Oleh Udo Z Karzi
PLATO lahir 40 tahun setelah Socrates. Plato mengenal Socrates hanya di tahun-tahun terakhir dari kehidupan Socrates. Plato tumbuh besar pada masa perang Peloponesos sedang berkobar. Perang ini berakhir dengan kekalahan Athena pada 401 sM dan pada saat itu Athena di bawah kendali pemerintahan demokratis.
Kekalahan ini menjadi salah satu alasan Plato untuk “sinis” dengan demokrasi. Plato secara vulgar mengalamatkan kekalahan Athena pada sistem pemerintahan demokratis. Menurut Plato, sistem ini tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat di bidang politik, moral dan spiritual.
Plato juga memiliki latar belakang keluarga Aristokratik dari kedua pihak orang tuanya. Ayahnya, Ariston, seorang bangsawan keturunan raja Kodrus. Raja yang dikagumi dan dikenal karena kepiawaian dan kebijaksanaannya memerintah Athena. Ibunya, Periktione keturunan Solon, negarawan agung peletak dasar hukum Athena yang legendaris. Kedudukan sosial Plato dan koneksi keluarganya yang sepertinya mempengaruhi pandangan yang pesimis terhadap demokrasi.
Terakhir, tetapi yang paling dominan dalam menentukan sikapnya terhadap demokrasi adalah kematian guru yang sangat dicintainya yakni: Socrates, yang dihukum mati oleh pemerintahan demokratis.
Ya, bayang pun demokrasi yang membunuh guru. Bagaimana seorang murid tak kan membenci demokrasi.
***
Meskipun membenci demokrasi, Plato melahirkan kitab berjudul Republica (360 sM) yang membicarakan negara dan pemimpin yang ideal. Dalam bukunya itu, Plato mengingatkan bahwa untuk menjadi pemimpin itu harus mempunyai setidaknya empat elemen penting: seorang pemimpin itu harus mampu mengendalikan diri, seorang pemimpin itu harus arif, seorang pemimpin itu harus adil, dan seorang pemimpin itu harus berani.
Empat unsur tersebut hanya ada di dalam diri seorang filsuf. Sebab, hanya filsuflah yang memenuhi syarat-syarat yang disebut di atas. Di mata Plato, seorang filsuf adalah orang yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri, sarat dengan keberanian, bersikap arif dan bijaksana, serta mampu bertindak adil. Sikap-sikap seperti itu membuat dia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari, karena nilai-nilai keutamaan inilah yang dijadikannya sebagai prinsip dalam memimpin.
Dengan kemampuan untuk menahan diri seorang filsuf mampu bersikap netral terhadap persoalan-persoalan, dan mampu menjaga jarak dengan materi-materi duniawi seperti harta benda dan kekayaan serta kekuasaan yang ada di hadapannya.
***
“Gak realistis! Masa harus jadi filsuf dulu untuk bisa jadi Presiden, Gubernur, Bapati, Wali Kota atau bahkan jadi peratin (kepala desa)!” kata Radin Mak Iwoh.
“Ya hahaa… itu kan kata Plato,” sahut Pithagiras.
“Eh, jangan diketawain. Itu benar kok. Intinya pemimpin itu harus bermoral (mampu mengendalikan hawa nafsu), berani, dan bijaksana, dan adil,” Mat Puhit angkat bicara.
"Intinya, jadi pemimpin harus cerdas, jangan sok apalagi belagu," timpal Udien.
“Soal itu kita memang harus belajar dari Plato,” tambah Minan Tunja.
“Induh…,” Mamak Kenut lagi malas ngomong.
Fajar Sumatera, Senin, 10 Agustus 2015
PLATO lahir 40 tahun setelah Socrates. Plato mengenal Socrates hanya di tahun-tahun terakhir dari kehidupan Socrates. Plato tumbuh besar pada masa perang Peloponesos sedang berkobar. Perang ini berakhir dengan kekalahan Athena pada 401 sM dan pada saat itu Athena di bawah kendali pemerintahan demokratis.
Kekalahan ini menjadi salah satu alasan Plato untuk “sinis” dengan demokrasi. Plato secara vulgar mengalamatkan kekalahan Athena pada sistem pemerintahan demokratis. Menurut Plato, sistem ini tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat di bidang politik, moral dan spiritual.
Plato juga memiliki latar belakang keluarga Aristokratik dari kedua pihak orang tuanya. Ayahnya, Ariston, seorang bangsawan keturunan raja Kodrus. Raja yang dikagumi dan dikenal karena kepiawaian dan kebijaksanaannya memerintah Athena. Ibunya, Periktione keturunan Solon, negarawan agung peletak dasar hukum Athena yang legendaris. Kedudukan sosial Plato dan koneksi keluarganya yang sepertinya mempengaruhi pandangan yang pesimis terhadap demokrasi.
Terakhir, tetapi yang paling dominan dalam menentukan sikapnya terhadap demokrasi adalah kematian guru yang sangat dicintainya yakni: Socrates, yang dihukum mati oleh pemerintahan demokratis.
Ya, bayang pun demokrasi yang membunuh guru. Bagaimana seorang murid tak kan membenci demokrasi.
***
Meskipun membenci demokrasi, Plato melahirkan kitab berjudul Republica (360 sM) yang membicarakan negara dan pemimpin yang ideal. Dalam bukunya itu, Plato mengingatkan bahwa untuk menjadi pemimpin itu harus mempunyai setidaknya empat elemen penting: seorang pemimpin itu harus mampu mengendalikan diri, seorang pemimpin itu harus arif, seorang pemimpin itu harus adil, dan seorang pemimpin itu harus berani.
Empat unsur tersebut hanya ada di dalam diri seorang filsuf. Sebab, hanya filsuflah yang memenuhi syarat-syarat yang disebut di atas. Di mata Plato, seorang filsuf adalah orang yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri, sarat dengan keberanian, bersikap arif dan bijaksana, serta mampu bertindak adil. Sikap-sikap seperti itu membuat dia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari, karena nilai-nilai keutamaan inilah yang dijadikannya sebagai prinsip dalam memimpin.
Dengan kemampuan untuk menahan diri seorang filsuf mampu bersikap netral terhadap persoalan-persoalan, dan mampu menjaga jarak dengan materi-materi duniawi seperti harta benda dan kekayaan serta kekuasaan yang ada di hadapannya.
***
“Gak realistis! Masa harus jadi filsuf dulu untuk bisa jadi Presiden, Gubernur, Bapati, Wali Kota atau bahkan jadi peratin (kepala desa)!” kata Radin Mak Iwoh.
“Ya hahaa… itu kan kata Plato,” sahut Pithagiras.
“Eh, jangan diketawain. Itu benar kok. Intinya pemimpin itu harus bermoral (mampu mengendalikan hawa nafsu), berani, dan bijaksana, dan adil,” Mat Puhit angkat bicara.
"Intinya, jadi pemimpin harus cerdas, jangan sok apalagi belagu," timpal Udien.
“Soal itu kita memang harus belajar dari Plato,” tambah Minan Tunja.
“Induh…,” Mamak Kenut lagi malas ngomong.
Fajar Sumatera, Senin, 10 Agustus 2015
No comments:
Post a Comment