. Di luar bentuk politik primordial ini hanyalah politik transaksional.

Ketika jejaring privat ini tidak dimiliki aktor dan parpol dalam kontestasi politik, maka politik transaksional menjadi keniscayaan. Demos kehilangan tempat dalam pemilu dan demokrasi. Ini sesungguhnya raut lain dari pemilu tanpa demokrasi.

Lalu, demokrasi dan pemilu pun hanya akan berubah menjadi alat paling ampuh bagi mereka yang kuat, kaya, dan berkuasa untuk mendominasi dan menguasai panggung, serta proses politik. n


Lampung Post, Senin, 29 Juli 2013



Monday, July 22, 2013

Ganteng-ganteng Kok Beloon

Oleh Udo Z. Karzi


BARANGKALI tampang Rustoni (34) yang menjadi tokoh cerita kita ini  yang kumal bin dekil tidak terlalu meyakinkan penjaga keamanan. Mana bisa orang kek gini bisa membeli pakaian bagus di mal, itu mungkin yang ada di benak si satpam.

Ceritanya, Kamis malam, 18 Juli 2013, Rustoni menyambangi ke Ramayana Mal Lampung. Ah, ada diskon 50%, dia pikir. Lumayanlah.

Maka, ia pun memilih-milih celana panjang. Hep, dapet nih celana jins bagus merek Excell. Ia izin kepada pramuniaga dan satpam untuk mencoba celana di ruang ganti.

Cocok, Rustoni pikir. Lalu, ia bergerak menuju ke kasir hendak membayar. Namun, belum lagi ke kasir, satpam sok cihuy menghadang. Aduh, ia digiring ke pos satpam di lantai II.

Astaga, kok satpam curiga ia hendak mencuri. Sakunya digeledah. Uang Rp100 ribu yang mungkin ia kumpulkan berhari-hari dari jualan koran dirampas satpam. Dia lalu diusir.

"Baru jadi satpam dah sok kuasa," celetuk Pithagiras geregetan.

Ah, terusin dulu ceritanya. Rustoni mana terima. Ia harus membayar celana ke kasir. Karena itu, ia meminta uangnya dikembalikan. Namun, satpam itu berkeras tidak mau mengembalikannya. Terjadi perselisihan.

Kasihan Rustono kok dipukuli di dalam pos satpam. Di luar pos kedua tangannya diangkat lalu pipi kirinya diadu dengan kepala seorang satpam. Akibatnya, pipi kirinya bengkak.

Sampai di sini, Minan Tunja tak bisa menahan diri. "Dasar satpam belagu!" kata dia.

"Itulah. Liat orang dari luarnya aja sih. Satpam itu kali nggak tahu kalau copet itu malah necis-necis. Soalnya kalau nggak, langsung ketahuan mau maling," sahut Mat Puhit.

"Tampang orang kadang menipu. Makanya ada juga yang bilang, 'ganteng-ganteng kok beloon' atawa 'biar jelek tapi hatinya baek'," tambah Udien.

Jangan gitu, Pak Satpam! n


Lampung Post, Senin, 22 Juli 2013



Wednesday, July 3, 2013

Warisan Pemikiran

Oleh Udo Z. Karzi


WARTAWAN bisa mewariskan pemikiran, tak hanya pada anak-cucunya, tetapi juga kepada generasi bangsa. Begitu kira-kira ucapan ustad dalam sebuah acara.

Bukannya mendengarkan ceramah, di belakang malah ada diskusi yang lebih seru.

"Ya nggak harus wartawanlah yang mampu mewariskan pemikiran. Orang-orang biasa bisa pula mentranfer pemikirannya kepada anak-anaknya dan kepada orang lain," Radin Mak Iwoh protes.

"Pemikiran apa, Radin?" sambah Mat Puhit.

"Ya, apa saja. Asal pemikiran itu benar dan baik," kata Radin Mak Iwoh. 

"Hehee... kalau itu sih semua orang, Radin," kata Mat Puhit lagi. "Yang dimaksudkan adalah pemikiran besar, pemikiran tentang negara-bangsa, pemikiran yang jauh melampaui zamannya, serta mampu menginspirasi anak bangsa."

"Nah, itulah kelebihan wartawan. Mereka mampu menuliskan segala sesuatu agar bisa memberikan manfaatnya kepada masyarakat banyak. Pena wartawan menjadi cermin kehidupan masyarakat, pemerintah, dan berbagai pihak," Udien bersemangat.

"Ala, Dien. Wartawan kayak kau memang pemikiran macam apa pula yang kau dapat kau wariskan," ledek Minan Tunja.

"Ya, banyak...," jawaban Udien mengambang. Soalnya dia sendiri tidak yakin bisa mengawetkan gagasan-gagasan briliannya.

"Ah, berlebihan. Emang pemikiran apa yang disumbangkan wartawan kalau jurnalisme yang dianut adalah jurnalisme cipratan ludah, jurnalisme yang hanya mengutip-ngutip omongan pejabat belaka tetapi jauh dari realitas yang berlaku di ranah realitas?" Pithagoras tak mau kalah.

"Ini saya baca judul-judul berita: 'Guru harus disiplin', 'Parpol akan Tindak Lanjuti Laporan Masyarakat', 'Sikap antikorupsi perlu ditanamkan sejak dini', dst. Kenyataannya, (semoga tidak!) kinerja guru-guru makin payah, parpol mana mau meneruskan aspirasi rakyat kalau merugikan partai, korupsi semakin merajalela meski diberitakan koran," kata Mat Puhit.

"Pemikiran apa itu. Pemikiran cara menjadi maling besar? Maling mana bisa mengajarkan kejujuran."

Semua pada diam.

Mamak Kenut yang dari tadi diam saja cuma bilang,"Pemikiran -- mau besar mau kecil -- hanya bisa diwariskan wartawan yang berpikir, yang punya pemikiran, dan kemudian menuliskan pemikirannya itu!"

Wah, tidak gampang ternyata. n


Lampung Post, Rabu, 3 Juli 2013