Oleh Udo Z Karzi
PERKEMBANGAN demokrasi di negeri ini semakin menuju ke hal aneh-aneh. Sebut saja soal munculnya potensi pasangan calon tunggal di sejumlah daerah pada pilkada serentak tahun ini. Calon tunggal dikhawatirkan akan terjadi di beberapa daerah pada pilkada serentak di 269 daerah pada 9 Desember mendatang karena begitu kuatnya calon petahana atau kandidat yang sangat populer. Sebut saja di Surabaya, Kediri, Malang, dan Pacitan, Jawa Timur, serta di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Lebih aneh lagi, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang mengatur tentang pendaftaran pencalonan pasangan calon tunggal malah digugat DPR. PKPU menyebutkan, suatu daerah hanya terdapat pasangan calon tunggal, maka pendaftaran pencalonan diundur selama tiga hari. Bila dalam waktu yang ditentukan, pasangan calon tunggal masih belum memiliki lawan maka pilkada di daerah tersebut akan diundur ke pilkada 2017 mendatang.
Masa aturan macam begini diomongin mengganggu substansi sebuah demokrasi. Wakil Ketua DPR Fadli Zon berkata, kalau pasangan calon tetap tidak menemukan lawannya, akan ada plt terus menerus di daerah itu. Dan, daerah itu akan jadi tumbal sebuah aturan. Dia juga bilang PKPU itu berpotensi melahirkan adanya calon boneka, upaya mengakali pasangan calon tunggal tetap maju di pilkada saat ini.
"Agui, si Ijon bilang mengganggu substansi demokrasi. Apa bukan sebaliknya, calon tunggal itu justru menapikan demokrasi?" gugat Minan Tunja.
"Apanya yang demokrasi kalau tidak ada pilihan?" Pithagiras ikut-ikutan.
"Masa demokrasi tidak menyodorkan alternatif?" timpal Mat Puhit.
"Kedaulatan rakyat ditelikung kepentingan partai-partai dan sekelompok elite," ujar Udien.
"Masa sekian ratus ribu atau bahkan jutaan penduduk dianggap sama isi kepalanya dan karena itu dipastikan hanya memilih satu calon saja. Ya, calon tunggal saja. Kan ini balik lagi ke zaman jahiliah. Bapaknya main tunjuk anaknya sendiri jadi pemimpin negara (kerajaan). Hari gini kok senang calon tunggal. Aklamasi. Main rekayasa. Menipu rakyat..." Mamak Kenut mulai meracau.
"Ais, jangan sekudon (maksud suudzon) dulu geh," Radin Mak Iwoh menenangkan.
Baiklah kita mendengarkan kata pengamat politik LIPI Siti Zuhro. Ia menilai parpol kini cenderung mendukung calon yang sangat berpeluang menang sehingga kesempatan kandidat lain tak terakomodasi. "Tampaknya parpol tak mau susah. Mendukung calon yang diperkirakan kalah mungkin dianggap sia-sia," ujarnya, Sabtu (25/7/2015).
Sikap tersebut buruk bagi demokrasi dan menyebabkan demoralizing parpol. Padahal, lawan tanding harus diciptakan parpol agar kontestasi pilkada lebih mengedukasi. "Di era demokrasi tidak seharusnya muncul calon tunggal."
“Na, itu yang benar!” sela Mat Puhit.
“Kalau begitu, siapa yang salah?”
Fajar Sumatera, 29 Juli 2015
PERKEMBANGAN demokrasi di negeri ini semakin menuju ke hal aneh-aneh. Sebut saja soal munculnya potensi pasangan calon tunggal di sejumlah daerah pada pilkada serentak tahun ini. Calon tunggal dikhawatirkan akan terjadi di beberapa daerah pada pilkada serentak di 269 daerah pada 9 Desember mendatang karena begitu kuatnya calon petahana atau kandidat yang sangat populer. Sebut saja di Surabaya, Kediri, Malang, dan Pacitan, Jawa Timur, serta di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Lebih aneh lagi, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang mengatur tentang pendaftaran pencalonan pasangan calon tunggal malah digugat DPR. PKPU menyebutkan, suatu daerah hanya terdapat pasangan calon tunggal, maka pendaftaran pencalonan diundur selama tiga hari. Bila dalam waktu yang ditentukan, pasangan calon tunggal masih belum memiliki lawan maka pilkada di daerah tersebut akan diundur ke pilkada 2017 mendatang.
Masa aturan macam begini diomongin mengganggu substansi sebuah demokrasi. Wakil Ketua DPR Fadli Zon berkata, kalau pasangan calon tetap tidak menemukan lawannya, akan ada plt terus menerus di daerah itu. Dan, daerah itu akan jadi tumbal sebuah aturan. Dia juga bilang PKPU itu berpotensi melahirkan adanya calon boneka, upaya mengakali pasangan calon tunggal tetap maju di pilkada saat ini.
"Agui, si Ijon bilang mengganggu substansi demokrasi. Apa bukan sebaliknya, calon tunggal itu justru menapikan demokrasi?" gugat Minan Tunja.
"Apanya yang demokrasi kalau tidak ada pilihan?" Pithagiras ikut-ikutan.
"Masa demokrasi tidak menyodorkan alternatif?" timpal Mat Puhit.
"Kedaulatan rakyat ditelikung kepentingan partai-partai dan sekelompok elite," ujar Udien.
"Masa sekian ratus ribu atau bahkan jutaan penduduk dianggap sama isi kepalanya dan karena itu dipastikan hanya memilih satu calon saja. Ya, calon tunggal saja. Kan ini balik lagi ke zaman jahiliah. Bapaknya main tunjuk anaknya sendiri jadi pemimpin negara (kerajaan). Hari gini kok senang calon tunggal. Aklamasi. Main rekayasa. Menipu rakyat..." Mamak Kenut mulai meracau.
"Ais, jangan sekudon (maksud suudzon) dulu geh," Radin Mak Iwoh menenangkan.
Baiklah kita mendengarkan kata pengamat politik LIPI Siti Zuhro. Ia menilai parpol kini cenderung mendukung calon yang sangat berpeluang menang sehingga kesempatan kandidat lain tak terakomodasi. "Tampaknya parpol tak mau susah. Mendukung calon yang diperkirakan kalah mungkin dianggap sia-sia," ujarnya, Sabtu (25/7/2015).
Sikap tersebut buruk bagi demokrasi dan menyebabkan demoralizing parpol. Padahal, lawan tanding harus diciptakan parpol agar kontestasi pilkada lebih mengedukasi. "Di era demokrasi tidak seharusnya muncul calon tunggal."
“Na, itu yang benar!” sela Mat Puhit.
“Kalau begitu, siapa yang salah?”
Fajar Sumatera, 29 Juli 2015
No comments:
Post a Comment